Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo

Sebagai seorang netizen yang kafah, aku langsung nyinyir ketika membaca sebuat cuitan di lini masa Twitter soal pembagian makanan gratis untuk buruh gendong di Pasar Beringharjo. Aku membatin begini waktu itu: “Elo ngasih makanan gratis? Lah, trus apa kabar warung makan-warung makan di sekitaran pasar? Gak laku, dong, jualan mereka?!”

Kemudian, tak lama setelah itu, tak sengaja aku melihat unggahan Instagram Adriani Zulivan. Mbak Adriani menceritakan kegiatan memasak gratis yang kunyinyiri tempo hari. Melihat unggahan itu aku jadi merasa tak enak hati, apalagi kutahu Mbak Adriani dan suaminya, Mas Joyo (Elanto Wijoyono), adalah orang-orang baik yang peduli sesama.

Keinginan untuk membantu pun muncul dari dalam pikiranku. Segera kuhubungi Mbak Adriani untuk menyatakan maksudku, meskipun aku belum punya gambaran memadai soal kegiatan memasak dan membagikan makanan gratis itu.

Setelah melihat jadwal libur, baru di pekan kedua bulan November aku punya waktu luang untuk membantu kegiatan itu. Begitu Mbak Adriani mengatakan bahwa setelah 6 November kegiatan akan diistirahatkan sementara selama dua minggu, aku pun kelimpungan. Akhirnya kusiasati kembali jadwal liburku yang terbatas, terus kucocokkan dengan jadwal kereta ekonomi jurusan Jakarta-Jogja. Kereta kelas ekonomi adalah pilihan pertama. Maklum, masa pandemi ini sangat memengaruhi keadaan ekonomi bulananku, sampai-sampai ada satu istilah yang selalu membahana dalam pikiranku: eman-eman.


Akhirnya aku berada di Warmindo Bakzoo, Jl. Veteran 36, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, tak jauh dari seberang pintu masuk barat Kebun Binatang Gembira Loka, setelah menempuh 11 jam perjalanan naik kereta. Hampir dua pertiga perjalanan aku memakai face shield, salah satu hal yang diwajibkan PT KAI selain menunjukkan hasil rapid test yang non-reaktif. Tak nyaman, memang. Tapi semua harus dilakukan supaya wabah tak makin parah.

Warmindo Bakzoo/Daan Andraan

Hari pertama di warmindo yang jadi dapur umum itu aku hanya membantu memotong kentang yang hendak diracik jadi sambal kentang goreng untuk nasi bungkus yang akan dibagikan besok. Tak ada kegiatan memasak hari itu sebab sudah ada donasi 145 porsi nasi bungkus.

Ketika matahari tepat di atas kepala, aku ditawari makan siang bersama. Ikan goreng, tahu goreng, sayur ubi tumbuk, dan sambal dadakan yang luar biasa pedas menjadi menu makan siang kami. Sambil menikmati itu semua aku mulai menodong Mbak Adriani untuk bercerita tentang gerakan memasak makan siang gratis ini.

dapur gendong
Para relawan Dapur Gendong sedang menyiapkan nasi bungkus/M. Berkah Gamulya

Gerakan ini, tutur Mbak Adriani, berawal ketika Mas Mul (G. Berkah Mulyana) tersentuh hatinya melihat keadaan buruh gendong pasar di Jogja semasa corona ini. Hampir semua buruh gendong di pasar itu adalah wanita sepuh. Upah mereka hanya Rp2.000 untuk sekali menggendong beban yang kadang lebih berat ketimbang tubuh renta mereka. Sebelum pandemi, penghasilan simbah-simbah buruh gedong itu hanya Rp20.000-50.000 per hari. Tentu sekarang, ketika orang-orang lebih memilih di rumah saja, penghasilan mereka makin turun. Sementara, pengeluaran harian mereka tak ikut menurun.

Aktivitas memasak di Dapur Gendong/Daan Andraan

Sebagian besar di antara mereka bukan berasal dari sekitar pasar. Buruh-buruh gendong di Pasar Beringharjo, misalnya, banyak yang dari Kulonprogo. Dari rumah, mereka naik bus kecil dengan ongkos Rp7.000 sekali jalan—pulang-pergi berarti Rp14.000. Untuk makan nasi dengan lauk tempe mereka keluar uang Rp4.000. Ditambah biaya toilet umum, total pengeluaran mereka sehari sekitar Rp20.000. Jika penghasilan rata-rata minimal mereka Rp20.000 per hari, apa yang bisa mereka bawa pulang? Maka, tak jarang mereka memilih tak pulang, tidur di pasar, ketika pendapatan lebih kecil dari pengeluaran harian.

Lalu Mas Mul, Mas Joyo dan Mbak Adriani (aktivis sosial), serta Mas Dodok (Dodok Putra Bangsa, seniman dan penggerak “Jogja Ora Didol”) sepakat membuat dapur umum untuk memasak makan siang yang akan dibagikan gratis kepada para buruh gendong—”Porter woman,” demikian Mas Dodok menyebut.

Kiriman perdana Dapur Gendong, sebutan untuk dapur umum mereka, tanggal 19 Oktober 2020 adalah 130 bungkus berisi capcay jowo, telur balado, nasi putih, dan air minum. Penerimanya adalah para buruh gendong di Pasar Beringharjo. Dana untuk nasi bungkus itu, cerita Mbak Adriani, berasal dari donasi beberapa LSM, PPI, Gusdurian, dan orang-orang yang peduli.

Demi memudahkan penyediaan dan distribusi, Dapur Gendong memakai data yang mereka terima dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), sebuah lembaga yang melakukan pendampingan dan penguatan gerakan perempuan akar rumput, tak terkecuali buruh gendong. Yasanti mencatat bahwa di Pasar Beringharjo ada 145 buruh gendong, Pasar Giwangan 100 orang, Pasar Gamping 25, dan Pasar Kranggan 13.

Jumlah relawan yang semula belasan sekarang jadi lebih dari 30 orang. Mereka meluangkan waktu terlibat dalam empat kelompok tugas, yakni tim dapur (juru masak), tim bungkus (mengemas masakan), tim bersih (mencuci piring dan membersihkan dapur), dan tim distribusi (mengantar makanan ke pasar).

dapur gendong
Menu Dapur Gendong/Daan Andraan

Para relawan itu sebagian adalah para pekerja yang terkena dampak pandemi COVID-19.

Ibu Dijah (59 tahun), misalnya. Sewaktu tinggal di Jakarta ia bekerja di katering. Awal 2020 kemarin ia pulang ke Jogja membawa asa untuk membuka usaha. Namun rencana itu batal karena pandemi tiba. Sekarang, setiap hari ia datang ke Dapur Gendong dan menjadi kepala dapur yang bertanggung jawab menyiapkan lebih dari 150 nasi bungkus per hari. Relawan lainnya, Yusuf Bernadion Marcelino, sebelum pandemi adalah seorang koki di salah satu restoran di Jogja. COVID-19 membuatnya dirumahkan. Cerita-cerita mengharukan juga dibawa oleh para relawan lain yang ikhlas membantu Dapur Gendong tanpa bayaran. Doa-doa terbaik kudaraskan pada mereka semua.


Di hari terakhirku di Jogja, aku berniat datang jam 9 pagi ke Dapur Gendong, ketika para relawan sedang membungkus makanan. Kegiatan harian di Dapur Gendong sudah terjadwal—jam 7 memasak, jam 9 membungkus, dan jam 11 mendistribusikannya ke pasar-pasar. Setelah itu, para relawan akan istirahat makan siang sebelum kembali menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak keesokan harinya.

Tapi, sebelum ke Dapur Gendong aku ke Pasar Beringharjo terlebih dahulu untuk melihat dan mengambil foto para buruh gendong.

dapur gendong
Berfoto bersama buruh gendong/M. Berkah Gamulya

Setiba di sana, suasana masih sepi dan beberapa kios belum buka. Aku berkeliling pasar, melihat beberapa orang buruh gendong duduk-duduk di lorong kios sayur di lantai 2. Tiba-tiba seorang simbah melintas di depanku dengan karung besar di punggungnya. Aku mengikutinya. Dari belakang sini hanya tampak karung besar dan sepasang kaki kecil ringkih yang perlahan menapaki dinginnya lantai pasar. Saat mencoba mengambil foto, tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku langsung memalingkan muka, teringat ibuku di rumah.

Setelah berhasil menenangkan emosi, aku memesan ojol dan berjanji dalam hati, “Ini bukan terakhir kalinya aku ke Dapur Gendong; aku pasti akan kembali.”

Tinggalkan Komentar