Travelog

Jelajah Kolaka: Sejuknya Makam Sangia Nibandera

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi salah satu cagar budaya nasional di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Letaknya sekitar 15 kilometer ke arah selatan dari ibu kota kabupaten. Sebagai informasi, Kabupaten Kolaka adalah sebuah daerah yang terletak di tenggara jazirah Pulau Sulawesi. Kabupaten ini merupakan eks Kerajaan Mekongga yang berdiri sejak abad XIII.

Sebelum menuju ke lokasi yang ingin saya kunjungi, saya sempat belanja beberapa kue tradisional di Pasar Raya Mekongga, sentra ekonomi di Kabupaten Kolaka. Saya membeli kue pukis (masyarakat lokal menyebutnya buroncong) dan beberapa ikat buras—sejenis lontong yang diikat dengan tali rafia. Dari sana, saya kemudian berkendara dengan sepeda motor menuju ke arah selatan, tepatnya ke Desa Tikonu, Kecamatan Wundulako.

Mampir Sejenak di Simpang Tiga 19 November

Setelah berkendara kurang lebih lima menit, saya tiba di Simpang Tiga 19 November. Tempat ini merupakan lokasi yang cukup bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) berangkat dari Kendari hendak mengambil tawanan di Pomalaa (letaknya 20 kilometer ke arah selatan), yang saat itu menjadi rebutan para pasukan karena eksistensi nikel yang ditemukan oleh E. C. Abendanon pada 1909.

Di simpang tiga tersebut para pemuda Kolaka bertempur melawan para tentara NICA pada 19 November 1945. Saat ini, tepat di tengah simpang tiga dibangun Tugu Perjuangan 19 November. Bagian puncaknya berdiri patung pejuang yang mengepalkan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang bambu runcing yang ujungnya telah terikat bendera merah putih. Di bawah ornamen pejuang itu, terukir relief yang menggambarkan kronologi peristiwa perjuangan 19 November. Sayang, kondisi tugu tersebut saat ini bisa dibilang kurang terawat.

Saya kemudian belok kanan ke arah selatan. Setelah berkendara kurang lebih tujuh menit, saya berada di sebuah pertigaan dengan gapura bertuliskan “SANGIA NIBANDERA”. Uniknya tulisan ini tidak tepat berada di tengah, melainkan sedikit menjorok ke kanan. Motif-motif khas Mekongga menghiasi tiang-tiang gapura.

Tepat di sebelah kanan gapura tersebut, tampak beberapa kios jajanan berjejer di ujung taman. Di tengah taman itu, juga berdiri sebuah tugu yang di puncaknya bertengger patung burung elang berukuran cukup besar yang membentangkan sayap. Adapun di bawahnya terdapat beberapa patung lain berukuran sedang, yaitu dua patung manusia duduk bersila dengan sebuah buku terbuka di hadapan keduanya, dan patung yang membidik sesuatu menggunakan bambu runcing. Di bagian depan taman, tepat di sudut pertigaan, tersusun tulisan dengan warna biru dan merah yang menjadi penanda tempat itu. “Wisata Jajanan Sangia Nibandera”.

Kawasan Cagar Budaya Nasional

Saya memutuskan melanjutkan perjalanan menuju destinasi yang hendak saya kunjungi dengan melewati gapura tadi. Menurut informasi yang saya dapat, setelah melewati gapura ini, saya hanya perlu lurus menelusuri jalan hingga menemukan jalan tidak beraspal dan belok ke kiri. Saya berkendara dengan berpedoman informasi tersebut. 

Benar saja, sekitar 50 meter setelah mendapati jalan berbatu, sebuah plang mengarahkan saya menuju destinasi. Entah karena alasan apa jalanan aspal ini tidak sampai hingga ke tempat yang saya tuju. Plang berwarna hijau itu berdiri tepat di sebelah kanan jalan yang berbatasan langsung dengan hutan. Selain ke tujuan saya, plang tersebut juga mengarahkan ke destinasi lainnya, yakni Sekolah Alam Kongga Tikonu. Sayangnya, waktu saya tidak cukup untuk mengunjungi dua destinasi sekaligus.

Beberapa saat berselang tibalah saya di tempat tujuan. Pagar tembok dan besi berwarna merah dengan bis putih mengelilingi. Di tengahnya terdapat gapura dengan warna yang senada, yang di atasnya bertuliskan  “CAGAR BUDAYA NASIONAL MAKAM SANGIA NIBANDERA”. Kawasan ini merupakan kompleks pemakaman raja-raja Mekongga, salah satunya Bokeo Ladumaa yang bergelar Sangia Nibandera.

Saya melihat dua ornamen pedang khas Mekongga di puncak gapura. Tepat setelah gapura di dalam area makam, terdapat Masjid Nur Ladumaa yang beratap biru dan dinding hijau cerah dengan kombinasi kuning lemon pada tiang.

Di seberang masjid saya mendapati sebuah pendopo berarsitektur lokal dengan pagar besi. Pendopo ini bisa disebut dengan pendopo luar, karena letaknya yang agak berjauhan dengan makam utama. Pendopo ini seringkali digunakan untuk kegiatan masyarakat. Selain pendopo luar, juga terdapat pendopo yang dibangun tepat di sekitar makam yang seringkali digunakan untuk ritual adat. Namun, sayangnya saat dikunjungi oleh penulis, pendopo sedang dalam proses renovasi.

Jelajah Kolaka: Sejuknya Makam Sangia Nibandera
Area makam utama Sangia Nibandera/Ahmad Amirul Sir

Makam Utama Sangia Nibandera

Saya lalu berjalan lebih jauh mendekati areal makam utama. Sebuah sungai kecil mengalir di dekatnya. Usai menyeberangi jembatan, saya kembali mendapati pendopo dengan arsitektur seperti yang tampak di depan masjid. Pohon-pohon dan suasana hutan kemudian menyelimuti kawasan utama destinasi ini, sehingga pengunjung akan merasakan hawa yang sangat sejuk. Jika beruntung, suara serangga hutan juga akan terdengar.

Makam utama Sangia Nibandera berada di atas tumpukan batu dan dikelilingi pagar besi dan tiang berhiaskan motif khas Mekongga. Dua pohon berukuran besar, yang diperkirakan berusia ratusan tahun menjadi penanda makam utama. Tepat di samping makam utama juga terdapat makam-makam lain yang terletak sangat berdekatan dengan pohon-pohon berukuran besar dengan usia tak jauh berbeda. Makam-makam tersebut merupakan kerabat dan keluarga Sangia Nibandera.

Menariknya, destinasi cagar budaya ini tidak hanya tentang makam saja. Tepat di samping makam utama terdapat guci peninggalan Dinasti Ming yang dipagari dengan pagar besi. Menurut kepercayaan masyarakat Mekongga, guci itu dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Uniknya, guci dari era Sangia Nibandera tersebut akan terisi banyak air saat musim kemarau dan cukup kering di musim penghujan.

Makam Sangia Nibandera dapat menjadi destinasi wisata religius dengan suasana sejuk, sebab berada di area hutan yang dilindungi oleh masyarakat setempat. Destinasi ini akan cukup ramai dikunjungi menjelang Ramadan dan lebaran, tetapi jauh lebih minim pengunjung di hari-hari biasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Amirul Sir, asal Kolaka dan menempuh pendidikan di Makassar. Seorang penggila literasi dengan hobi traveling untuk membangun kesadaran diri.

Amirul Sir, asal Kolaka dan menempuh pendidikan di Makassar. Seorang penggila literasi dengan hobi traveling untuk membangun kesadaran diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Jelajah Kolaka: Riwayat Gedung Nasional dan Rumah Kontrolir yang Dilumat Zaman