Di akhir Juni, saat matahari bahkan belum naik sempurna di ufuk timur, saya dan beberapa teman sudah memacu kendaraan dari Kampus Universitas Hasanuddin di Perintis Kemerdekaan menuju Kabupaten Pangkep. Rombongan kami berjumlah empat orang, melaju dengan dua sepeda motor di atas jalan yang masih tampak lengang. Jalanan yang biasanya ditempuh sekitar 45 menit kala jam sibuk, hanya ditempuh sekitar 20 menit pagi itu. Kami berhenti sementara di salah satu gerai minimarket tidak jauh dari Grand Mall Maros, dua orang kawan telah menunggu di sana. Setelah bertemu dan beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi pertama, Air Terjun Gollae. Enam perempuan dengan tiga motor yang melaju beriringan.
Rute menuju Air Terjun Gollae
Berdasarkan informasi di Google Maps, Air Terjun Gollae yang terletak di kaki Gunung Bulusaraung, tepatnya Desa Lanne, Kecamatan Tondong Tallasa ini membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam dari Kota Pangkep. Pagi itu, motor kami yang beriringan langsung putar balik tepat saat pigura bertuliskan ‘Selamat Datang Di Kota Pangkep’ dengan warna dominan kuning itu terlihat. Setelah memutar, motor kami pun langsung berbelok ke arah kiri, ke Jalan Poros Bontoa Siloro.
Begitu berbelok ke jalan poros lokasi Kantor Pusat PT Semen Tonasa, kami dibuat takjub dengan deretan pegunungan karst yang menjulang tinggi. Letaknya yang begitu dekat dan hanya dipisahkan oleh ladang-ladang persawahan warga membuat perjalanan menuju lokasi air terjun tidak kalah menghibur.
Kami berkendara cukup lama. Panorama pun berganti, mulai dari rumah-rumah warga hingga persawahan luas, mulai dari pegunungan karst alami yang ditumbuhi pepohonan-pepohonan jarang, sampai gunung-gunung karst yang sudah diambil setengahnya, dijadikan tambang bahan baku semen, menyisakan sisa gunung karst yang tandus dan mobil-mobil besar yang keluar masuk daerah tambang.
Setelah melewati lokasi perusahaan semen tadi, jalanan mulai menanjak dan pemandangan gunung-gunung karst yang tandus berganti persawahan luas milik warga. Beberapa kali saya melihat tanaman yang tidak saya ketahui ditanam secara masif di sepanjang persawahan, juga berjumpa dengan sapi-sapi ternak warga serta beberapa anjing penggembala yang dibiarkan bersantai di pinggir jalan.
Suasana Air Terjun Gollae
Motor kami melaju di pinggir aliran sungai besar. Tidak jauh dari sana, jalanan yang semula berbeton mulus mulai berubah; ada lubang di sepanjang jalan, bebatuan kerikil, hingga kubangan yang cukup dalam sehingga kami harus lebih berhati-hati dan memperlambat laju kendaraan. Kami berkendara sekitar dua jam lebih untuk sampai ke parkiran Air Terjun Gollae, setelah kejadian mesin motor yang mati di Desa Tondong Kura, tidak jauh dari lokasi air terjun. Parkiran ini dijaga oleh seorang kakek tua. Beliau berkata, “Tarif parkirnya seikhlasnya saja,” serta mewanti-wanti kami untuk mengamankan helm di bagasi motor sebab beliau hendak mengerjakan hal lain pagi itu.
Dari parkiran motor, kami melakukan trekking sekitar lima menit menuju lokasi air terjun. Medan yang cukup sulit dan masih sangat alami langsung terbayarkan begitu Air Terjun Gollae terlihat di depan mata. Air yang berwarna biru kehijauan dengan air terjun yang bertingkat tiga dan dikelilingi dengan rerimbunan pepohonan besar benar-benar membayar habis perjalanan jauh kami.
Kami bermain di air terjun sampai tepat sebelum tengah hari. Dikarenakan wisata ini masih belum dikelola, maka belum ada toilet atau tempat ganti pakaian maupun fasilitas wisata lain. Saat hendak pulang, saya berinisiatif untuk berganti pakaian di satu-satunya rumah panggung di dekat lokasi parkir, yang ternyata adalah milik kakek yang kami temui pagi itu. Bersama dengan beberapa perempuan dari rombongan lain, kami saling bergantian memakai kamar mandi sederhana di sana sekaligus menunaikan salat.
Begitu saya selesai, saya pun turun dari rumah panggung kosong itu, hanya ada beberapa lapis terpal dan ember-ember penuh kacang. Begitu turun, saya pun ikut bergabung dengan si kakek dan istrinya. Mereka tengah duduk di bawah rumah panggungnya, di antara tumpukan tanaman-tanaman kacang yang telah dipanen, sibuk memisahkan umbi kacang yang menggantung dari akan tanamannya. Ternyata tanaman yang saya jumpai di persawahan warga selama perjalanan tadi adalah kacang tanah. Beliau bercerita bahwa daerah ini merupakan salah satu penghasil kacang tanah di Kabupaten Pangkep.
Beliau juga bercerita bahwa rumah ini memang bukan rumah tinggalnya. Mereka tinggal di salah satu kampung yang sempat kami lewati tadi. Siang itu kami tidak bercerita banyak sebab harus segera kembali. Di akhir perpisahan ketika kami berpamitan, beliau mengundang kami berkunjung saat hari raya ke rumahnya, bahkan memberikan kami sekantong kacang rebus dan sekantong kacang mentah, katanya “Untuk bekal di jalan pulang.”
Mampir ke Permandian Alam Dewi Lamsang
Kami kembali mengendarai motor menyusuri jalan pulang, melewati semua jalanan-jalanan ekstrim tadi. Setelah sampai di pertigaan Jalan Arung Kajuara, atau sekitar satu jam berkendara, kami memutuskan untuk makan siang di sebuah warung bakso tepat setelah pertigaan, sekaligus melepas penat selama berkendara.
Kami berenam berbincang santai setelah menghabiskan makanan masing-masing.
“Setelah dari sini kita langsung balik ke Makassar atau bagaimana?” Tanya seorang teman.
“Terserah saja. Tapi di sekitar sini juga ada banyak objek wisata. Bagaimana kalau kita mendatangi salah satunya sebelum pulang? Mumpung kita di sini.”
Saya setuju-setuju saja. Saat itu waktu masih menunjukkan pukul tiga sore dan jarak Makassar dari lokasi kami sekarang sekitar satu setengah jam. Akhirnya setelah mencari dan menyeleksi beberapa wisata di sekitar, kami memutuskan untuk menutup jalan-jalan sehari ini dengan berkunjung ke Permandian Alam Dewi Lamsang yang terletak 2,5 km dari warung bakso tempat kami beristirahat, atau sekitar tujuh menit dengan berkendara.
Kami melintasi jalan-jalan kecil di dalam perkampungan warga untuk sampai ke Dewi Lamsang. Tidak butuh waktu lama, penanda jalan pertama sudah terlihat. Untuk para pengunjung yang hendak berkunjung ke sini, anda tidak perlu khawatir tersesat sebab rute menuju Dewi Lamsang dipenuhi banyak penanda jalan. Begitu sampai di gerbang permandian, kami membayar retribusi dana parkir sebesar Rp5.000 per motor. Permandian alam ini sudah dikelola oleh warga, dengan banyak bangunan gazebo, fasilitas tempat wisata, juga berbagai tenda-tenda yang menawarkan aneka kuliner.
Keunikannya yakni tebing karst besar menjulang tepat di depan pengunjung. Kami berjalan melewati tenda-tenda yang menawarkan makanan, begitu pula dengan gazebo-gazebo yang mulai sepi. Permandian ini memiliki warna air biru kehijauan yang nampak segar. Saat kami tiba sore itu, masih banyak pengunjung khususnya anak-anak dan orangtua mereka yang menikmati berenang di pemandian alami itu. Sayang, saya melihat adanya masalah lingkungan khususnya kebersihan aliran sungai yang masih bersambung dengan permandian.
Mengingat hari sudah semakin sore, kami tidak terlalu lama di Dewi Lamsang, mungkin sekitar tiga puluh menit saja. Setelah cukup mengambil beberapa foto, kami pun langsung berkendara pulang setelah sempat singgah di salah satu SPBU di Pangkep yang menawarkan pemandangan pegunungan karst dan hamparan persawahan yang tidak akan pernah cukup untuk dinikmati.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu