Cerita di Kota Kerajaan Prabu Joyoboyo, Kediri

Pagi itu, aku menjejakkan kaki pertama kali di Jombang, Kota Santri. Ketika itu bapak kernet mengisyaratkan bahwa tujuanku sudah sampai. Aku pun turun di pertigaan Taman Kebonratu. Tujuanku kali ini adalah Kampung Inggris Pare di Kediri, untuk menemui sahabatku, Indra namanya. Ia berpesan bahwa dari Jombang aku harus ganti bus tiga perempat yang bertuliskan “Bagong” dan turun di Terminal Pare. Seturun dari bus Eka, mataku merekam sekeliling.

Cari sarapan dulu, pikirku. Perutku terasa lapar sekali. Setelah kuingat, ternyata malam sebelum perjalanan ini aku belum makan.

Belum sempat mencari sarapan, seorang bapak tua menghampiriku untuk menawarkan jasa ojek. Jika kuterka, bapak itu berumur 60 tahunan. Karena merasa kasihan, aku pun setuju dengan tawaran beliau untuk mengantarku menuju Kampung Inggris Pare.

Penunjuk arah menuju Pare/Alifan Ryan Faisal

Tak terasa, dalam tiga puluh menit sampailah aku di Jalan Brawijaya, Pare. Seketika itu aku langsung menuju soto Lamongan di ujung pertigaan jalan di mana Indra menungguku. Lalu, bapak itu kubayar sesuai permintaannya tadi, yaitu 35.000 rupiah—dan kupersilakan untuk ikut sarapan. Awalnya memang ia menolak dengan alasan sudah bawa bekal dari rumah. Namun setelah dibujuk akhirnya beliau mengiyakan tawaranku tersebut.

Setelah selesai makan, aku dan Indra menuju ke kosnya yang berada di daerah Bendo. Di sana aku menumpang mandi dan istirahat sejenak.

“Kuliah gimana, Bos?” tanyaku padanya yang sibuk mencari buku yang ingin kupinjam.

“Belum, nih. Baru mulai perkenalan lewat daring. Tapi nggak tau kapan waktunya,” jawabnya lemas karena kekenyangan.

“Ya udah. Ntar temenin keliling Kediri, ya. Lama kita nggak ngopi bareng,” ajakku sembari mengambil peralatan mandi.

“Oke siap. Ntar kuajak ke kedai kopi langganan,” jawabnya sumringah.


Siang itu jam 1 kami pergi ke kedai kopi di daerah Pare. Kupesan secangkir kopi Toraja, sedangkan Indra memesan kopi susu. Banyak obrolan yang kami bicarakan, hingga suatu waktu ponselnya berbunyi.

“Bentar, ya. Kuangkat dulu,” ujarnya. Aku mengiyakan dengan anggukan kepalaku.

Tampak serius dari raut wajahnya. Dan seusai menutup obrolan di ponselnya, ia meminta izin untuk pulang ke Surabaya. Dia menjelaskan bahwa ada urusan dengan keluarganya di rumah.

“Yah, nggak ada yang nemenin ke Kediri, dong?” kataku penuh kekecewaan.

“Duh, sori banget,” jawabnya. “Ibu minta aku pulang secepatnya. Dahlah, motorku bawa aja. Yang penting kamu nganterin aku ke terminal dulu.”

Setelah aku mengantarkannya ke terminal, kuputuskan untuk ke Kediri memakai motornya. Seketika itu kubuka salah satu aplikasi booking hotel. Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di Hotel Penataran, tepatnya di pusat kota. Sebenarnya tidak menjadi masalah aku jalan-jalan menelusuri suatu tempat sendirian, karena memang aku sudah terbiasa dengan itu. Namun, karena ini di luar rencana, rasa kecewa itu sedikit timbul di benakku. “Okelah. Aku jalan sendiri,” kataku dalam hati.

Gumul, monumen paling terkenal di Kediri/Alifan Ryan Faisal

Setelah check-in, tibalah aku di kamar. Aku tak mau hanya menghabiskan waktu untuk rebahan. Selang lima belas menit, kuambil lagi pouch yang berisi dompet, ponsel, dan buku kecil. Rencananya aku akan menyore di pinggiran Sungai Brantas.


Jam setengah lima. Kala itu, di pinggiran Sungai Brantas yang terik, terjejer pedagang kaki lima yang menjual berbagai makanan, minuman, serta camilan.

“Sepertinya akan bagus senja kali ini,” batinku sambil mengunyah rujak cingur yang telah kubeli. Mungkin pembaca sudah tak asing lagi dengan rujak cingur, makanan khas Jawa Timur yang berisikan sayur, buah, dan irisan mulut sapi alias cingur. Bumbu rujaknya pun tidak seperti biasanya, namun dengan bumbu kacang. Juga, pelengkapnya adalah lontong, menjadikan makanan ini mempunyai nilai karbo yang cukup tinggi, namun tetap sehat karena adanya buah dan sayuran tersebut.

Di sepanjang pinggiran sungai, beberapa orang sedang asyik memancing. Di atas mereka ada dua jembatan besar, yakni Brawijaya dan Dahanapura. Jembatan Brawijaya adalah jembatan baru yang dipergunakan untuk mengganti jembatan lama, yaitu Jembatan Dahanapura. Di ujung timur jembatan, tepatnya di sebelahnya, terhampar Taman Brantas yang cukup rindang. Fasilitas umumnya pun terlihat sangat terawat. Taman itu dilengkapi arena BMX dan skatepark.

Sungai Brantas dan Jembatan Brawijaya, Kediri/Alifan Ryan Faisal

Selesai memanjakan perut dan mata, aku dikejutkan oleh suara seorang pria.

“Permisi, Mas. Boleh minta tolong fotoin?” pinta dia menyadarkanku dari lamunan.

“Owh, iya, Mas, monggo. Satu, dua, tiga,” kataku memberi aba-aba.

Setelah tombol rana kutekan, kuperlihatkan hasilnya kepada mereka.

“Terima kasih, Mas. Masnya sendirian?” tanya pria itu yang ternyata—setelah berkenalan kutahu—namanya Dani. Yang berfoto dengannya ternyata adalah pacarnya. Ika namanya.

“Iya, Mas. Lagi pengen nikmatin Kota Kediri. Mas sama mbak ini dari mana?” tanyaku balik.

“Saya dari Jogja, Mas. Lagi liburan juga sekalian pengen ketemu pacar saya. Dia kuliah di Kediri. Masnya dari mana?” tanya dia ganti.

“Saya dari Semarang, Mas. Hehehe,” jawabku, tertawa sambil menikmati senja.

“Salam kenal, Mas. Kami pamit dulu, ya. Terima kasih fotonya tadi,” kata Dani sambil berjabat tangan.

“Sama-sama. Salam kenal juga, Mas,” jawabku sambil beranjak menuju parkiran motor dan kembali ke hotel.


Hari kian petang, magrib pun mengambang. Di ujung senja, di Jembatan Brawijaya. Biarkan semua yang terekam, terkenang. Sertakan doa-doa baik menuju waktu yang kian melekang.


Setelah mandi dan rebahan sekitar tiga puluh menit, aku berniat untuk pergi ke kedai kopi. Rasanya mengantuk berat setelah seharian berjalan sendiri. Setelah berselancar di Google Maps, aku mendapatkan referensi kedai kopi di Jalan Dr. Setiabudi, namanya Sandei. Jaraknya hanya 300 meter dari hotel, dan letaknya ada di belakang persis. “Wah lumayan deket, nih,” pikirku. Akhirnya aku memutuskan untuk jalan kaki saja. Sesampai di sana, ternyata tak terlalu ramai. Padahal menurut ulasan di Google Maps kedai kopi itu selalu ramai. Mungkin karena ini bukan hari libur, pikirku.

Di meja bar, kutemukan beberapa stoples berisikan biji-biji kopi dengan labelnya masing-masing—Aceh, Wamena, Temanggung, dan Bali. Pilihanku kala itu adalah kopi dari Temanggung. Untuk camilan, aku beli kentang goreng. Aku sengaja tidak makan berat karena ingin merasakan pecel Kediri di depan hotel.

Aku mencoba menikmati suasana di kedai kopi itu. Mataku tertuju pada rak buku yang berada di pojokan ruangan ber-AC itu. Aku memilih membaca buku yang berjudul Singgah. Kubaca beberapa halaman sambil menikmati kopi di mejaku. Dan terdengar sayup-sayup alunan lagu Float yang berjudul “Sementara” di daftar putar musik kedai itu.

Suasana Kedai Kopi Sandei, Kediri/Alifan Ryan Faisal

Kulihat jam di tangan kiriku menunjukkan pukul 22.00. Belum terlalu malam, pikirku. Namun aku harus makan pecel Kediri dulu sebelum beristirahat di hotel. Segera aku bergegas menuju kasir untuk membayar pesananku tadi. Lalu kulanjutkan berjalan kaki menuju depan hotel, di mana banyak penjual makanan. Sejujurnya aku lebih suka suasana makan yang sederhana, walaupun ngemper. Tepat di depan gang sebelah Hotel Penataran, terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan aneka makanan dan minuman. Salah satunya adalah pecel Kediri. Pecel itu tampak seperti nasi pecel biasa. Pembedanya adalah sambel tumpang yang menjadi pelengkap. Harganya pun sangat terjangkau dan bikin perut kenyang.

Setengah malam kuhabiskan di emperan toko, dengan segelas kopi yang kubeli di samping ibu penjual pecel. Tampak ampas kopi yang mengendap di dasar gelas, mengisyaratkan aku untuk segera beristirahat. Kala itu, pukul 23.45, aku kembali ke hotel demi me-recharge tubuhku untuk perjalanan pulang besok.


Pagi itu, aku bersepeda motor melewati Jalan Wahid Hasyim. Di sana aku menemukan Warung Soto Ayam Kampung Lamongan Pak Ran. Karena aku pecinta soto, maka kusempatkan untuk sarapan di sana. Soto Lamongan menurutku rasanya sangat gurih, dengan kuah kuning dan taburan bubuk oranye yang menjadikan kuahnya lebih kental setelah diaduk. Harganya pun sangat terjangkau, mungkin karena lokasinya dekat area kampus dan perkantoran.

Selesai dengan soto, aku pun menuju Gunung Klotok. Di lerengnya terdapat Goa Selomangleng. Dengan tiket 4.000 rupiah dan parkir motor 2.000, kita bisa berkeliling melihat beberapa peninggalan sejarah. Suasananya pun cocok untuk ngadem ketika berkunjung ke Kediri. Dan ketika akan pulang ke hotel, aku sengaja lewat Jalan Lingkar Maskumambang. Jalan itu hanya melingkari Gunung Maskumambang saja, namun keasriannya menarikku untuk lewat.

Sesampai di hotel, aku mengemas semua barangku ke dalam ransel. Bersiaplah aku untuk pulang ke Semarang. Nantinya, aku akan bertemu dengan teman Indra terlebih dahulu di Terminal Pare guna mengembalikan motor yang kupinjam.

Pukul 11.30, aku meninggalkan hotel dan menuju terminal. Butuh waktu sekitar empat puluh menit untuk sampai di terminal. Di sana telah menunggu Bagas, teman kos Indra.

“Sori, Bro. Nunggu lama, ya?” tanyaku sesampai di sana.

“Ah, enggak. Baru lima belas menit paling,” jawabnya. Lalu, sambil menjabat tanganku, ia bertanya, “Gimana jalan-jalannya? Seru gak?”

“Seru nggak seru tuh tergantung bagaimana kita yang menjalani. Betul nggak? ” Jawabku santai sambil tertawa.

“Yap, betul, tuh. Nah, tuh bus Bagong-nya sudah dateng. Buruan gih masuk,” kata Indra waktu melihat bus itu masuk terminal.

“Oiya, nih. Ya udah, cabut dulu, ya. Terimakasih banget, lho. Kapan-kapan bakal ke sini lagi, kok. Eh, salam buat Indra, ya. Bye!“ kataku sambil menyerahkan kunci motor.

“Siap, santai aja. Hati-hati, ya, Bro,” balasnya di depan pintu bus.


Di dalam bus, aku memandangi jalanan menuju Terminal Jombang, tempat nantinya aku akan pindah bus besar jurusan Semarang. Mataku masih merekam apa pun di luar sana. Sebuah cerita telah kutulis di Kota Tahu, kota yang menuliskan sejarah panjang di masa silam. Kusemai dulu rindu; kelak aku akan menuainya melalui sebuah temu.

Tinggalkan Komentar