Akhir bulan Maret lalu saya dan empat teman lainnya menyempatkan diri untuk mengunjungi Gunung Arjuno via Purwosari yang baru saja dibuka—setelah beberapa bulan sebelumnya sempat tutup. Pendakian kami hanya sampai di Pos Makutoromo hingga area Sepilar saja, hal ini karena kondisi cuaca saat itu tidak memungkinkan untuk terus mendaki ke Puncak Ogal-Agil. Karena tidak ada rencana akan ngapain aja di sini, kami kemudian berdiskusi dan memutuskan untuk melakukan bersih gunung skala kecil di area Makutoromo hingga Sepilar.

Sebagai gunung tertinggi kedua setelah Semeru di Jawa Timur dan tertinggi keempat di Pulau Jawa, Gunung Arjuna memiliki kawasan hutan yang cukup luas, yaitu kawasan hutan Montane; kawasan hutan Dipterokarp Atas; kawasan hutan Dipterokarp Bukit; dan kawasan hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Bersih-bersih skala kecil di kawasan hutan Gunung Arjuna (Sepilar)/Akhmad Idris

Sampah yang Membuat Resah

Di kawasan hutan Gunung Arjuna, kita bisa menemui aneka flora dan fauna. Mulai dari tumbuhan kelompok pohon, kelompok paku-pakuan, kelompok anggrek, hingga kelompok bawah atau tanaman semak. Sementara untuk jenis faunanya, ada elang Jawa di Gunung Kembar, rusa, kijang, anjing hutan, ayam hutan, kelompok burung, tupai, lutung Jawa, hingga macan tutul.

Di pos Makutoromo sendiri, beberapa burung jalak kerap kali turun ke area tanah untuk mencari makanan, seekor tupai tampak berpindah dengan gesit dari satu dahan pohon pinus menuju ke dahan yang lain, hingga seekor ayam hutan yang tampak bersembunyi dengan gesit ketika melihat sosok manusia. Ketika perjalanan dari Putuk Lesung menuju Makutoromo, kami menemui sebuah jejak kaki yang sepertinya adalah jejak anjing hutan di tanah basah bekas siraman hujan.

Jadi inilah hutan, rumah mereka semua—tak bisa kita kotori dengan sampah yang kita bawa.

Sebelum turun, kami berlima dan dibantu seorang pendaki senior—yang katanya sudah sebulan berada di Gunung Arjuna—membersihkan area Makutoromo hingga ke Sepilar. Tiga diantara kami memegang sapu, dua orang menggunakan kayu beserta tangan, sementara satu orang tersisa memegang kresek untuk wadah sampah.

Beberapa rontokan daun pinus yang menggunung seperti tumpukan jerami mulai kami sisihkan ke arah pinggir agar tidak menghalangi tangga bebatuan. Satu hal yang membuat resah sebenarnya bukan tentang tumpukan rontokan daun pinus—sebab seiring perjalanan waktu ia akan terurai dengan sendirinya—tetapi justru sampah plastik yang bertebaran tak beraturan. Sebut saja bungkus permen, bungkus makanan ringan, hingga botol-botol plastik bekas yang tak dibawa turun oleh para pendaki. Ah, pendaki semacam ini lebih baik pensiun saja dari mendaki gunung.

Situs Purbakala Di Dalam Hutan Gunung

Flora dan fauna hutan Gunung Arjuna memang memesona, namun situs purbakalanya pun juga membuat para pendaki terpana. Situs-situs purbakala ini meliputi arca batu, bangunan berundak, dan candi—diperkirakan merupakan peninggalan zaman kerajaan Majapahit pada masa kepemimpinan Prabu Sri Suhita (1429-1447), ia merupakan cucu dari Rajasanagara. Hal ini dibuktikan dengan seni arsitektur yang lebih didominasi oleh unsur lokal.

Beberapa situs purbakala lain di hutan Gunung Arjuna adalah Candi Sepilar, Candi Indrokilo, Candi Lepek, dan Candi Manggung. Sementara yang paling banyak disukai oleh para pendaki yakni jalur dari Makutoromo ke Candi Sepilar.

Dari pos Makutoromo hingga Sepilar, terdapat semacam batu berundak yang cukup panjang dengan deretan arca di kanan dan kirinya. Beberapa orang menyebut istilah ‘Sepilar’ merupakan singkatan dari ‘Sepi ing Nalar’ yang berarti sunyi di dalam pikiran. Bagi mereka yang meyakini kekuatan tak kasat mata, menaiki batu berundak menuju sepilar harus memiliki hati dan pikiran yang bersih, karena area Sepilar merupakan area yang suci. Oleh sebab itu, yang mengunjunginya harus orang yang suci pula. Terlepas dari kepercayaan tersebut, menjaga kelestarian situs purbakala adalah hal yang tidak bisa ditawar. Apalagi, dengan keberadaan situs purbakala di gunung, perjalanan alam maupun perjalanan religi dapat dikaitkan dengan perjalanan sejarah. 

Pada akhirnya, pepatah bijak itu selalu benar, bahwa jika kau tidak menemui orang baik, maka jadilah orang baik. Jika kau tak menemui orang yang peduli dengan keberlangsungan hutan, maka jadilah satu orang yang peduli.

Ketika semua manusia memilih untuk tidak peduli, bukankah keindahan hutan-hutan nusantara beserta flora & fauna endemiknya akan menjadi sekadar dongeng belaka?

Mari membisiki hati untuk peduli, sebab jika bukan kita, siapa lagi?

Tinggalkan Komentar