Travelog

Bulan Agustus dan Nostalgia Gedung Merdeka

Agustus telah datang lagi. Bulan kedelapan, yang namanya diambil dari nama depan Kaisar Romawi ini—Augustus Caesar—kembali menyapa di saat kita semua masih tengah dirundung pandemi corona (COVID-19). 

Agustus merupakan bulan istimewa bagi bangsa ini. Disebut istimewa karena di bulan Agustus inilah teks proklamasi digemakan. Menandai kemerdekaan negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sepanjang Agustus ini, sang Dwi Warna—merah putih—kita kibarkan selama satu bulan penuh. Instruksi pengibaran bendera dalam rangka peringatan kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia ini tertuang gamblang dalam surat yang diteken Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, tertanggal 22 Juni 2021.

Dalam surat tersebut antara lain disebutkan bahwa kementerian/lembaga, pemerintah daerah serta masyarakat umum diimbau untuk mengibarkan bendera merah putih di lingkungan masing-masing, mulai dari tanggal 1 Agustus hingga 31 Agustus 2021. Maka, ke mana pun kita pergi di negeri ini, sepanjang Agustus ini, kita akan melihat kibaran sang merah-putih. Tak terkecuali di sekitaran pusat Kota Bandung, kota di mana salah seorang Bapak Proklamator kita, Bung Karno, sempat menghabiskan sebagian perjalanan masa hidupnya.

Sisi timur Gedung Merdeka
Sisi timur Gedung Merdeka/Djoko Subinarto

Seperti yang saya saksikan di Minggu pagi, awal Agustus tahun ini, tatkala melongok kawasan Asia-Afrika, yang merupakan jantungnya Kota Bandung, puluhan sang merah putih tampak telah mengelilingi Gedung Merdeka. Di atas pintu utama gedung itu terpasang pula umbul-umbul merah putih. Beberapa orang terlihat sedang duduk tak jauh dari pintu utama Gedung Merdeka. Lalu-lintas belum terlihat ramai pagi itu. 

Di samping Gedung Merdeka, di sisi barat, beberapa pedagang penganan ringan memarkir gerobaknya. Berharap ada warga yang tengah melintas atau yang sedang berolahraga berhenti dan membeli dagangan mereka. Sekelompok perempuan pesepeda tampak heboh mengatur pose untuk wefie, sebelum mereka meneruskan acara gowes bareng ke kawasan Braga.

Cagar budaya

Pintu Masuk Perpustakaan
Pintu masuk Perpustakaan/Djoko Subinarto

Gedung Merdeka merupakan gedung sangat bersejarah yang kini termasuk ke dalam kategori bangunan cagar budaya golongan A. Di gedung ini , pernah dilangsungkan Konferensi Asia-Afrika yang masyhur dan merupakan cikal bakal lahirnya Gerakan Non-Blok.

Perancang Gedung Merdeka adalah duet arsitek Belanda, Van Galen Last dan CP Wolff Schoemaker, yang karya-karyanya sangat kental dengan nuansa art deco. Luas total Gedung Merdeka adalah 7.500 meter persegi. Selain berfungsi sebagai gedung pertemuan/konferensi, Gedung Merdeka juga berfungsi sebagai museum dan perpustakaan. 

Sebagai salah satu ikon Kota Bandung, Gedung Merdeka senantiasa menyedot perhatian wisatawan yang menyambangi ibukota Jawa Barat ini. Bukan hanya para wisatawan lokal, tetapi juga para wisatawan mancanegara. Sekurangnya saya pernah dua kali secara tidak sengaja bersua turis mancanegara yang hendak menyambangi Gedung Merdeka.

Peristiwa pertama terjadi di awal tahun 90-an. Suatu siang, saat tengah belanja di Pasar Baru, saya memergoki seorang perempuan bule yang sedang berusaha menanyakan sesuatu ke seorang pedagang kaki lima. Saya dekati dia. Terdengar beberapa kali perempuan itu menyebut Freedom Building. Si pedagang cuma geleng-geleng kepala.

Saya berupaya membantu menjelaskan. Saya ketahui kemudian, perempuan itu berasal dari Negeri Viking, Denmark. Ia penasaran ingin ke Gedung Merdeka. Akhirnya, saya ajak dia jalan kaki menuju ke sana. Jarak dari Pasar Baru ke Gedung Merdeka toh tidak terlalu jauh. 

Sambil jalan, saya mengajaknya ngobrol. Di bilang ia senang dapat datang ke Bandung. Ia tidak terlalu menemui hambatan dengan cuaca dan makanan. Tapi, katanya, Bandung terlalu bising baginya.

Peristiwa kedua terjadi pertengahan tahun 2000-an. Di Jalan Cihampelas, yang teduh berkat jejeran pohon mahoni, angkot hijau yang saya tumpangi berhenti di depan sebuah hotel karena ada calon penumpang yang menyetopnya. Sejurus kemudian, dua orang asing berparas oriental masuk. Di atas angkot saya dengar keduanya berbincang dalam bahasa putonghua. Saya iseng menyapa mereka. Ternyata mereka merespons. 

Keduanya berasal dari Tiongkok, yang sedang liburan. Mereka bercerita, hari sebelumnya mereka mengunjungi Lembang. Hari itu, keduanya ingin melihat Gedung Merdeka. Saya kemudian jelaskan sedikit tentang Gedung Merdeka dan Bandung. Mereka antusias menyimaknya.

Kami kemudian turun dari angkot di stasiun kereta di Jalan Kebon Kawung. Saya pesankan taksi buat mereka. Saya bilang ke supir taksi untuk membawa keduanya ke Gedung Merdeka.

Tempat favorit pejalan kaki

Sisi barat Gedung Merdeka
Sisi barat Gedung Merdeka/Djoko Subinarto

Dengan berada persis di jantung pusat Kota Bandung, lokasi dan posisi Gedung Merdeka sungguh strategis. Gedung ini menghadap langsung ke Jalan Asia-Afrika dan diapit oleh Jalan Braga di sisi timur dan Jalan Cikapundung (sekarang Jalan Soekarno) di sisi barat. Berjarak sepelemparan batu dari Gedung Merdeka, berdiri megah Masjid Agung Jawa Barat yang halaman depannya dihampari rumput sintetis.

Idealnya, kawasan di seputar Gedung Merdeka dijadikan kawasan non-kendaraan bermotor sepenuhnya. Biarkan area di sekitarnya menjadi tempat bagi para pejalan kaki dan pesepeda.

Kawasan pusat kota, seperti Jalan Asia-Afrika di Bandung ini, sebaiknya disterilkan dari transportasi bermesin, yang notabene membuat polusi udara dan polusi suara. Warga lebih baik didorong untuk menggunakan transportasi aktif non-polutif, seperti jalan kaki, naik sepeda atau papan luncur. Pusat kota akan jauh lebih menarik, lebih bersih, lebih sehat dan lebih humanis ketika kendaraan bermotor tak lagi mendominasi


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Ceritaku tentang Cilincing dan Upacara 17 Agustus di Pulau Reklamasi