Cerita dari Bantaran Kali, “Sebuah Tempat Terbaik di Dunia”

Pada salah satu bab, Roanne menceritakan sistem menabung dan meminjam uang warga Bantaran Kali di bank keliling yang dijalankan oleh Pinter. Tikus ikut menjadi nasabah di bank keliling, ia meminjam uang di Pinter untuk membangun sebuah tempat kebugaran dan membeli sebuah jacuzzi, karena menurutnya warga Bantaran Kali membutuhkan itu.

Ketika pembukaan tempat kebugaran yang langsung dipenuhi para warga, Tikus berbicara kepada Roanne, “Ini adalah tempat terbaik di dunia. Semua yang kamu ingin, bisa kamu dapatkan dan kamu lakukan di Bantaran Kali. Di kampung kumuh ini, kami menjalankan hidup semewah hidup miliarder di Jakarta.” Kalimat ini membuat saya semakin paham apa yang dinyatakan Roanne bahwa mereka selalu menemukan cara kreatif dalam menyikapi hidupnya.

Pada bab akhir, Roanne menceritakan tentang budaya “kami” masyarakat Indonesia yang juga dirasakannya di Bantaran Kali. Ia merasa dirinya dianggap seperti bagian keluarga warga Bantaran Kali dan harus patuh pada aturan keluarga. Budaya ini berbeda dengan kehidupannya di Belanda, sehingga terkadang membuat Roanne merasa sulit memiliki waktu dan ruang untuk dirinya sendiri.

Menjelang akhir penelitiannya, Roanne memberikan hadiah dengan mengajak warga Bantaran Kali berwisata ke pemandian air panas yang lokasinya tidak jauh dari Jakarta, dengan menyewa 20 metromini. Namun perjalanan wisata ini tidak sesuai bayangan Roanne. Dimulai dari warga Bantaran Kali yang berdebat tentang jalan menuju lokasi, sehingga membuat perjalanan lebih lama dari perkiraan. Kemudian ternyata lokasi pemandian pun memiliki ukuran sangat kecil, tidak cukup menampung warga Bantaran Kali. Namun mereka tetap tampak menikmatinya, sambil beberapa orang menikmati makanan yang dibawa dari rumah.

Saat Roanne ingin kembali ke Belanda, suasana kekeluargaan semakin dirasakannya. Banyak warga yang memberikan saran atau benda kenang-kenangan kepada Roanne. Roanne juga memberikan beberapa barangnya kepada mereka. Saat sudah di Belanda, komunikasi Roanne dengan warga Bantaran Kali juga tetap terjalin melalui internet. Suatu ketika, Roanne yang dari awal tidak menuliskan waktu penelitiannya, tiba-tiba menyatakan bahwa pada Agustus 2015—saat ia di Belanda—mendapat pesan WhatsApp dari Tikus berisi info dan foto bahwa penggusuran dari pemerintah terjadi di Bantaran Kali. Penggusuran dimulai dari dini hari, dengan melibatkan kekerasan termasuk ada gas air mata.

Sebuah foto dari buku milik Roanne van Voorst
Sebuah foto dari buku milik Roanne van Voorst/Nita Chaerunisa

Beberapa diantara warga yang rumahnya tergusur ada yang mendapatkan tempat tinggal baru sebagai gantinya dari pemerintah, yaitu di rumah susun. Namun banyak pula yang tidak mendapatkan itu, karena urusan administrasi seperti KTP dan alasan lainnya yang mungkin mereka sendiri kurang mengerti. Warga Bantaran Kali berpisah dan jaringan sosial yang pernah menjadi tumpuan hidup mereka juga hilang.

Dua minggu setelah penggusuran, Roanne melihat langsung kerusakan hasil penggusuran dengan ditemani Tikus dan bertemu juga dengan Neneng dan Yantri. Ada beberapa rumah yang belum terkena penggusuran, termasuk rumah Enin dan Yantri. Namun mereka tetap khawatir rumah mereka akan segera ikut terkena penggusuran.

Pada cerita penggusuran itu, tersirat bahwa latar belakang penulisan buku ini atas saran Tikus dan keinginan Roanne untuk membantu mereka. “Kamu bisa menulis tentang kami, kan? Tentang bagaimana dulunya di sini, juga tidak adil dan sungguh disayangkan semua ini dirusak? Suara kami tak pernah didengar karena kami cuma penghuni kampung kumuh. Tapi, kata-katamu setidaknya masih akan mendapat perhatian! Kamu bisa menceritakan kisah kami pada dunia.”

Dari buku ini, saya berpikir bahwa sepertinya memang betul akan lebih baik jika pengambilan kebijakan dari pemerintah untuk masyarakat lebih mempertimbangkan suara masyarakat dan memahami cerita kehidupan mereka dengan lebih komprehensif.

Perbedaan budaya dengan negara asalnya—Belanda—ditambah latar belakangnya sebagai antropolog membuat Roanne tampak objektif melihat fenomena yang ia temukan dan dapat menuliskannya dengan baik. Meskipun buku ini merupakan catatan hasil penelitian doktoral dan tertulis dalam bentuk terjemahan, namun tulisan yang disajikan mudah dipahami dan dapat dibaca oleh siapa saja. Selain pemerintah, saya berharap buku ini juga membuka pandangan masyarakat lain yang masih memandang negatif permukiman kawasan kumuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar