Anais Nin, pengarang Henry and June, pernah menuliskan sepatah kata tentang Bali “Life, religion, and art all converge in Bali. They have no word in their language for ‘artist’ or ‘art’. Everyone is an artist.” Berlebihan? Nampaknya tidak sama sekali. Beberapa orang menjulukinya heaven on earth, beberapa lainnya menjulukinya Gods Island. Ada mistikus cinta yang nampaknya turut memberi berkah pulau ini. Selalu ada sisi yang masih tersembunyi, meskipun sekarang Bali begitu populer sebagai destinasi wisata baik lingkup nasional hingga internasional. Ada sisi istimewa yang belum sepenuhnya terungkap, salah satu yang masih tersimpan rapi itu adalah Desa Nyambu.
Desa Nyambu mungkin belum seterkenal desa-desa wisata lainnya yang sudah lebih dahulu eksis. Desa ini terletak di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, sekitar 21 km dari Denpasar. Wilayah ini dihuni sekitar 3500 jiwa. Antara dua sungai dan hamparan sawah yang luasnya mencapai 60% wilayah desa, desa ini cocok menjadi percontohan sebagai desa wisata ekologi yang mengusung sustainability, serenity, spirituality. Nyambu baru diberdayakan sebagai desa wisata pada 2015.
Sustainability, Serenity, Spirituality
Sustainability, serenity, spirituality diperkenalkan sebagai dasar keletakkan Nyambu sebagai desa wisata.
Sustainable mengacu pada konsep yang diperkenalkan UNWTO dalam Indicator of Sustainable Development for Tourism Destination yang mengharuskan pariwisata berkelanjutan mampu untuk memenuhi aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.
Serenity menjadi tren dalam paradigma dunia wisata. Orang-orang tidak lagi berlomba-lomba mencari kesenangan saat melakukan perjalanan, tapi antara kehidupan hingar-bingar perkotaan, orang-orang kembali menelusuri jalan kesunyian.
Spirituality sebagai aspek kehidupan manusia, ternyata berhasil masuk menjadi hal yang dicari-cari orang saat berwisata. Orang-orang melihat aspek spiritual bukan hanya sebagai pertunjukkan, tetapi masuk ke dalam ranah personal, pencarian hakikat diri.
Sinergi Membangun Desa
British Council beserta Yayasan Wisnu bersinergi dengan warga desa membangun pariwisata yang berbasis masyarakat. Yayasan Wisnu dilansir dari halaman Facebook mereka adalah sebuah LSM yang bergerak dalam pengembangan kapasitas masyarakat Bali melalui penelitian, pengembangan masyarakat, dan pengelolaan informasi komunitas. Salah satu yang direspon oleh Yayasan Wisnu adalah pengelolaan sampah yang imbas naiknya pamor wisata Bali.
Desa Nyambu, seperti desa-desa wisata lainnya di Indonesia, menyediakan alam sebagai atraksi utama. Bingkai persawahan hijau dengan terasering yang diselingi pepohonan kelapa, siapa yang tidak sejuk memandangnya?
Susur sawah dapat dilakukan dengan dipandu oleh guide lokal. Selain susur sawah, kita diajak untuk menyusuri budaya di Desa Nyambu. Ada 67 pura yang berdiri di desa ini menjadi ciri khas Desa yang hampir keseluruhan menganut Hindu. Apabila kaki terasa lelah, disediakan penyewaan sepeda.
Dengan basis kemasyarakatan, fasilitas-fasilitas wisata semua disediakan oleh para penduduk, mulai penginapan, pemandu, serta program wisata. Namun Desa Nyambu enggan untuk menjadi mass tourism, pasalnya dengan menjadi mass tourism keeksklusifan Desa Nyambu menjadi berkurang, kemungkinan terjadi degradasi lingkungan lebih cepat.
Kunjungan Desa Nyambu relatif dibatasi 20-25 orang per bulan. Ada reservasi yang harus dilakukan minimal tiga hari melalui website Jaringan Ekowisata Desa sebelum mengunjungi desa. Ini karena para pemandu dan juga pengelola berasal dari berbagai profesi yang berbeda sehingga mereka bisa mempersiapkan diri sebelum wisatawan datang.
Tiga Pilar Penjaga
Air yang jernih mengalir membasuh jiwa yang kotor, dengan cepat melalui celah-celah bebatuan. Mata air yang menjadi sumber air minum serta kebutuhan lainnya dijaga dengan baik oleh masyarakat Desa Nyambu.
Agama Hindu yang membawa konsep tiga hubungan; hubungan antar manusia, hubungan dengan sang pencipta, dan hubungan dengan alam. Ketiga konsep hubungan tersebut harus seimbang dalam menjaganya, kalau ada satu hal saja yang kurang, maka akan terjadi bencana.
Sampah-sampah plastik yang menjadi musuh lingkungan selama dua dekade terakhir juga mulai terlihat mencemari desa. Jalan, selokan, pematang sawah tidak ada yang luput dari bungkusan plastik. Masyarakat Desa Nyambu berupaya mengurangi sampah plastik sekali pakai.
Pada prosesnya, ada penerapan bank sampah sebagai upaya meminimalisir sampah di lingkungan desa. LAKSMI sebagai komunitas yang dibentuk oleh Saraswati dan DIageo Indonesia yang bertujuan mengurangi limbah plastik menjadikan Desa Nyambu sebagai pilot project desa bebas plastik.
Salah satu buah kreasi manusia adalah kerajinan. Berbagai bentuk dihasilkan manusia dari olahan tangannya, ada dalam bentuk pakaian, makanan, dan benda lainnya untuk menunjukkan kekhasan dari suatu tempat. Begitu pula yang ada di Nyambu, mereka memproduksi panganan khas seperti kerupuk lele, kripik lele, kripik belut, kue ladrang.
Ada kelompok desa yang bertugas mengolah dan memasarkan hasil olahan desa. Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) ikut memeriahkan ekonomi desa. Ekonomi kerakyatan yang diusung dengan slogan “dari rakyat untuk rakyat” tampaknya berjalan dengan baik di desa ini.
Menjadi desa wisata bukan berarti kebergantungan kepada sektor pariwisata terus menerus, ada saatnya desa harus bergerak tanpa embel-embel “pariwisata,” tampaknya hal ini sudah disadari oleh lapisan masyarakat. Ketika pagebluk menggebuk, Desa Nyambu tidak terpengaruh soal wisata yang menjadi sepi. Eksklusifitas yang diusungnya sudah membiasakan diri dengan sedikit wisatawan. Pekerja
Bli Wayan, penggerak wisata Desa Nyambu berpesan kepada kami mengenai keindahan Desa Nyambu yang harus dinikmati dengan datang langsung ke desa. Moga saja pagebluk ini cepat berlalu agar kita bisa berkunjung ke sana.
Ditulis oleh: M. Irsyad Saputra
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.