Travelog

Kisah di Balik Dharma Boutique Roastery, Rumah Kopi Tertua Semarang

Kota Lama Semarang, sudah terlalu lumrah untuk dijelajahi. Bukan tidak menarik, tetapi rasanya jenuh karena hanya berkeliling di sana. Selain Kota Lama Semarang, jika mau bergeser sedikit mencari suasana baru, kita bisa menelusuri kawasan Pecinan Semarang yang identik dengan pertokoan yang dimiliki masyarakat Tionghoa dan klenteng di tengah kampung. Berjalan diantara gang-gang kecil seputaran kawasan pecinan, menemukan sesuatu yang berbeda.

Perjalanan kali ini, bukan untuk menelusuri pertokoan dn klenteng, tapi justru menelusuri yang tersisa dari pecinan Semarang. Maksud dari ‘yang tersisa’ dari pecinan Semarang adalah keberadaan oud-Luitenant der Chineezen Semarang—sebuah jabatan berpangkat letnan yang bertugas mengawasi dan mengontrol kegiatan masyarakat Tionghoa di pecinan. Salah satu jejaknya berada di Wotgandul.

Wotgandul, ramai dan padat dengan transaksi jual beli di pinggir jalan adalah hal lumrah di sini. Penelusuran Wotgandul sempat terlewatkan di hari pertama saya di pecinan karena lokasinya menjorok ke dalam dan sekelilingnya berdiri toko ritel berlantai dua. Barulah hari berikutnya, saya kembali dan memastikan untuk tidak melewatkannya.

  • Dharma Boutique Roastery
  • Dharma Boutique Roastery

Rumah Kopi Margo Redjo, Cikal Bakal Dharma Boutique Roastery Semarang 

Setelah keluar masuk gang pecinan Semarang, akhirnya tujuan ada di depan mata. Awalnya ada keraguan untuk masuk ke dalam. Mengambil gambar dari luar sudah tentu bahagia. Pucuk dicinta ulam pun tiba, berbekal jahil dan beli kopi tentunya, pemilik rumah datang menghampiri dan memperkenankan saya untuk mengambil gambar.

Setelah mengambil gambar, tujuan utama harus tetap didapat yakni berbincang dan menggali cerita langsung dari pemilik tempat ini. Ia biasa dipanggil Pak Bas, saya lebih senang memanggil beliau Om Bas. Kami ngobrol santai di paviliun sembari menahan mata yang perih karena asap proses penyangraian kopi. Saya belum terbiasa dengan kondisi ini, namun Om Bas sudah.

Saya berada di rumah kopi Margo Redjo yang terletak di Wotgandul. Widayat Basuki  (Tan Tjoa Pie) selaku pemilik Margo Redjo saat ini, menceritakan secara detail rumah bergaya eklektik berjuluk rumah kopi Margo Redjo ini.

Dharma Boutique Roastery
Interior Rumah Kopi Dharma Boutique Roastery Semarang/Ibnu R

Alkisah, rumah kopi Margo Redjo awalnya merupakan rumah keluarga Tan Ing Tjong anak dari Tan Bing seorang opsir Tionghoa sekaligus pemegang pachter opium dana garam di Semarang abad ke-18.  Tan Ing Tjong selain sebagai pachter opium dan garam, juga seorang oud-Lieutenant titulaire der Chineezen atau Letnan titulair Tionghoa di Semarang. 

Generasi berikutnya adalah Tan Tjien Gwan dan Tan Tiong Lie. Ketika berada “tangan” Tan Tiong Lie, rumah kopi Margo Redjo kosong karena ia tinggal di Cimahi. Ia mengalami kerugian dan harus menutup hutang. Alhasil keluarga Tan Tiong Lie memutuskan untuk mendirikan toko roti dan bisnis kayu di Cimahi untuk bertahan hidup.

Tahun 1916 ada peruntungan baru bagi Tan Tiong Lie di bisnis kopi, ia lalu mendirikan Eerste Bandoengsche Koffiebranderij Margo Redjo. Margo Redjo memiliki arti ‘jalan kemakmuran’. Margo Redjo kembali ke Wotgandul Semarang tahun 1925, dikelola Tan Liang Hoo dan diwariskan kepada Tan Tjoa Pie hingga sekarang. 

Dharma Boutique Roastery
Altar leluhur bergaya Art Deco milik keluarga Tan Tjoa Pie/Ibnu R

Saat kejayaan pada tahun 1925 ini, rumah kopi Margo Redjo mengalami renovasi dibawah pengawasan Liem Bwan Tjie. Liem Bwan Tjie sendiri merupakan arsitek Tionghoa-Indonesia yang mempunyai cukup banyak karya di Semarang. Selain renovasi, Tan Tiong Lie juga membuat altar leluhur bergaya art deco yang diselesaikan oleh arsitek Belanda bernama J.Th. Van Oyen. Karya J.Th Van Oyen lainnya di Semarang, yakni Gereja Gereformeerde dan Gereja Katedral Randusari Semarang. 

Sisi kanan dan kiri altar leluhur terdapat aksara mandarin, yang artinya “dapat mengikuti jejak leluhur.” Aksara sisi kanan berbunyi “Walau lumut kecil, bermanfaat juga,” sedangkan aksara di sisi kiri berbunyi, “Sebaik-baiknya punya anak berkecukupan, lebih baik jika anak itu pandai.”

Menariknya pada bagian paviliun kiri rumah ini berhias kaca patri. Aslinya kaca patri itu juga terpasang di ketiga pintu utama, namun diganti saat kedatangan prajurit Jepang demi keamanan.

Selain itu, pemilik Margo Redjo menyebut adanya budaya Basuki. Budaya Basuki menyebutkan dari tiga pintu utama di depan hanya pintu tengah yang dibuka ketika ada kelahiran atau kematian dari keluarga Basuki. Ketika berkunjung ke sini pintu tengah tertutup, hanya pintu kanan yang dibuka untuk menerima tamu.

  • Dharma Boutique Roastery
  • Dharma Boutique Roastery
  • Dharma Boutique Roastery
  • Dharma Boutique Roastery

Yang Tersisa di Rumah Kopi Margo Redjo

Basuki menjadi pemilik rumah kopi Margo Redjo setelah menyelesaikan pendidikannya. Ia membuat jenama baru, mengubah nama Margo Redjo menjadi Dharma Boutique Roastery. Jenama ini menjadi tonggak awal rumah kopi Dharma Boutique Roastery yang menjual biji kopi pilihan. Tidak jarang Basuki, membuatkan kopi secara cuma-cuma kepada kepada pelanggannya. Dharma Boutique Roastery menyediakan banyak varian kopi dari robusta hingga arabika, semuanya berasal dari petani lokal. 

Sesampainya di rumah kopi, biji kopi dipanggang secara manual dengan alat yang sederhana. Sejatinya dibelakang rumah, masih ada alat sangrai berumur puluhan tahun, namun sudah lama tidak digunakan.

Proses penyangraian kopi biasanya ditunjukkan kepada pembeli—kalau dirasa waktunya tepat. Merasakan kopi langsung di rumah kopi juga sangat bisa, sering kali Basuki menemani pembeli untuk bercengkrama dan cerita mengenai bisnis kopi Dharma Boutique Roastery. Selepas segelas kopi hitam menemani bincang-bincang saya dengannya, waktunya saya untuk berpamitan.Ngopi sembari mendengar cerita legenda kopi Semarang, tentunya pengalaman yang sangat menyenangkan. Harapan besar tentu keberadaan rumah kopi Dharma Boutique Roastery selalu terjaga marwahnya, dengan budaya ngopi selalu dihadirkan untuk para pelanggan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
TFP Kopi Warung: ‘Western Food’ di Balik Pasar Gede Surakarta