Minggu, 25 Oktober, setelah menunaikan hal yang mesti kulakukan setiap bulan di pekan keempat, aku turun ke Jalan Asia Afrika, jalan penuh sejarah di Kota Bandung, untuk melepas kepenatan.

Sayangnya, seturun dari bus kota jurusan Cicaheum-Cibeureum, aku langsung disambut hujan yang begitu deras. Terpaksa aku berteduh bersama orang-orang di emperan toko. Mungkin hari memang sedang tak bersahabat denganku. Muncul pikiran untuk kembali saja ke halte bus, lalu pulang. Namun pikiranku tiba-tiba berubah. Alih-alih pulang, aku berteduh menanti hujan reda. 

Tiga puluh menit menunggu, air masih saja turun dari langit dan tempiasnya sedikit membasahi bajuku. Lalu kumulai saja perjalanan sembari berharap hujan ‘kan segera berhenti. Ternyata, bukannya berhenti, hujan malah makin deras. 

Karena tanggung, aku terus saja berjalan. Dari Prapatan Lima sampai Jalan Asia Afrika sepi. Ada beberapa kendaraan yang melaju ke arah barat, namun tak tampak seorang pun manusia berjalan. Beruntung, beberapa saat kemudian hujan mulai reda menjadi sekadar gerimis. Aku pun terus melangkah. Satu-dua orang mulai kulihat berjalan di trotoar. Bangku-bangku besi yang disediakan untuk duduk di pinggir trotoar kosong dan basah karena hujan.

Sejenak aku berhenti di depan Kantor Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat. Tentu bukan kantor dinas itu yang menarikku untuk ke sana, melainkan titik nol kilometer Kota Kembang yang berada di dekatnya. Dari sana, aku melihat sebuah armada Bandung Tour on the Bus alias Bandros, bus bagi wisatawan yang ingin keliling Kota Bandung, melaju di jalanan basah.

Bus Bandros/Deffy Ruspiyandy

Kemudian, di bawah gerimis, aku lanjut jalan ke Alun-alun Bandung. Kuyakin pasti banyak orang di sana. Sesampai di depan kantor PWI Jawa Barat, mulai tampak orang-orang sedang kongkow. Kebanyakan di antara mereka anak muda.

Mataku melirik ke seberang jalan, ke bangunan kokoh hotel bersejarah, Savoy Homann, yang dulu jadi tempat menginap delegasi Konferensi Asia-Afrika 1955. Hotel itu tampak mulai menggeliat setelah beberapa bulan terakhir ditutup akibat COVID-19.

Hujan yang sudah berhenti juga membuat jalan menuju Braga mulai ramai. Pesepeda pun mulai melintas menyemarakkan suasana. Mungkin mereka sudah keliling Kota Bandung sejak pagi tapi berhenti sebentar karena hujan.

Aku pun menyeberang. Di sebelah sana ada Museum Konferensi Asia-Afrika dan Gedung Merdeka yang tampak ditutup untuk umum Minggu itu. Di sekitarnya kulihat orang-orang sedang berteduh dari hujan. Sebagian di antara mereka sedang asyik berswafoto untuk dibawa pulang sebagai kenang-kenangan.

Rupanya aku masih diberi kesempatan melihat orang-orang berpakaian hantu yang “ngamen” dekat Gedung Merdeka. Kostum menyeramkan yang mereka pakai selalu menarik perhatian khalayak, utamanya anak-anak. Tapi orang-orang berkostum superhero tak tampak kali ini, barangkali mereka sedang berteduh karena kostum yang mereka pakai rentan rusak jika kena air hujan.

Para “hantu” berkumpul di depan Gedung Merdeka/Deffy Ruspiyandy

Selepas Gedung Merdeka adalah Jalan Ir. Sukarno. Dulu jalan itu dikenal sebagai Jalan Cikapundung Timur, sebab wilayah itu memang dialiri oleh Sungai Cikapundung, persisnya dekat PLN Kantor Distribusi Jawa Barat. Di kantor itu ada Sumur Bandung, situs sejarah sekaligus keramat, yang tak pernah mengering. Menurut mitos yang beredar, Sumur Bandung diawasi oleh Nyi Mas Dewi Kentring Manik, penjaga alam gaib Kota Bandung. 

Tapi yang membuatku takjub justru grafiti di tembok kantor PLN itu. Gambarnya beragam dan warnanya juga macam-macam. Biasanya tempat itu ramai oleh orang-orang yang berswafoto atau berfoto bareng superhero. Tapi kali ini tak ada seorang pun di sana. Maklum, hujan.

Orang-orang berteduh di halte bus Alun-alun Bandung/Deffy Ruspiyandy

Akhirnya aku tiba di Taman Alun-alun Bandung. Hujan sudah reda. Ternyata memang banyak orang berkumpul di sekitarnya. Alih-alih di taman—karena memang masih ada larangan untuk berkerumun di sana, orang-orang berjubel di perhentian bus, di kursi-kursi panjang yang disediakan oleh Pemerintah Kota Bandung, atau berkumpul di Masjid Raya Bandung.

Kulanjutkan perjalanan sekitar lima ratus meter lagi ke ujung Jalan Asia Afrika, sampai ke sebuah perempatan. Tak ada hal menarik di sana kecuali toko-toko sepatu, pakaian, warung nasi padang, dan beberapa hotel. Dari sana, setelah sekitar satu jam berjalan menembus hujan di sekitar Jalan Asia Afrika, aku pulang naik bus.

Tinggalkan Komentar