Kabupaten Grobogan telah melintasi masa yang sangat panjang. Di usianya yang hampir tiga abad, kabupaten dengan wilayah terluas kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap ini telah melahirkan sejumlah tokoh dengan gagasan-gagasan cemerlang dan pengabdian terbaik. Salah satunya adalah Soenarto yang pernah menjabat sebagai Bupati Grobogan.
Pada Selasa (5/12/2023), saya berkesempatan ziarah ke makam tokoh yang bernama lengkap Kanjeng Pangeran Adipati Ario Soenarto itu di Makam Sido Mukti, Desa Ngembak, Kecamatan Purwodadi, Grobogan. Saya berkunjung bersama Muhadi alias Mpu Gandrung—budayawan muda Grobogan yang juga pendiri objek wisata akulturasi Jawa-Bali, Candi Joglosemar.
Di makam yang kurang terawat itu, kami membincangkan tentang sosok bupati yang pada masa kepemimpinannya mencetuskan gagasan Trilogi Pedesaan. Nama Soenarto barangkali banyak masyarakat Grobogan saat ini yang tidak (lagi) mengenalnya. Padahal Soenarto merupakan Bupati Grobogan yang menjabat cukup lama. Ia memiliki kiprah serta jasa besar dalam meletakkan pondasi pembangunan di Kabupaten Grobogan pada awal abad ke-20.
Bupati ke-14 Grobogan
Dalam kesempatan itu, Muhadi menyatakan bahwa Raden Ario Soenarto merupakan salah satu Bupati Grobogan. Jika dihitung sejak Adipati Martopuro atau Adipati Puger diangkat oleh Susuhunan Amangkurat IV sebagai Bupati Grobogan yang pertama pada tahun 1726, maka Raden Ario Soenarto merupakan bupati ke-14. Namun, jika dihitung sejak masa perpindahan ibu kota dan pusat pemerintahan Grobogan ke Purwodadi pada 1864, ia adalah bupati keempat.
Sebelum diangkat menjadi Bupati Grobogan, pria kelahiran 1887 itu merintis karir dengan beragam tingkatan jabatan. Sejak dari menjadi juru tulis, mantri polisi, asisten-wedana, hingga menjadi wedana.
Koran De Locomotief edisi 5 Januari 1933 mencatat, Soenarto pernah menjadi juru tulis di Purwodadi pada 1892 sebelum akhirnya dipindah ke Kabupaten Semarang enam tahun kemudian. Setelah tak lagi menjadi juru tulis, pada 1902 Sunarto sempat diangkat menjadi mantri polisi dan di tahun yang sama diangkat menjadi asisten-wedana Kecamatan Srondol.
Pada 1903, Soenarto menjadi asisten-wedana di Weleri, Kendal. Lalu tahun berikutnya bertugas di Kebonbatur, dan baru diangkat menjadi wedana di Singen Lor, Semarang pada 1906.
Hingga kemudian Soenarto diangkat menjadi Bupati Grobogan pada 1909 berdasarkan versi De Locomotief. Atau tahun 1908 jika mengacu pada versi Pemerintah Kabupaten Grobogan melalui situs resminya, www.grobogan.go.id. Soenarto menjadi bupati Grobogan menggantikan pamannya, Adipati Ario Haryokusumo.
Soenarto purna tugas sebagai bupati tahun 1933. Dengan demikian, bila merujuk pada data De Locomotief, maka Soenarto menjabat selama 24 tahun. Adapun bila berpedoman pada data Pemerintah Kabupaten Grobogan, maka Soenarto menjabat selama 25 tahun.
Menggagas Trilogi Pembangunan Desa
Saat menjadi Bupati Grobogan, Soenarto menunjukkan kinerja yang baik bahkan mewariskan gagasan yang monumental. Salah satu warisan intelektualnya yang populer adalah “Trilogi Pedesaan” atau “Trilogi Pembangunan Desa”. Kunci gagasan ini di setiap desa harus ada sekolah desa, balai desa, dan lumbung desa. Gagasan ini boleh dibilang merupakan ide brilian pada zamannya.
Menurut Muhadi, Bupati Ario Soenarto memiliki peran yang sangat besar, khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah Jawa—terkhusus lagi Grobogan. Ia merupakan penggagas pentingnya kekuatan ketahanan pangan sebagai salah satu penopang kesejahteraan masyarakat. Ia mencetuskan trilogi pembangunan saat melihat Grobogan pernah dilanda kekeringan yang sangat panjang hingga menjadi pagebluk dan menewaskan warga Grobogan dari sekitar 90 ribu jiwa menjadi hanya 8 ribu jiwa.
Pagebluk itu, menurut Muhadi, menjadikan Bupati Ario Soenarto berpikir untuk menciptakan sebuah kekuatan masyarakat dalam hal ketahanan pangan. Dan tidak hanya itu, tetapi juga ditopang dengan pengembangan sumber daya alam dan manusia dengan membuat konsep lumbung pangan, sekolah, juga tata pemerintahan yang terintegrasi di wilayah masing-masing.
Sementara itu jurnalis Republika, Priyantono Oemar, dalam sebuah artikel menyatakan saat menjadi camat atau asisten wedana di Weleri, Soenarto telah mengenalkan gagasannya tentang lumbung desa dalam rangka mengantisipasi datangnya paceklik. Dengan adanya lumbung desa itu, para petani memiliki tabungan padi ketika mereka gagal panen. Padi di lumbung itulah yang kemudian dipakai untuk menghadapi masa paceklik.
Gagasan tentang lumbung desa itu kemudian ia bawa dan terapkan ketika menjadi bupati Grobogan. Program lumbung desa yang ia cetuskan tidak hanya memperbaiki ketahanan pangan masyarakat desa, tetapi juga memperbaiki perekonomian desa.
Pada perkembangannya, lumbung desa yang digagas oleh Soenarto berfungsi untuk menyimpan padi dan uang. Saat Soenarto purna tugas sebagai bupati, setidaknya di setiap desa ada uang tunai dua juta gulden.
Selain lumbung desa, Soenarto juga menggulirkan gagasan dan program sekolah desa sejak awal ia diangkat menjadi bupati. Bukan pekerjaan gampang mengembangkan sekolah desa pada masa itu, karena anak-anak desa terbiasa membantu pekerjaan orang tua mereka di sawah. Sehingga saat masa tanam dan panen tiba, mereka memilih tidak masuk sekolah.
Namun, berkat tangan dinginnya sekolah desa cukup berkembang dengan menggembirakan. Data menunjukkan di akhir jabatannya pada 1933, dari 142 desa yang ada di Kabupaten Grobogan, sudah ada 136 desa yang memiliki sekolah desa.
Selain program lumbung desa dan sekolah desa, Soenarto juga sangat memerhatikan nasib rakyatnya yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Untuk mendukung pertanian warganya, Soenarto memberikan bantuan bibit dan pupuk. Warga baru membayarnya nanti jika sudah panen.
Meraih Penghargaan Tertinggi
Gagasan dan terobosan Bupati Soenarto dalam upaya memajukan Grobogan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, diapresiasi oleh pemerintah kolonial. Priyantono Oemar dalam artikelnya menyebut sederet penghargaan yang diberikan kepada Soenarto.
Pada 1913, Bupati Soenarto diganjar kenaikan pangkat dengan menyandang gelar “ario”. Lalu pada tahun 1920 mendapat kenaikan pangkat sebagai “adipati”. Bahkan, ia diangkat menjadi perwira Orde Oranye Nassau tahun 1923. Orde Oranye Nassau adalah orde kekesatriaan Kerajaan Belanda yang didirikan oleh Ratu Emma pada 1892.
Pada 1928, Bupati Soenarto mendapat bintang emas. Lima tahun kemudian, di pengujung masa jabatannya sebagai bupati Grobogan, ia diberi kenaikan pangkat sebagai “pangeran”. Nama dan gelar lengkapnya menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Ario Soenarto. Pangkat tertinggi untuk seorang bupati. Bupati Soenarto juga berhak membawa songsong emas, yaitu payung kebesaran berlapis emas.
Menurut De Locomotif, songsong emas merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan diberikan hanya pada kasus luar biasa. Soenarto adalah satu-satunya bupati yang mendapat penghargaan tertinggi itu.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai bupati, Kanjeng Pangeran Adipati Aryo Soenarto sempat menikmati masa tuanya di Salatiga, kota nan sejuk di antara Gunung Merapi dan Merbabu. Ia meninggal dunia pada Selasa, 21 Januari 1936 karena sakit. Jasadnya dimakamkan di pemakaman Sido Mukti, Desa Ngembak, Kecamatan Purwodadi.
Kiprah dan jasa yang besar tidak lantas menjadikan Bupati Soenarto menjadi tokoh yang dikenang. Muhadi menyayangkan bahwa saat ini masyarakat Grobogan secara umum tidak lagi mengenal sosoknya, bahkan tidak memiliki kepedulian. Bahkan meski makamnya terletak di tengah-tengah kota—hanya sekitar 3,5 km dari pusat pemerintahan—tetapi makamnya tidak begitu terawat walaupun pemerintah desa setempat telah berusaha memfasilitasi dan menatanya.
Muhadi juga menyayangkan selama ini pemerintah daerah tidak punya kepedulian untuk mengangkat sosok Pangeran Ario Soenarto sebagai salah satu tokoh yang memiliki kiprah besar, baik di tingkat lokal maupun nasional. Bahkan sebagai budayawan, Muhadi mengaku sangat prihatin dalam rangkaian agenda kegiatan di setiap Hari Jadi Kabupaten Grobogan pada dekade terakhir, tidak memasukkan makam Bupati Ario Soenarto dalam agenda ziarah.
Keprihatinan Muhadi memang beralasan bila melihat kiprah Ario Soenarto selama memimpin Grobogan. Kendati sosoknya tidak banyak dikenang dan makamnya tidak begitu mendapatkan perhatikan, tetapi sejarah telah mencatat jasa besar Pangeran Ario Soenarto dengan tinta emas.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
Terima kasih.
Luar biasa informasi yang disajikan.
Informasi ini sudah lama saya tunggu.
Saya, insyaallah, masih aktif berziarah ke makam Bapak Kanjeng Pangeran Adipati Ario Soenarto, dengan keluarga, bahkan teman.
Sekitar tahun 2002, saya sudah berupaya membicarakan dengan pejabat tertinggi kabupaten Grobogan, terkait dengan keindahan dan kebersihan di sekitar makam tersebut.
Alhamdulillah, pada waktu itu ditindaklanjuti dengan penataan di sekitar luar lokasi makam, seperti yang tampak saat ini.
Sekali lagi, saya sampaikan Terima Kasih atas informasinya yang Luar Biasa