Kebiasaanku ketika jalan-jalan ke daerah tertentu adalah mengunjungi pasar tradisional.
Selain sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi secara ekonomi, pasar tradisional pun menjadi ruang interaksi manusia di bidang sosial, kuliner, bahkan seni, yang dapat menciptakan dan menggerakkan peradaban daerah tersebut. Hal seperti itu susah kita temui di kenyamanan mal atau pasar modern lainnya.
Pasar Kanoman yang aku kunjungi pagi itu adalah salah satu pasar tua di Kota Cirebon.
Pasar itu diperkirakan telah ada semenjak Keraton Kanoman berdiri di tahun 1678, sebagai bagian dari kosmologi kekuasaan Jawa-Islam.
Pada kosmologi kekuasaan Jawa-Islam, Keraton adalah pusat kekuasaan dan bersinergi dengan Masjid Keraton, sebagai lambang kekuasaan Tuhan, di sebelah barat; alun-alun sebagai lambang kekuasaan rakyat; dan pasar, sebagai lambang kemakmuran, di sebelah timur.
Dikarenakan konflik politik, Belanda di tahun 1924 memperbesar pasar ke arah barat hingga menutupi alun-alun. Hal itu dimaksudkan untuk menutupi kekuasaan dan pengaruh Keraton Kanoman.
Sopir GrabCar menyebutkan dua nama masakan, nasi ayam Semarang dan gado-gado ayam, ketika kami bertanya menu sarapan yang paling tidak biasa di Pasar Kanoman.
Dari namanya, kedua masakan itu memang terdengar tak biasa. “Nasi ayam Semarang” dan “gado-gado” tentu identik dengan daerah lain.
Singkat cerita, di pasar akhirnya aku memilih gado-gado ayam.
Penjual hanya menggunakan gerobak, meja, dan kursi panjang yang ditaruh di depan toko yang sedang tutup. Berderet di sebelah kiri-kanannya penjual bakso, empal gentong, bubur ayam, dan docang.
Setelah gado-gado yang kupesan datang, rasa-rasanya aku memang harus berterima kasih kepada sopir GrabCar yang merekomendasikan makanan yang tidak biasa itu.
Gado-gadonya berkuah! Isiannya lontong, tauge, kentang, timun, dan telur rebus ditambah suwiran daging ayam goreng disiram dengan bumbu kacang dan kemudian disiram lagi dengan kuah kuning, yang kemudian kutahu, ketika kutanyakan ke ibu penjualnya, bahwa itu adalah kuah kari. (Tapi, dipikir-pikir, itu bukan kuah kari, lebih mirip gulai yang terbuat dari santan encer dan kaldu ayam dengan sedikit rempah.) Lalu, terakhir, ditaburi bawang goreng, kerupuk kampung, dan emping.
Kuah seperti itu, dengan santan dan rempah-rempah, adalah ciri masakan dari wilayah Sumatra yang mendapatkan pengaruh dari India Selatan.
Sedangkan gado-gado sendiri lebih populer di Jakarta. Kata “gado-gado,” menurut buku Batavia 1750: Menyisir Jejak Betawi, berasal dari bahasa Portugis, gadu, yang artinya makanan mirip panganan yang disajikan untuk ternak karena dicampur-campur dan diaduk-aduk.
Saus kacang pada gado-gado diperkenalkan oleh para pelaut dari Spanyol dan Portugis yang datang ke Nusantara abad ke-16. Di komunitas keturunan Portugis di Kampung Tugu, Koja, Jakarta, kita masih dapat menemukan gado-gado siram yang menjadi ciri khas masyarakat sana.
Merujuk prasasti abad ke-9 dan tulisan-tulisan kuno dari abad ke-10, orang Jawa [di masa itu] sudah mengenal makanan yang berasal dari sayur-sayuran. Ada kuluban yang berasal dari sayuran yang direbus atau lawar yang berupa sayuran dari bahan-bahan mentah.
Kedua jenis masakan itu bertemu dengan saus kacang yang dibawa Portugis dan saus khas Tiongkok (kecap) menghasilkan jenis makanan baru seperti: pecel, lotek, karedok, dan tentu saja gado-gado.
Jamie Oliver, seorang chef terkenal dari Inggris yang pernah mengunggah tutorial membuat gado-gado di akun twitternya, menyebut gado-gado sebagai identitas budaya Indonesia. Tahun 2014, gado-gado ditetapkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai salah satu dari 30 ikon kuliner tradisional Indonesia.
Lalu, berdasarkan cerita di atas, apakah sebenarnya kita bisa mengklaim bahwa gado-gado benar-benar asli Indonesia? Jika gado-gado bisa ngomong—seperti Agnez Mo—dan berkata, “Saya tak berdarah Indonesia,” bisa jadi akan muncul polemik di media dan publik Indonesia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.