Interval

Di Balik Tawaran Menginap Hampir Gratis

Perjalananku ini berawal dari sebuah penawaran yang sangat menarik. Bayangkan saja, aku ditawari menginap tiga malam di Bangkok, di sebuah hotel mewah bintang lima, dengan biaya hampir gratis. Syaratnya bisa dibilang mudah, yaitu mengikuti acara pihak sponsor di Bangkok selama satu jam. Siapa yang tidak tergiur?

Sebagai seorang planner sejati—dari dulu aku sering diberi tugas untuk merencanakan sesuatu—tentu aku menyiapkan perencanaan dengan matang, soal mau ke mana saja, lihat apa, naik apa dan di mana, biayanya berapa, dst., dst. 

Namun sungguh sayang, rencana tinggallah rencana. Beberapa hari sebelum aku berangkat, tersiar kabar yang menyedihkan bagi warga Thailand. Bhumibol Adulyadej, raja yang begitu dihormati dan disayangi oleh rakyat Thailand, berpulang. Kepergian sang raja tentu membawa kesedihan mendalam bagi orang Thailand, sehingga banyak tempat wisata yang ditutup untuk menghormati dirinya.

Pada titik itu, aku tak punya bayangan apa yang bakal kuhadapi di Bangkok. Namun, meskipun rencana yang sudah dibuat jadi berantakan, semangat jalan-jalanku tetap tinggi.

Jadilah aku berangkat ke Bangkok pada hari yang telah ditentukan dengan riang gembira. Karena ini bukan kali pertama aku ke Thailand, rasa gembira yang muncul barangkali dipicu oleh biaya menginap yang hampir gratis itu.


Setiba di Bangkok, aku dijemput pihak sponsor di bandara menggunakan mobil mewah. Bukan main, pikirku. Sudah menginap hampir gratis, dijemput pakai mobil mewah pula.

Sepanjang perjalanan menuju hotel, aku melihat warga Thailand mengenakan baju warna hitam, menandakan mereka sedang berkabung atas mangkatnya sang raja. Di banyak tempat terpampang gambar mendiang raja disertai ungkapan belasungkawa yang dalam. (Lewat obrolan dengan beberapa warga Thailand, aku dapat menangkap betapa besarnya rasa cinta dan hormat mereka pada Raja Bhumibol.)

Setiba di hotel, aku melongo melihat kamar. Bukan main luasnya, bagus penataannya, compliment selamat datangnya juga menarik. Belakangan aku mendapati bahwa sarapan yang disediakan adalah sarapan terbaik yang pernah kudapatkan. Enak dan lengkap. Mau cari makanan dari berbagai negara ada semua!

Selain itu, hotel yang berada tepat di tepi Sungai Chao Phraya itu juga menyediakan kapal gratis untuk pergi ke pusat kota. Jadwal keberangkatan kapal itu sudah ditentukan, rutenya dari dan menuju dua persinggahan, yakni Asiatique the Riverfront dan Sathorn. (Asiatique the Riverfront adalah sebuah tempat belanja, bermain, dan makan. Di sana juga ada Calypso Cabaret, Traditional Thai Puppet Theatre, dan arena Muay Thai. Sementara itu Sathorn ada di pusat kota Bangkok dan terhubung dengan stasiun BTS Skytrain.) Rasanya, mengikuti acara mereka selama satu jam tak ada apa-apanya dibanding segala amenitas itu, pikirku.

Tak menunggu lama, siang itu juga aku langsung mencoba transportasi gratis itu untuk merasakan suasana Chao Phraya. Sepanjang perjalanan pemandangannya sangat indah—dan jadi makin indah saat hari mulai gelap oleh lampu warna-warni yang menghiasi bangunan sepanjang sungai.


Selain Chao Phraya, Asiatique, dan Sathorn, aku juga pergi ke satu tempat yang menarik, yakni Jim Thompson House Museum. Rumah bergaya Thailand itu adalah milik seorang pengusaha Amerika bernama Jim Thompson yang dikenal sebagai Thai Silk King atau Raja Sutra Thailand. Rumah yang terbuat dari kayu itu menyimpan banyak karya seni. Untuk masuk tak bisa seenaknya. Pengunjung harus diantar oleh pemandu.

Sungai Chao Phraya malam hari/Ruth Sandra Devi

Aku juga ke Chatuchak, salah satu pasar paling tenar di Thailand. Pasar ini sangat besar. Untuk memandu pelancong menavigasi diri, tersedia sebuah denah yang setiap bloknya diberi warna yang berbeda berdasarkan jenis barang yang dijual. Jika ingin beli baju, misalnya, cukup cari jalan ke blok warna merah.

Mal juga kuhampiri. Ada satu mal yang cukup menarik buatku, namanya Terminal 21. Di tiap lantainya ada ornamen bertema kota-kota di penjuru dunia, mulai dari Tokyo, London, Istanbul, sampai San Francisco dan Golden Gate-nya. Mampir ke satu mal serasa pergi ke banyak negara.

Selain pasar dan mal, aku sebenarnya juga berencana mampir ke kebun raya (botanical garden). Namun, karena bekalku hanya Google Maps, aku malah nyasar ke permukiman dan gagal menemukan kebun raya itu.


Cerita-cerita di atas ibarat “pelangi” dalam perjalananku. Di bagian kedua ini aku akan bercerita soal “hujan dan petirnya.”

Sebagaimana yang sudah kuceritakan di bagian pertama tulisan, segala amenitas menggiurkan itu hanya perlu ditebus dengan mengikuti acara sponsor selama satu jam. Rupanya, acara satu jam inilah yang kemudian jadi penentu nyaman atau tidaknya aku selama di hotel itu. Acara itu ternyata berujung pada ajakan untuk berinvestasi di perusahaan mereka. Setelah melalui perdebatan panjang, dihadapkan pada bermacam-macam orang dari berbagai tingkatan—sampai direktur—akhirnya dengan tegas aku menolak tawaran mereka untuk berinvestasi. Jelas acara itu molor jadi lebih dari satu jam.

Barangkali ini hanya perasaanku saja, tapi setelah menolak ajakan investasi itu kenyamanan tinggal di hotel berubah drastis. Malam kedua, setelah mengikuti acara sponsor, tengah malam ada yang menggedor-gedor pintu kamarku. Aku bangun karena kaget. Setelah kubuka, muncul seorang karyawan hotel yang menanyakan apakah aku melaporkan gangguan internet. Tengah malam begitu, boro-boro melaporkan, menggunakan internet saja aku tidak. Aku sudah tidur sejak jam 8.

Setelah itu susah bagiku untuk melanjutkan tidur. Akhirnya aku nonton TV. Tak berapa lama, pintu kamar kembali digedor. Kali ini orang yang menggedor pintu menanyakan hal-hal lain yang aku sudah lupa. Sepanjang malam kejadian itu berulang sampai beberapa kali. Tentu aku jengkel. Mau menghubungkan kejadian itu dengan penolakanku pagi harinya, tak ada bukti. Tapi, jika tak dihubung-hubungkan, rasanya juga semua itu tak mungkin sekadar kebetulan.

Malam ketiga dan terakhir, aku sudah siap-siap menerima hujan-badai berikutnya. Aku pasang tulisan “Do Not Disturb” di pintu kamar. Dan apa yang terjadi? Tengah malam, dari kamar sebelah terdengar suara menggelegar bagai petir. Penghuni kamar sebelah—entah benar ada penghuni atau tidak—memasang TV dalam volume sekencang-kencangnya. Menonton TV dengan volume senyaring itu kurasa sangat tak biasa. Tapi, jika benar hal itu dilakukan untuk membuatku kesal dan melancarkan komplain, mereka pasti bakal kecewa, sebab aku santai saja. Sudah kusiapkan penutup telinga agar bisa melanjutkan mimpi indahku dengan nyaman.


Dari peristiwa-peristiwa di atas, aku bisa mengambil beberapa pelajaran:

Pertama, jangan cepat tergiur dengan tawaran yang murah atau gratis. “No free lunch” atau ”ada udang di balik bakwan” selalu menjadi pedomanku sejak saat itu. Kedua, nikmati saja masalah yang ada di depan. Anggap saja masalah itu seperti menu makanan baru yang perlu dicoba dirasa. Perkara enak atau tidak urusan belakangan, setidaknya sudah pernah dirasakan. Ketiga, ada pelangi (lagi), kok, di balik hujan badai dan petir. Setiap masalah tetap menyimpan hal indah.

Begitulah pengalamanku. Semoga bermanfaat bagi semua.

Hanya orang biasa yang mencintai perjalanan, menulis, dan membaca.

Hanya orang biasa yang mencintai perjalanan, menulis, dan membaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *