Jakarta yang masih berstatus Daerah Khusus Ibukota seperti memiliki magnet, banyak orang dari wilayah lain di Indonesia datang ke sini. Mereka yang pergi ke Jakarta ada yang hanya berkunjung, namun banyak juga yang memilih tinggal menetap di Jakarta dengan maksud merubah hidup. Beragam latar belakang orang yang menetap, membuat beragam pula bentuk kawasan permukiman di Jakarta, termasuk salah satunya permukiman kumuh.
Saat pertama kali melihat cover dan judul buku Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta, saya langsung merasa tertarik untuk membacanya. Sebagai warga Jakarta, saya masih sering mendengar stigma negatif tentang kawasan kumuh di Jakarta. Hal ini ternyata serupa dengan pandangan pemerintah yang diceritakan buku ini—di bagian prolog. Mereka mengatakan bahwa keberadaan kawasan kumuh merusak citra Jakarta dan lokasinya juga dianggap berbahaya karena tingkat kejahatannya yang dinilai tinggi.
Buku ini menceritakan kisah Roanne van Voorst saat melakukan penelitian doktoral bidang Antropologi di salah satu kawasan kumuh di Jakarta selama sekitar satu tahun. Namun saya melihat buku ini bukan murni hasil penelitian Roanne, tapi semacam catatan etnografi atau refleksinya ketika melakukan penelitian dengan metode observasi partisipatif, yang mana ia hidup bersama para penghuni kawasan kumuh rawan banjir di Jakarta.
Penelitian Roanne bertemakan perilaku manusia dalam menghadapi banjir, tapi ternyata cerita yang tersaji lebih dari itu. Pada bagian awal buku, Roanne sudah menyinggung bahwa tulisannya tentang kawasan kumuh bukan bercerita mengenai pandangan negatif dari pemerintah dan juga tidak sepenuhnya mendukung cerita sifat positif masyarakat miskin dari peneliti lain. Tapi ini tentang penduduk yang selalu bisa menemukan solusi kreatif dalam memecahkan masalah hidup yang dihadapinya.
Cerita dimulai dari pertemuan tak terduganya dengan Tikus saat dirinya dalam keputusasaan menghadapi berbagai rintangan di awal penelitian. Tikus, seorang pengamen jalanan, mengajak Roanne ke tempat yang katanya terbaik di dunia, bernama Bantaran Kali. Bantaran Kali bukan merupakan nama asli tempat tersebut, begitu pula dengan Tikus dan para tokoh lainnya dalam tulisan ini. Roanne menyamarkan nama dan karakteristik mereka.
Tikus membawa Roanne ke permukiman pinggir kali, dengan rumah-rumah padat saling berhimpitan yang dapat dikatakan kurang higienis dan bangunannya bersifat ilegal. Roanne tinggal di Bantaran Kali dengan menyewa sebuah rumah milik seorang ibu bernama Enin, yang kemudian menganggap Roanne sebagai anak angkatnya. Sedangkan rumah Enin sendiri letaknya lebih atas dari rumah yang ditempati Roanne. Kalau banjir datang mereka tinggal bersama di rumah Enin, juga bersama Neneng—seorang PSK di Bantaran Kali.
“Sudah biasa,” ungkap penghuni Bantaran Kali ketika berbicara tentang banjir. Mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan sebelum, saat dan sesudah banjir. Meskipun begitu, mereka tetap cemas dengan banjir dan takut itu bisa membuat pemerintah menggusur wilayah mereka. Mereka sadar bahwa cepat atau lambat Bantaran Kali akan tergusur.
Salah satu cara yang dilakukan warga Bantaran Kali dalam menghadapi banjir yaitu berkomunikasi dengan pemerintah terkait melalui portofon atau walkie talkie untuk mengetahui perkiraan waktu kedatangan banjir dan berapa lama banjir akan melanda wilayah mereka. Kemudian pemilik portofon menyebarkan info kepada warga lainnya dengan menggedor pintu mereka. Di Bantaran Kali, portofon bukan hanya untuk menyebarkan info banjir, tapi juga dapat meningkatkan status sosial pemiliknya, karena sang pemilik dianggap bekerja dengan pemerintah. Maka dari itu, meskipun mahal, ada di antara mereka yang berusaha untuk memilikinya.
Cerita yang tersaji pada buku ini bukan hanya tentang banjir, banyak cerita kehidupan lainnya di Bantaran Kali. Seperti bencana kebakaran yang menghanguskan beberapa rumah. Mereka yang mengalami kebakaran tetap kembali membangun rumah di Bantaran Kali, meskipun mereka sadar bahwa itu bukan tanah miliknya. Bahkan ada yang membangun rumah lebih mewah dari sebelumnya, dengan harapan nanti saat penggusuran tiba akan mendapat ganti rugi yang besar dari pemerintah.
Roanne juga bercerita bahwa dirinya harus berusaha memahami korupsi yang bertentangan dengan norma hidupnya selama di Belanda. Ia menyaksikan dan mendengar cerita langsung bahwa uang dalam hubungan sosial dapat berguna sebagai alat untuk ”melicinkan urusan”. Korupsi yang ditemukannya ini seakan menjadi rantai dan bukan hanya ditemukan di Bantaran Kali, namun juga pada polisi dan pejabat publik.
Saat bulan kelima penelitiannya, Roanne sempat mengalami sakit yang membuat tubuhnya tidak berdaya. Roanne yang ingin berobat ke rumah sakit dilarang oleh warga Bantaran Kali. Mereka menganggap rumah sakit itu berbahaya dan lebih memilih pengobatan tradisional, seperti obat-obatan tradisional di rumah Yantri. Ini terjadi karena banyak diantara mereka yang ketika sakit, mendapat perlakuan kurang baik dari pihak rumah sakit.
Warga Bantaran Kali yang perempuan juga melakukan beberapa cara tradisional untuk meningkatkan gairah seks. Ini diketahui Roanne saat Enin dan Neneng memberikan saran kepadanya, ketika ia menceritakan komunikasi dengan kekasihnya di Belanda yang semakin memburuk. Ternyata mereka menduga itu disebabkan oleh gairah seks Roanne yang menurun, sehingga menyarankan Roanne untuk melakukan perawatan vagina dan makan mangga untuk meningkatkan hal itu. Namun Roanne tidak mengikuti semua saran yang diberikan.