Bram Aditya, Belajar “Terbang” dengan Drone Rakitan

Sebelum jadi pilot drone, Bram Aditya lebih dulu menjajal videografi dan filmmaking. Adalah perubahan teknologi yang membuat Bram tertarik membuat video dan film. Sekitar tahun 2010, ketika ia mulai menyukai dunia pengambilan gambar, teknologi pembuatan video sedang berevolusi menjadi semakin sederhana.

Untuk merekam, seseorang tak perlu lagi repot-repot membawa kamera berukuran besar. Kamera DSLR Canon 550D atau kamera saku saja—menurut pengalaman Bram—sudah bisa mengambil gambar-gambar yang berpotensi menghasilkan decak kagum.

bram aditya

Mengambil montase aerial di sebuah pantai di Bali/Bram Aditya

Melihat karya-karya keren yang dihasilkannya, barangkali kamu menyangka Bram adalah lulusan sekolah perfilman. Keliru. Ia mengasah kemampuannya secara otodidak. Untuk memperkaya pengetahuan, ia menjalani kerja-lepas di beberapa rumah produksi film dokumenter.

Dulu menyewa drone untuk keperluan syuting

Tak ada yang bisa menebak ke mana jalan seseorang akan berujung. Bram Aditya merasakan sendiri hal itu. Pada akhirnya, dunia filmlah yang memperkenalkan Bram dengan drone dan fotografi/videografi aerial.

bram aditya

“Terbang” di Blitar/Bram Aditya

“Menurut saya action dan cerita ada di darat … drone hanya elemen pendukung dari suatu film,” Bram bercerita dalam wawancara via surel. Karena gambar-gambar dari udara hanya komplemen, Bram dulu lebih memilih untuk menggunakan jasa vendor-vendor videografi drone.

Estetika, bagaimanapun juga, tidak bisa berbohong. Lama-lama Bram menemukan bahwa montase-montase yang diambil vendor tersebut kurang memuaskan, “Dari framing, movement … kadang bahkan over-exposure.”  Sementara itu, permintaan klien terhadap gambar-gambar dari udara semakin meningkat. Jadi untuk menjaga kualitas, Bram menceburkan diri ke dalam dunia videografi aerial.

Dari drone rakitan sampai Yuneec Typhoon H520

“Saya tipikal orang yang peralatannya minim jika buat film, karena tool yang saya punya biasanya pun saya beli dengan harga-harga murah,” ungkapnya. “Contohnya, lensa pribadi saya hanya punya lensa kit 16-50, lensa manual fix 35mm, dan lensa zoom 70-300. Jadi jika kalian selalu kira saya menggunakan lensa-lesa mahal, salah, karena harga-harga lensa tersebut hanya satu juta masing-masing. Murah, ‘kan?”

Barangkali ini memang bawaan Bram. Dari caranya memilih alat untuk berkarya, jelas sekali yang ia cari adalah substansi. Oleh sebab itu ia tak terlalu ambil pusing soal peralatan. Jadi wajar saja saat mulai menggunakan drone tahun 2014, ia tidak langsung membeli alat yang mahal. Ia belajar terbang dengan drone rakitan.

Sekarang, setelah tiga tahun lebih berkutat dengan drone, Bram menambatkan hati pada Yuneec Typhoon H520 yang sesuai dengan kebutuhannya.

“Buat saya semua drone sama saja. Hanya yang membedakan, drone saya kameranya bisa 360 derajat muternya, bisa sangat lambat jalannya walaupun saya gas full, dan semua bisa sangat cepat jalannya dengan mengubah tuas (on the fly). Kelebihan lainnya yang saya suka adalah baling-balingnya enam. Saya merasa lebih aman, karena jika terjadi masalah di dua baling-baling, masih aman dan bisa terbang.”

Beberapa kali “kecelakaan”

Menerbangkan drone itu tidak gampang, dan perlu proses. Untuk menjadi pilot drone yang diperhitungkan, Bram Aditya telah melewati jalan-jalan yang berliku, menanjak, dan penuh batu-batu runcing.

Setidaknya, ada dua “kecelakaan” drone yang paling diingat Bram. Kejadian pertama adalah ketika drone yang diterbangkannya tiba-tiba mengalami kerusakan GPS sehingga menjadi tak terkontrol. Akibatnya, drone itu menabrak Hotel Borobudur Jakarta. “Kameranya masuk ke lantai 5, drone-nya jatuh ke lobby,” kenang Bram. Tentu saja ia harus merogoh dompet untuk mengganti biaya sewa kamar, kerusakan karpet, korden, dan kaca jendela.

Di Bali, drone-nya pernah jatuh saat mengambil gambar kemacetan jalan. “Boom! Drone jatuh dari atas nyerempet kap mobil. Ya, sama seperti kejadian di Hotel Borobudur, saya harus ganti.”

Menjadi salah seorang “co-founder” SkyGrapher.id

Tapi insiden-insiden itu tidak membuat Bram ciut nyali. Jika saja Bram memutuskan untuk gantung konsol, barangkali SkyGrapher, komunitas penerbang drone terbesar di Indonesia, akan punya cerita yang berbeda.

Pertengahan 2016, beberapa enthusiast drone berkumpul—Andre djohan, Anton Chandra, Aboenk, Ricky Febrianto, Kevin Bewok. Mereka pun sepakat untuk membentuk sebuah komunitas fotografer dan videografer aerial.

skygrapher goes to krakatau

Menikmati dunia bawah laut Lampung/SkyGrapher.id

Meskipun tak sempat hadir pada pertemuan perdana itu, beberapa hari setelahnya Andre Djohan menghubungi Bram untuk mengajaknya bergabung dengan komunitas baru itu. Tertarik, ia pun bergabung dengan para pilot drone itu dalam SkyGrapher. Bahkan ia jadi salah seorang co-founder portal SkyGrapher.id. Sampai sekarang, Bram Aditya masih aktif di sana. Baru-baru ini, ia bersama anak-anak SkyGrapher lainnya hunting bareng ke perairan Anak Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

6 comments

ira sulistiana 12/April/2018 - 2:08 pm

Kakak Idola banget nih, kak bramadity

Reply
Editorial telusuRI 12/April/2018 - 3:14 pm

Hehehe. Iyak, Kak. 🙂

Reply
Bunga Lompat 13/April/2018 - 5:32 pm

Wah keren, saya salut!

Saya kagum dengan mereka-mereka yang pernah bermodal minim, tapi semangat untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas tinggi.

Reply
Editorial telusuRI 13/April/2018 - 10:34 pm

Iya, Kak. Makanya ngga perlu ragu buat berkarya. 🙂

Reply
Muhammad Catur Nugraha 16/April/2018 - 12:09 pm

Wah, bangga banget saya pernah berkenalan dan jalan bareng pulang pergi Jakarta – Pekalongan dengannya waktu acara Explore Petungkriyono. Dan sudah bisa dikatakan, dialah juaranya!

Reply
Editorial telusuRI 16/April/2018 - 1:12 pm

Pasti banyak dapat ilmu baru dari ngobrol-ngobrol sama Bram ya, Kak?
Thanks udah mampir. 🙂

Reply

Leave a Comment