Namanya Emma Justica Rusadi. Adik ipar penulis. Anak muda yang—setidaknya—dua tahun belakangan sangat aktif mendaki gunung. Selain karena memang suka, renjananya terhadap rimba juga disebabkan “kegilaan” kakak-kakaknya yang memang sangat hobi dan menggilai petualangan alam, terutama pendakian gunung.
Meskipun portofolio pendakiannya baru seputar gunung-gunung di Jawa Tengah, lakunya menunjukkan antusiasme besar melebihi pengalamannya sejauh ini. Ia hampir selalu ikut jika penulis dan teman-teman memiliki agenda mendaki gunung di sekitar rumah. Beruntung dan bersyukur Magelang dikaruniai gunung-gunung yang bisa dijangkau dengan mudah.
Beberapa bulan lalu perempuan kelahiran Magelang itu baru pulang dari “diklat singkat” dalam EIGER Mountaineering & Jungle Course (MJC) pada 24 September–1 Oktober 2023, yang acara intinya dihelat di Bumi Perkemahan Kalipasang, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, Getasan, Kabupaten Semarang. Saat dinyatakan lolos seleksi setelah periode pendaftaran 8–11 September, ia dan peserta lainnya mendapat sejumlah fasilitas, antara lain tas carrier EIGER Rhinos 45 L, kostum kegiatan (kaus dan syal), transportasi titik kumpul Koramil Getasan–basecamp (PP), peta kawasan, tenda dan konsumsi selama kegiatan, pendampingan medis, Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi), dan sertifikat kegiatan.
Pada event tersebut, Emma dan puluhan peserta lainnya berkesempatan mereguk ilmu seputar pendakian gunung dari Djukardi “Bongkeng” Adriana dan 10 pembicara lainnya dengan materi-materi terbaik: Galih Donikara (manajemen ekspedisi), Heri “Jaro” Herdiana (manajemen perlengkapan dan peralatan ekspedisi), Heri “Uu” Suherman (teknologi navigasi darat gunung hutan), Nana Herdiana (perencanaa perbekalan), Gustaman (membangun jaringan komunikasi lapangan), Mamay S. Salim (wawasan ekspedisi), Dudi Sugandi (dokumentasi ekspedisi), Siska Nirmala (pendakian zero waste), serta dr. Darmawati Ayu, M.Si.Med (kesehatan perjalanan dan medis ekspedisi). Nurpana Sulaksono, yang saat itu menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, turut berbicara memberi wawasan mengenai kawasan konservasi Gunung Merbabu.
Di tengah keterbatasan waktu, Emma (panggilan akrabnya) berbagi cerita singkat serta banyaknya ilmu dan keterampilan yang didapat saat mengikuti agenda tahunan EIGER tersebut.
Ceritakan, dong, awalnya bisa ikut EIGER Mountaineering & Jungle Course 2023?
Pertama kali lihat (poster iklan) MJC itu pas mau naik Merbabu [via] Thekelan itu, loh (Agustus 2023). Terus langsung [berpikir]. wah, ini [menarik]. Slot terbatas dan cepet-cepetan.
Kenapa mau ikut event ini?
Karena memang background-ku bukan dari anak pencinta alam, terus [aku] merasa kayak butuh. [Selain itu] pengin coba dan kenalan sama teman-teman pendaki yang pastinya banyak dari komunitas pencinta alam. Apalagi dari kampus kampus, kan, biasanya. Dan kemarin kebetulan juga banyak banget perwakilan [organisasi] pencinta alam kampus, yang sangat didukung secara finansial dan moral.
Bagaimana proses pendaftaran dan seleksinya?
Daftarnya itu gampang sebenarnya. Tinggal isi formulir (secara daring lewat tautan Instagram EIGER Adventure Service Team/EAST) kemudian diseleksi. [Jika lolos] dihubungi untuk registrasi ulang dan [baru] aku bayar [biaya registrasi] Rp750.000.
Sistem bayarnya juga harus dihubungi satu per satu dulu baru bisa bayar, sehingga yang bukan calon peserta itu enggak bisa transfer. Jadi, memang sangat terseleksi dan tepatlah orangnya [yang bisa ikut].
[Setelah itu] akhirnya masuk ke grup [Whatsapp]. Nah, di grup tersebut mulai kayak ada [tambahan persyaratan] tes kesehatan dan surat keterangan dari orang tua atau wali, karena kita delapan hari kegiatan di luar [rumah].
Dari mana saja 80 orang yang ikut MJC kemarin?
Untuk peserta tahun ini hampir rata, sih, karena hampir setiap provinsi ada. Yang paling jauh itu Papua, cuma aku lupa bagian mana dan enggak banyak. [Peserta] paling banyak itu [dari] Sulawesi, Nusa Tenggara, sama Sumatra pun ada. Kalau dihitung rata banget, kok. Cuma kalau dari Jawa Tengah hanya Magelang dan Banjarnegara.
Dari 80 peserta, hampir 97% berpengalaman mendaki gunung. [Kadar] pengalamannya paling minim mendaki gunung tertinggi di provinsi mereka. Misalnya, orang-orang Jawa Tengah sudah sampai Slamet. Orang Nusa Tenggara Barat sudah sampai Rinjani.
Bagaimana jadwal kegiatan berlangsung selama delapan hari itu?
Di grup kita dikasih briefing materi dan lain-lain, seperti persiapan dan daftar perlengkapan apa saja yang harus dibawa besok. Nah, untuk kegiatannya [apa saja] itu sangat-sangat dirahasiakan. Jadi, selama delapan hari itu kita sama sekali enggak tahu kita besok mau ngapain, materinya apa, ketemu siapa. Kita enggak tahu.
Habis subuh itu, sekitar pukul 05.00 kita sudah bangun untuk persiapan senam. Habis senam kita makan. Setelah itu kayak enggak ada jeda untuk mandi dan lain-lain. Ya, sudah, langsung mulai pukul 07.00 itu mulai [pemberian] materi sampai pukul 21.00. Pembicara itu banyak, tetapi melingkupi seluruh materi. Jadi, kayak step by step.
Sebenarnya banyak pembicara selain dari [yang tertera] di poster MJC. Misalnya, 17 ekspeditor perempuan dari Ekspedisi 17 Gunung di tanggal 17 Agustus itu juga diundang. Bahkan Kang Bongkeng itu malah hadir dari mulai panitia masuk buka tenda, benar-benar dari nol belum ada apa-apa di lapangan, sampai hari H selesai.
Di akhir kegiatan, peserta MJC praktik melakukan ekspedisi ke Gunung Merbabu. Seperti apa itu proses perjalanannya?
Dari 80 dibagi empat kelompok. Berarti [ada] 20 orang per tim, [masing-masing] lewat jalur Suwanting, Wekas, Thekelan, dan Selo. Tanggal 29 September itu naik, tanggal 28 malam (sehari sebelumnya), kita baru dikasih tahu [pembagian kelompok dan jalur].
Di situ tugas kita sebagai peserta dalam satu tim, diminta buat proposal ekspedisi. Mulai dari ketua, sekretaris, bendahara, koordinator logistik, siapa navigatornya, siapa bagian dokumentasi; itu [harus] detail semua. Setelah buat kepanitiaan dan pembagian tugas, kita menyusun rencana anggaran untuk ekspedisi itu. Istilahnya kita [akan] dibiayai EIGER, tapi kita [harus] mengajukan proposal dulu. sampai di-ACC pagi harinya.
Kita tuh enggak tahu per tim itu dapat berapa juta. Jadi, ya, kita harus seminimal mungkin anggarannya dan tetap sesuai tujuan gitu. Makanya kemarin aku sempat jadi bendahara di tim jalur Suwanting, ya, kerasa [pusing].
Setiap materi itu diterapkan saat ekspedisi. Salah satunya soal navigasi darat. Jadi, meskipun sudah jelas jalurnya, kita tetap merasa bahwa ini tidak jelas jalannya. Kita benar-benar belajar [praktik langsung], kita berangkat berapa mdpl (meter di atas permukaan laut), sampai Pos 1 berapa mpdl, berapa jam [perjalanan]. Serinci itu. Kemudian handy talky (HT) itu dibagi ke tiga: ketua tim satu, sweeper satu, sama navigator satu. Dibagi tiga tim selama perjalanan.
Adakah feedback dari perusahaan, dalam hal ini EIGER Adventure, selaku penyelenggara MJC?
Pertama, kalau dari MJC (dalam hal ini EIGER) sebenarnya enggak muluk-muluk ya. Maksudnya, enggak kayak besok kamu keluar dari MJC harus begini-begitu, harus naik gunung terus, enggak sih. Tapi mereka sangat terbuka, kalau misalnya kita mau ekspedisi dan dibantu finansial (disponsori) sama EIGER, [kita dipersilakan] buat proposal apa saja bentuk ekspedisinya. Kalau diterima [proposalnya], ya, kita dengan senang hati ngasih feedback, karena mereka senang banget [kalau] ada ekspedisi dari orang-orang atau anak-anak muda [peserta MJC].
Terus yang kedua, kalau misalnya [berkegiatan] keluar atau mau jadi apa juga dipersilakan. Be yourself. Mau pakai nama MJC enggak apa-apa, yang penting bertanggung jawab, karena kita sebelum masuk itu kayak ada surat pernyataan persetujuan gitu, [salah satunya] detail seperti membawa nama baik brand.
Apa saja pesan yang kamu dapat selama mengikuti EIGER MJC?
Secara keseluruhan [hampir semua pembicara] bilang, selagi kamu masih muda silakan bermimpi besar. Karena mimpi-mimpi kecilmu akan menjadi besar.
Kayak aku yang perempuan aja ditanya begini sama Kang Iwan “Kwecheng” Irawan:
“Kamu masih muda, Mbak. Perempuan lagi. Umurnya berapa?”
“24 tahun, Pak.”
“Loh, enggak mau nikah, ya?”
“Belum, Pak.”
“Kamu cita-citanya atau impian terbesarmu apa?”
“Ya, pengin paling enggak sampai basecamp Everest.”
“Ya, bisa! Kamu itu punya mimpi yang besar, jangan yang kecil-kecil. Karena kalau [mimpi] yang besar itu pasti effort-nya akan besar untuk mencapai itu.”
Semua orang di EIGER Adventure Service Team (EAST) itu kan rata-rata tidak punya tujuan untuk menjadi pendaki profesional dari muda. Kang Bongkeng saja di-drop out (DO) dari sekolah. Jadi, beliau [Kang Bongkeng] juga bilang, “Ya, kalau kamu misalnya [mau] sekolah, silakan fokus sekolah dulu. Jangan fokus naik gunung. Kalau kamu sudah punya titel, sudah lulus, baru kamu jadi pendaki profesional. Jangan kayak saya.”
Kesan apa yang sangat menempel di benak kamu selama mengikuti MJC?
[Aku merasa] sangat diterima dengan baik walaupun aku masih pemula dan enggak tahu apa-apa. Tidak ada yang membedakan sama sekali, entah itu pesertanya maupun orang-orang EIGER-nya. Bahkan orang orang basecamp pun sangat welcome [berbagi] pengetahuan, kayak [misalnya] kamu nggak tahu sesuatu, ya, dijelaskan kok. Sangat merangkul, siapa pun itu di acara MJC.
Apalagi orang-orang dari taman nasional, kemarin kan datang semua. Sangat welcome juga, diajak ngobrol. Benar-benar kayak enggak ada batasan dan tidak pandang bulu sama sekali.
Foto sampul:
Foto bersama para peserta EIGER MJC 2023 di puncak Gunung Merbabu/EIGER Adventure
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.