Catatan dari Sungai Subayang

Mobil Avanza hitam berpelat BM itu melenggang penuh percaya diri di sebuah jalan lintas di Pekanbaru. Lalu kami mulai masuk ke jalan yang tak terlalu mulus dan mendaki-menurun. Semula saya hendak mengingat setiap belokan dan persimpangan yang kami lalui, namun saya batalkan niat itu. Tidur lebih menarik.

Dari Ibu Kota Riau, Pekanbaru, kami menempuh sekitar tiga jam perjalanan menuju Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Desa Tanjung Belit secara administratif berada dalam daerah penyangga Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling. Ada pula hutan adat di sekitar kawasan konservasi tersebut. Wilayah ini juga dibelah oleh aliran Sungai Subayang yang masih dipelihara turun-temurun lewat nilai dan budaya setempat.

Memasuki Desa Tanjung Belit, saya merasa bahwa tempat itu tak beda jauh dari desa-desa pinggiran lainnya. Dibandingkan desa-desa “biasa,” Desa Tanjung Belit seperti ditinggalkan oleh kereta waktu sekitar sepuluh sampai dua puluh tahun. Rumah-rumah tanpa pagar atau patok yang jelas. Halaman luas dinaungi pohon-pohon yang rindang. Sebagian besar rumah masih berdinding kayu. Saya suka dengan rumah berdinding kayu ketimbang rumah beton. Saya ingin punya rumah seperti itu. Dari rumah-rumah itu terpancar kehangatan dan kesederhanaan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Meskipun sedikit, ada jejak modernisasi yang tampak, misalnya pada parabola dan kabel listrik yang menjuntai di sana.

Salah satu rumah di Desa Tanjung Belit/Syukron
Salah satu rumah di Desa Tanjung Belit/Syukron

Kami selama beberapa hari akan tinggal di salah satu rumah warga. 

Desa Tanjung Belit saat itu sedang mencoba membuka diri dengan membuat tempat wisata. Air terjun di sekitar desa cukup banyak, salah satu yang dipopulerkan adalah Air Terjun Batu Dinding. Jaraknya sekitar setengah jam berjalan kaki dari desa. Para pemuda menganggap wisata bisa menjadi alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat setempat. Salah satu bentuk keseriusan mereka adalah membentuk kelompok Ikatan Pemuda Ekowisata untuk mengelola ekowisata air terjun. Namun, jauh sebelum itu, Rimbang Baling memang sudah menjadi lokasi wisata minat khusus bagi mahasiswa dan peneliti untuk mempelajari keanekaragaman hayati sungai dan hutan.

Air Terjun Batu Dinding/Syukron
Air Terjun Batu Dinding/Syukron

Keesokan harinya kami menyusuri Sungai Subayang naik perahu kecil bermotor. Yang tak terbiasa pastinya akan kesulitan menaikinya, sebab dibutuhkan keseimbangan agar tidak terlalu berat ke kiri atau ke kanan. Rute kami melawan arus sungai. Basah sedikit kecipratan air adalah kewajaran. 

Dari perahu itu saya bisa lihat bahwa sungai memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sekitar. Selain sebagai jalur transportasi, Sungai Subayang juga dimanfaatkan sebagai tempat mandi, mencuci, hingga sumber ikan. Sayangnya, sekarang kondisi Sungai Subayang mulai keruh dan kotor akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali. Menurut informasi, penyebabnya antara lain aktivitas transportasi kayu, penggunaan bahan kimia, dan penambangan di hulu sungai. Tak terbayang berapa orang yang akan terkena imbasnya jika persoalan kerusakan sungai ini tak segera diselesaikan.

Di pinggir Sungai Subayang/Danar Tri Atmojo
Di pinggir Sungai Subayang/Danar Tri Atmojo

Kebijaksanaan lokal sebenarnya sudah menyediakan cara turun-temurun untuk menjaga kesimbangan ekosistem desa. Ada sebuah tradisi untuk menyepakati membatasi sebuah area yang dinamakan Lubuk Larangan. Para tetua adatlah yang menetapkan batas-batasnya dan wilayah perairan itu terlarang bagi aktivitas manusia, kecuali pada waktu-waktu yang ditentukan, misalnya saat puncak musim kemarau atau menjelang Idulfitri. Para pelanggar akan mendapatkan sanksi yang ditetapkan para tetua adat.

Lubuk Larangan adalah bentuk kearifan lokal yang mengikat antara masyarakat dan hutan. Sebagai salah satu penghuni Rimbang Baling, masyarakat harus sadar betul bahwa hutan dan sungai tak bisa dipisahkan. Apalagi di Desa Tanjung Belit jelas bahwa yang berubah bukan tempat melainkan manusianya. Manusia bertambah, keinginan bertambah, tapi tempat tetap sama. Tradisi yang mencoba meredam keinginan manusia itu.

Percikan air Sungai Subayang membuyarkan lamunan saya. Perahu kami masih terus berjalan, makin dalam, dan makin dalam menjauhi permukiman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar