Setelah merencanakan kurang lebih dua minggu, saya dan seorang sahabat karib saya memutuskan untuk melakukan pendakian ke salah satu bukit yang ada di Lombok Timur, Bukit Malang namanya. Pendakian kali ini sedikit berbeda dari pendakian-pendakian sebelumnya, sebab kali ini kami hanya berangkat berdua (duo hiking) saja.

Ini bukan kali pertama saya dan sahabat saya—Ridho—mendaki. Kami masing-masing pernah ke Gunung Rinjani, meskipun pendakian ke sana tidak kami lakukan bersama. Nah, tujuan pendakian kali ini tentunya sebuah tempat baru. Perjalanan “konyol” ini pun kami mulai.

Sebelum berangkat, kami mencoba mencari informasi terkait estimasi perjalanan dalam pendakian. Setelah merancang itinerary, kami berangkat tepat pukul 15.00 WITA menuju pintu pendakian. Kurang lebih 30 menit perjalanan, kami tiba di area parkir pendakian Bukit Malang.

Bukit Malang memiliki dua jalur pendakian yakni Sapit dan Tombong Rebu. Namun kali ini, kami memilih pendakian melalui jalur Sapit.

Setelah istirahat beberapa saat, kami kemudian melakukan registrasi dan menerima arahan dari para pengelola terkait apa saja yang tidak boleh dilakukan, dan tentu peringatan untuk membawa kembali turun sampah dari atas.

Perjalan kami mulai.

“Selamat Datang di Bukit Malang” menyambut mula perjalanan ini.

Jalan yang cukup landai sempat menipu kami. Memang benar, di dalam pendakian itu kita tidak bisa menebak apapun, baik jalan maupun hal-hal lainnya. Kami terus menyusuri sabana yang ditumbuhi ilalang, sesekali nampak warga yang sedang bertani karena memang jalan setapak yang kami lalui ini sepertinya jalan untuk warga berangkat ke sawah dan kebun.

Melewati sabana yang cukup luas dan panjang akhirnya kami sampai di pintu rimba, artinya perjalanan kami akan segera memasuki hutan. Menurut informasi yang kami dapatkan, estimasi perjalanan yang akan kami tempuh kurang lebih tiga jam. 

“Jangan-jangan bukitnya ada di balik bukit yang itu?” ucap Ridho secara tiba-tiba setelah melihat susunan bukit di depannya. Saya hanya diam saja sambil memikirkan ucapannya, jangan-jangan ini benar?

Saya tidak mau sibuk memikirkan kalimat tersebut, kami terus melanjutkan perjalanan menuju hutan dengan vegetasi yang lebat. Hawa dingin mulai menyelimuti, sesekali kami bertemu beberapa pendaki lain. Setelah berjalan cukup lama, kami memutuskan untuk berhenti minum. 

Kami terus menerobos lebatnya hutan. Jalan yang kami lalui mulai sedikit menanjak terkadang landai, terus seperti itu. Akhirnya, kami sampai di persimpangan jalan yang mempertemukan jalur yang kami lalui dan jalur satunya.

Menurut penjelasan dari pengelola, terdapat dua mata air dan letaknya berada di Pos 1 dan Pos 2, namun masih belum ada tanda tanda terlihat Pos 1 sebagai tempat mata air pertama. Setelah berjalan hampir dua jam akhirnya kami sampai di mata air pertama. Rupanya, mata air pertama ini adalah sungai, namun karena kami datang disaat musim kemarau sungai tersebut kering, hanya ada beberapa genangan saja. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan mengambil air di Pos 2.

Satu jam menjelajahi rimba, melewati jalan yang menanjak, lalu landai dan menanjak lagi, akhirnya sampai di Pos 2. Tidak ada penanda khusus di Pos 2, hanya tulisan yang terpasang di atas pohon sebagai penanda.

Di sini ramai pendaki lain sedang menunggu kawan-kawannya yang mengambil air, kami memutuskan langsung mengambil air dan memilih istirahat di sana.

Awal Mula Bernasib Malang

Setelah menunggu antrian cukup lama, kami mendapat giliran untuk mengambil air. Beberapa botol kami isi sebagai perbekalan selama di atas nanti, sebab inilah mata air terakhir. Setelah mengisi semua botol, kami packing ulang.

Begitu beres semua, barulah kami melanjutkan perjalanan. Kawan saya, Ridho sempat salah dalam mengambil langkah yang membuat kakinya sedikit terkilir, yang akhirnya mengganggu cara dia berjalan dan melambatkan tempo perjalanan.

Jam di tangan menunjukan pukul 18.00 WITA sementara kami belum sampai di Pos 3. Petang perlahan menyapa, hawa dingin menyelimuti tubuh kami, dan kabut mulai menemani setiap langkah. Perlahan, kami terus menyusuri jalur pendakian sementara kawan saya, terus menahan rasa sakitnya. Hingga puncaknya saat kami hampir sampai di Pos 3, dia sudah tidak mampu melanjutkan perjalanan dan kami memutuskan beristirahat di dekat Pos 3.

Saya kemudian menawarkan, apakah kita akan bangun tenda di sini saja, sambil menunjuk tahan yang lapang cukup untuk membangun tenda, namun Ridho menolak. Sambil menunggu  ia  mengembalikan tenaganya, beberapa rombongan pendaki yang lain tiba dan beristirahat tepat di samping kami, ada pendaki perempuan yang nampak kesal kepada kawannya karena terus dibohongi.

“Kalau masih jauh, jangan bilang lima menit lagi sampai,” ucapnya dengan nada kesal sambil menangis. 

Sudah menjadi rahasia umum dalam pendakian, kalimat-kalimat tadi lazim berkumandang, meskipun puncak masih jauh.

Tenaga sudah kembali pulih, meskipun kaki yang terkilir tak kunjung membaik. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan langkah yang terselimuti rasa nyeri. Perlahan saja, kami berjalan. Sesekali bahkan berhenti karena tidak mampu menahan rasa sakit yang terus menyerang. Air mata Ridho sesekali juga menetes karena rasa sakit pada kakinya tak terbendung.

Area Camp Bukit Malam
Area Camp Bukit Malam/Robby Firmansyah

Satu jam berlalu, kami tiba di campsite. Pendaki lain yang sudah membangun tenda. Aroma masakan mereka mulai tercium, suara musik dari speaker saling bersambut. Kami menyusuri setiap sela tenda sembari mencari lokasi untuk mendirikan tenda.

Setelah menemukan lokasi yang pas, tenda dan seluruh perlengkapannya kami keluarkan dari dalam tas. Agak multitasking, kami nyambi masak nasi, agar nanti setelah tenda berdiri, kami bisa langsung menyiapkan bahan masakan untuk dijadikan lauk.

Tempe, wortel, dan kentang kemudian menjadi sasaran untuk kami olah. Dan, setelah semua matang, kami memasukkannya ke dalam mulut, mengisi perut yang sudah kosong sambil bercerita.

Perlahan kami terlelap. Namun, sekitar pukul 23.00 WITA, terjadi gempa. Di luar terdengar riuh suara pendaki yang berhamburan keluar tenda. Kami tetap memilih berdiam di dalam tenda dan melanjutkan istirahat.

Sunrise di Bukit Malang

Sekitar pukul 05.00 WITA kami bangun tidur, kemudian bersih-bersih dan salat Subuh. Rencananya, kami mau melanjutkan pendakian ke puncak Bukit Malang. Namun, rencana tersebut akhirnya berubah menjadi wacana. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan, kami memilih menghabiskan waktu matahari terbit di campsite saja. Dan rupanya banyak pendaki yang tidak naik puncak, dan memilih sunrise-an di sini.

Usai mengabadikan beberapa jepret foto, kami kembali ke dalam tenda untuk memasak. “Cacing-cacing” dalam perut sudah memberontak meminta makan.

Puncak Bukit Malang
Puncak Bukit Malang/Robby Firmansyah

Dari Bukit Malang, kami bisa melihat puncak Rinjani, Sabana Propok, dan beberapa bukit lainnya. Matahari semakin meninggi, kami memutuskan untuk turun. Dalam perjalanan turun, sakit di kaki Ridho kembali mengganggu. Tentunya dengan tetap berjalan dengan pelan dan hati-hati, kami berhasil turun dengan selamat.

Perjalanan ini menjadi pengalaman mengesankan untuk saya dan Ridho. Pendakian berdua, dengan kurangnya riset, informasi, dan persiapan yang mengakibatkan perjalanan “agak” mulus.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar