Ke Capak, aku ingin menjemput senja. Pukul 15.00 WIB kalau tidak salah. Aku terbangun dari tidur siang akibat hawa panas. Aku bergegas karena telah terikat janji dengan seseorang yang telah menungguku di sebuah kafe. Di kedai kopi itu, ia telah menanti dengan raut wajah yang tak bisa kutebak.
“Apakah sudah lama?” tanyaku sambil tersenyum dengan rasa sesal yang dalam.
“Baru saja, kok. Ayo berangkat,” jawabnya singkat.
Dari sana, kami berangkat ke utara, lalu ke timur, ke arah tujuan kami. Aku sengaja tidak melewati area perkotaan demi menghindari kemacetan, supaya bisa bercakap di atas motor dan menghirup udara segar. Kami melewati Pademawu Barat. Di peta, desa itu menjadi bagian dari Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura.
Di perempatan Jalan Bunder, kami menoleh dan melihat Masjid Sotok. Secara harfiah, dalam bahasa Madura, sotok berarti “dorong”. Sejarah penamaannya panjang. Melibatkan Panembahan Ronggosukowati, penguasa Islam pertama di Pamekasan pada abad ke-16. Bangunan masjid itu cukup megah, tetapi tampak tak rampung.
“Orang Inggris menyebutnya pushing mosque,” ucap kawanku yang kutanggapi dengan tawa.
Setelah melewati Jalan Bunder, ke utara, aku menatap begitu luasnya area kompleks pabrik garam, sebagian telantar, terlihat sedikit sekali yang masih beroperasi. Beberapa kincir angin yang tidak berfungsi menandakan bahwa tempat itu hidup segan mati tak mau. Di kejauhan, pandanganku terbentur deretan pohon bakau yang mengitari kompleks.
Di sana, jalanan terasa sepi. Enam remaja tanggung sedang menikmati panorama sambil bersepeda. Mereka bercakap dan tertawa bersama. Aku sengaja memelankan motor karena momen itu seperti melemparku ke masa lalu.
“Kayak kembali ke masa kanak-kanak,” kataku. Kawanku bergeming.
Lalu kulambatkan laju kendaraan. Sebab, matahari masih terlalu tinggi. Kami tak ingin sampai di lokasi dengan hawa yang terlalu hangat.
Berjarak 16 kilometer dari titik berangkat, kami sampai di lokasi kira-kira 40 menit kemudian. Capak, tempat yang akan kami tuju tercatat sebagai dusun di Kecamatan Galis. Andai kecepatan motor kutambah, barangkali kami hanya butuh waktu 30 menit saja. Namun, motorku bertahan di kecepatan 40 kilometer per jam.
Menikmati Capak
Ketika kami memasuki area Capak, tempat itu masih sepi. Ternyata kami memang tiba terlalu awal. Pemuda-pemudi belum berdatangan. Yang terlihat beberapa orang saja, duduk dan bercakap. Mungkin juga sama denganku, tengah menunggu senja.
Sebenarnya, yang akrab kami sebut “Capak” adalah sebuah jalan yang rebah di antara pohon-pohon kuda dan diapit bentangan tambak. Aku terkejut. Tongkrongan muda-mudi itu tak seperti biasa. Air tambak surut. Padahal, musim hujan belum sepenuhnya pergi. Padahal, ketika aku bertandang ke sana belum lama dari saat itu, air tambak masih tergenang masif. Dan kini, tak cuma air, pohon-pohon kuda mulai meranggas karena cuaca panas. Memang, walau musim hujan, Madura biasa dengan hawa panas. Atau jangan-jangan, Capak memang jarang tersentuh hujan sehingga air tambak sulit meninggi.
“Kita ke ujung selatan dulu,” saran kawanku. “Di sini masih sepi. Mungkin di sana kita bisa mendapatkan sesuatu.”
Meski jalan ujung selatan tak beraspal dan rusak karena roda-roda truk, aku manut saja. Di sana, kadang ada beberapa orang memancing ikan. Tak ada pemukiman warga, sebab area itu bekas tempat pembuatan garam. Kematian tempat itu tampak dari gerbang tanpa penjaga, bekas kantor gudang garam yang dibikin jadi bengkel las dadakan, onggokan bangkai traktor, dan lumbung-lumbung garam yang reyot.
Di tepi muara, kami menikmati kesunyian yang sesekali pecah oleh sayup deru motor. Di depanku, dua perahu teronggok dalam kondisi rusak dan dua sampan dari pipa raksasa tertambat. Di kejauhan, beberapa orang melempar kail. Kira-kira enam lelaki berusia dewasa.
“Beberapa bulan lalu, aku birding bareng teman,” kisah kawanku. Aku menyimaknya sambil mendengarkan kicau burung-burung. Ia berusaha menebak nama burung itu, tetapi gagal mengingat. “Kita harus lebih fokus, enggak bersuara, agar bisa menangkap kicau burung-burung itu,” tambahnya.
Aku pun berupaya menangkap seluruh suara di sekitar. Derik serangga, siul burung, dan kesiur angin. Sayang, kesunyian itu harus segera diakhiri supaya kami bisa kembali ke tempat kawula muda menghabiskan sore.
Di sana, anak-anak muda sudah nangkring di tepi jalan. Segerombolan remaja tanggung sedang menggeber motor. Kami menepi di tempat rindang, menapaki rerumputan.
Senja yang Muram
Namun, kali itu, tak ada senja di Capak. Awan mendung menutupi matahari sore. Suasana jadi muram. Aku teringat cerpen Seno Gumira Ajidarma, Sepotong Senja untuk Pacarku (2016). Sukab, protagonis dalam cerpen tersebut, memotong senja seukuran kartu pos untuk dipersembahkan kepada kekasihnya, Alina. Barangkali, senja di Capak juga telah dicuri Sukab, bajingan bucin itu.
Kemuraman itu kian bertambah ketika kulihat pohon-pohon Capak ditempeli papan-papan kayu bertuliskan kata-kata sok mutiara, seperti kalimat berlagak religius “Pacaran boleh, pegangan jangan” dan “Jagalah kesucian jodohmu”. Aku tahu kata-kata itu ditujukan kepada muda-mudi yang sedang kencan agar tidak berbuat hal-hal tak senonoh di sana. “Jangan cuma mantan yang dibuang, sampah juga,” ucap papan yang lain, semacam harapan kepada kita untuk menjaga kebersihan lingkungan dari sampah dan pikiran dari mantan.
Di pohon lain, sebuah papan tertulis campuran kode bahasa Indonesia-Madura, “Kematian ta’ abhag-rembhag” yang berarti “kematian tidak bermusyawarah terlebih dahulu”. Kata-kata seperti ini biasanya juga kerap ditulis di badan truk-truk oleng yang belakangan banyak diburu pembuat konten. Ada juga papan bertuliskan kutipan sok bijak dan bersajak, “Visi tanpa eksekusi adalah halusinasi”.
Papan-papan tersebut dibikin mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN). Papan-papan semacam itu banyak ditemui di tempat-tempat wisata di Madura. Bukannya indah, papan-papan tersebut malah kerap merusak pemandangan dan membuat lanskap alam jadi tidak alami.
Dari jauh kulihat sekelompok remaja mengambil gambar. Mereka memakai kostum seiras, warna loreng marun dan putih.
“Baju seragam kayak gitu udah biasa jamet pakai,” celetuk kawanku. Mendengarnya, aku geli. Aku tak asing dengan kebiasaan berseragam semacam itu. Dulu, ketika masih remaja, aku juga berkubang dalam pergaulan jamet.
“Hal hal receh seperti inilah yang membuat mereka disebut jamet. Melakukan hal-hal kurang faedah: sepeda motor yang dimodifikasi sembrono kayak mengganti ban pabrik dengan ban cacing, nyopot spion, dan lain-lain. Salah jika menghakimi jamet tanpa alasan yang jelas. Tapi aku enggak suka mereka karena peduli,” tambahnya.
Sinar senja yang tak ada dan raung suara motor mengiringi kami meninggalkan Capak. Kami tidak menemukan apa yang kami cari. Akan tetapi, mungkin kami mendapatkan hal-hal lain. Hal-hal yang belum kami tahu dan harus kami renungkan setelah sampai di rumah. Nanti, nanti.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Samroni adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Madura. Saat ini bergiat di komunitas sastra Sivitas Kotheka.