Tinggi, tua, dan tampak gagah. Dari kejauhan bubungan itu sudah terlihat, semakin saya mendekat dan semakin besar besar pula mata saya melihatnya.
Saya akhirnya bisa berdiri di hadapannya. Rumah Banjar Bubungan Tinggi, salah satu arsitektur lokal yang mempunyai karakteristik bubungan tinggi atau atap yang tinggi.
Rumah Banjar Bubungan Tinggi merupakan salah satu arsitektur rumah tradisional yang ada di Kalimantan Selatan—yang paling terkenal. Sebenarnya, ada beberapa lagi arsitektur rumah tradisional lainnya seperti Gajah Baliku, Gajah Manyusu, Balai Laki, Balai Bini, dan Palimasan, dan Rumah Lanting. Tetapi Bubungan Tinggi sudah kadung menjadi ikon provinsi Kalimantan Selatan, dan dulunya adalah arsitektur khusus untuk para raja, tetapi pada perjalanannya rumah ini mengalami transformasi nilai; juga bisa dimiliki oleh kalangan masyarakat kelas atas.
Hanya ada beberapa orang yang berkunjung hari itu. Suasananya sepi, mungkin efek hujan yang sering turun akhir-akhir ini, membuat banyak orang malas untuk berkegiatan di luar rumah. Saya melangkahkan kaki, menginjak lantainya yang terbuat dari kayu ulin dan mengetuk pintu. Seorang perempuan berusia 60—kalau dilihat dari perawakannya—membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk. Kami meminta izin sebelum mulai berkeliling di dalam.
“Silahkan,” jawab sang nenek dengan ramah.
Kami berkeliling ruang panampik, dari satu jendela ke jendela lainnya. Lantai kayu ulin yang kami pijak terasa sangat kokoh, tidak nampak tanda-tanda rapuh atau rusak. Rumah ini merupakan satu-satunya yang masih tersisa dari masa lalu, terutama untuk jenis bubungan tinggi. Ada banyak foto-foto kunjungan yang dilakukan media-media nasional maupun regional yang terpampang di dinding. Saya memperhatikan objek foto yang terpampang, seorang nenek dengan pose yang sedang menghadap jendela, dengan warna hitam putih membuat ekspresi nenek yang sedang memikirkan sesuatu semakin jelas.
Interior Rumah Banjar Bubungan Tinggi
Setelah meminta izin, saya kemudian masuk ke bagian dalam yaitu disebut palidangan. Ruang ini sebenarnya termasuk ruangan pribadi sang pemilik rumah, namun karena sudah menjadi objek wisata, orang-orang tentu penasaran akan bagaimana isi rumahnya. Hal tersebut memang wajar tapi kesopanan dan tata krama harus tetap dijunjung.
Ada dua ranjang di sisi kiri dan kanan ruangan atau yang disebut anjung, lengkap dengan kelambu gantung layaknya ranjang-ranjang kakek nenek saya dahulu. Anjung sebelah kanan digunakan oleh anak-anak, sedangkan anjung sebelah kiri digunakan oleh orang tua. Ruang tengah disebut palidangan atau ruang induk rumah. Fungsinya sama dengan ruang keluarga pada masa sekarang.
Ada salah satu ruangan menarik. Ruang pingitan, digunakan oleh perempuan lajang yang ingin menikah untuk dipingit terdahulu. Saya melihatnya seperti sebuah ruang rahasia pada rumah jepang yang bisa menyembunyikan penghuninya ketika ada bahaya. Ruang itu kini difungsikan sebagai gudang, oleh karena budaya pingitan pada modern ini sudah hampir punah.
Sebenarnya masih ada ruang lagi yaitu ruang panampik bawah dan padapuran, tapi saya hanya melihat sekilas dari kejauhan, merasa sungkan untuk masuk ke dalam sana karena ada seseorang yang sedang tidur di dalam.
H. M. Arif dan Hj Fatimah, kedua pasangan suami-istri ini merupakan pendiri rumah ini sekaligus merupakan datuk dari Fauziyah, yang sedari tadi menyambut saya dan juga merupakan pengelola rumah yang telah menjadi cagar budaya ini.
“Beliau merupakan seorang saudagar permata, membawa barang dagangan ke luar negeri (luar Banjar).”
Kemudian saya menanyakan potret laki-laki dan perempuan yang terpampang di ruang panampik tangah. “Kalau itu merupakan foto dari anak H. M. Arif yang bernama Hj. Qomariyah bersama suaminya,” jelasnya.
H. M. Arif merupakan seorang pedagang intan yang sukses melebarkan ekspansinya hingga ke luar daerah. Karena statusnya sebagai saudagar sukses, H. M. Arif kemudian membangun rumah Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku untuk dihuni keluarga besarnya di Teluk Selong, Martapura sekitar tahun 1811. Menurut penuturan Fauziyah, dirinya mengetahui persis pendirian rumah ini setelah diadakan renovasi. Beberapa tukang bangunan melihat ada tulisan tahun berangka 1811 di salah satu sudut atap.
Salah satu kemujuran yang kita miliki sampai sekarang adalah, rumah itu tetap bertahan selama lebih dari 200 tahun. Untungnya lagi, rumah ini sudah diangkat sebagai cagar budaya pada tahun 2008 dan menurut laporan, BPCB Kalimantan Timur juga pernah melaksanakan kegiatan konservasi pada tahun 2015 hingga 2017 dengan pemugaran kecil pada bagian atap yang sudah lapuk dimakan zaman.
Disebutkan oleh Wafirul Aqli dalam artikelnya Anatomi Bubungan Tinggi Sebagai Rumah Tradisional Utama Dalam Kelompok Rumah Banjar bahwa Bubungan Tinggi adalah perlambangan sistem mikrokosmos dan makrokosmos, dengan penghuni yang berada di antara dua dunia tersebut. Juga, bubungan tinggi memiliki filosofi “Pohon Hayat” atau Kalpataru yang mencerminkan pohon kehidupan.
Kecerdasan Lokal Leluhur Kita
Leluhur kita mempunyai cara tersendiri untuk menampilkan kecerdasan mereka dan kepiawaian mereka; dari arsitektur saja ternyata terdapat filosofi yang mendalam dan bentuk yang rumit. Bagaimana bisa mereka menciptakan bentuk arsitektur sedemikian rupa kalau tidak diiringi dengan kecerdasan mumpuni? Para akademisi biasa menyebutnya sebagai local genius.
Rumah tradisional ini terasa sejuk. Jarak antara lantai ke atap sangat tinggi, menciptakan sirkulasi udara yang nyaman. Belum lagi ukuran jendelanya yang besar, memudahkan angin keluar masuk rumah. Setahu saya rumah-rumah tradisional Indonesia selalu mengedepankan sirkulasi udara sebagai titik kenyamanan rumah, sebagai contoh arsitektur Mbaru Niang di Wae Rebo yang mampu menjaga rumah tetap hangat walaupun kondisi udara sekitar yang dingin. Tampak berbeda sekali bukan dengan rumah-rumah sekarang yang cenderung dibuat apa adanya dan sekedarnya.
Jangankan sirkulasi udara, pencahayaan pun tidak pernah menjadi pertimbangan. Saya jadi teringat bagaimana kondisi rumah kontrakan yang tempati ketika berkuliah.
Teluk Selong, Martapura dulunya merupakan ibu kota Kerajaan Banjar ketika pindah dari Banjarmasin. Kemungkinan besar, kawasan dua rumah adat ini bukan satu-satunya yang didirikan di sini, tapi satu-satunya yang bertahan hingga masa kini. Di dekat sini, dulu sempat digegerkan dengan penemuan makam-makam kuno yang tertutup semak belukar. Mengundang berbagai media juga para arkeolog untuk melihat langsung.
Saya jadi membayangkan pergi ke masa lampau. Melihat rumah-rumah adat berdiri dan sungai masih menjadi jantung utama kehidupan.
“Kalau yang di depan itu siapa yang mendiami?”
“Kemenakanku dan keluarganya yang mendiami rumah Gajah Baliku itu.”
Dalam satu area, rumah Bubungan Tinggi dan rumah Gajah Baliku itu merupakan satu kepemilikan oleh H. M. Arif. Saya menanyakan Fauziyah bagaimana awal mula dia mendiami rumah ini, ingatan Fauziyah segera saja pergi ke masa lalu, masa ketika dia bersekolah. Fakta yang baru saya tahu dari ceritanya adalah ternyata neneknya dari Fauziyah bersaudara dengan neneknya Guru Syarwani Abdan, yang merupakan salah satu ulama terkemuka tanah Banjar yang bermukim di Bangil, Jawa Timur.
Tentunya, keluarga beliau ini juga merupakan dari zuriyat Datu Kelampayan, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Sisa waktu pada sore hari itu saya gunakan untuk mengabadikan sudut-sudut rumah, mencari mana sudut terbaik yang akan dijadikan objek foto. Nanas pada pagar, ornamen ini selalu ditemukan pada depan sebuah bangunan atau jembatan. Ornamen tersebut sarat makna. Nanas dapat membersihkan kotoran atau karat pada besi-besi tua. Sebagaimana hal tersebut, ketika bertamu atau berkunjung hanya dengan niat baik.
Saya melihat nanas bukan sebatas ornamen, tapi adalah doa dari orang-orang terdahulu yang kemudian disimbolisasikan dengan nanas. Leluhur kita tidak hanya memberkati kita dengan warisan budaya, tapi juga dengan doa-doa, yang terus menerus menuju ke haribaan-Nya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.