Sebuah studi dari Canterbury menyebut aroma alam bisa meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikis manusia. Merabu telah lama menyediakan “fasilitas” itu di Nyadeng dan Ketepu.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Hanya beberapa puluh meter selepas meninggalkan kampung, tim TelusuRI ditemani dua juru mudi perahu sekaligus pemandu—Decky Aprillius (25) dan Henry (30)—serasa memasuki dunia yang benar-benar berbeda. Kebisingan mesin tempel dari dua ketinting tidak serta-merta mengalahkan gemericik arus Sungai Lesan yang dangkal dan kicau burung-burung di sekitar.
Kami sempat melihat sekilas elang hitam (Ictinaetus malayensis) terbang rendah di antara ranting-ranting pohon terap. Pohon-pohon terap yang tumbuh condong memberi peneduh alami sepanjang perjalanan menuju dermaga Danau Nyadeng (14/10/2023).
Rute perairan ke arah hulu kadang berkelok-kelok. Decky menjadi motoris di ketinting yang ditumpangi Deta dan barang bawaan berat lainnya. Sementara saya dan Mauren satu perahu dengan Henry. Beberapa tikungan sempit beriak di antara pulau-pulau batu dilewati keduanya dengan lihai.
Penampilan rombongan wisata ini tampak kontras. Tim TelusuRI memakai busana outdoor yang berasa anak kota sekali, sementara Decky dan Henry begitu bersahaja. Selain topi, yang menarik adalah alas kaki berupa sepatu pul bulat warna putih bermerek Bowling. Bikinan Malaysia.
Kami tiba di dermaga Danau Nyadeng setelah lima kilometer atau 20 menit mengarungi sungai. Dua kawan lokal menambatkan ketinting pada batang pohon di pinggiran sungai. Untuk melanjutkan ke danau, masih ada satu kilometer lagi yang harus ditempuh dengan jalan kaki.
Jalur trekking cukup jelas dengan kontur datar. Jalan setapak tersamar serasah daun kering. Meskipun belum pukul 4 sore, suasana agak temaram karena tutupan hutan begitu rapat. Kami menjumpai sejumlah pohon besar dengan plakat kayu berisi informasi pengadopsi di depannya, seperti meranti merah (Shorea parvifolia), meranti majau (Shorea johorensis), dan merawan (Hopea mengarawan). Gerahnya kampung tidak menjalar sampai ke sini. Bahkan mungkin oksigen yang kami hirup berlebih.
Aliran sungai kecil nan bening di sisi kiri jalur jadi pertanda penting. Setelah 20 menit berjalan, Danau Nyadeng muncul di depan mata. Permukaan airnya yang berwarna toska menjadi anomali di tengah rimbunnya hutan. Entah bagaimana caranya air sejernih itu bisa muncul dari celah-celah batuan karst dan membentuk telaga.
Magis Danau Nyadeng
Kolam alami itu adalah pusat perhatian bagi segala kehidupan di sekelilingnya. Termasuk Nico dan Maria, pasangan turis asal Jerman dan Meksiko yang tiba sebelum kami. Mereka ditemani dua pemandu, yaitu Dedi dari Merabu dan Burdan, orang Pontianak. Burdan juga mendampingi dua pelancong tersebut ketika beberapa hari sebelumnya berlibur ke Taman Nasional Kayan Mentarang, Malinau, Kalimantan Utara.
Kecuali tim TelusuRI yang enggan berdingin ria sore hari, orang-orang itu tampak tak kuasa menahan godaan magis Danau Nyadeng. Mereka terjun dan berenang ke telaga yang terletak di ketinggian 117 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.
Danau Nyadeng menjadi sumber air minum warga sekaligus salah satu destinasi wisata unggulan Kampung Merabu. Tebing-tebing karst cadas menjulang yang mengelilingi area Nyadeng menambah daya pikat telaga seluas kurang lebih seperempat hektare itu. Suasananya benar-benar membuat pengunjung seperti kami betah berlama-lama.
Pihak kampung telah membangun sejumlah fasilitas, termasuk dua bilik toilet umum dan area dapur sederhana untuk memasak. Selain itu salah satu yang mencolok adalah rumah kayu yang menempel pohon ulin. Ada kamar-kamar untuk beristirahat, meski kondisinya perlu perawatan lebih lanjut. Rumah pohon ini menjadi tempat tidur pasangan turis mancanegara itu. Sementara TelusuRI dan para pemandu menempati pondok kayu panjang di sebelahnya. Sebagian memasang hammock di tiang-tiang penyangga, sedangkan saya cukup membeber matras di atas tikar rotan yang sudah tersedia.
Saya sempat kepikiran mendirikan tenda. Untungnya Decky memberi peringatan dini. Baru saja membicarakan potensi hujan, tiba-tiba gerimis mengguyur Nyadeng sebentar. “Kalau lagi hujan deras, air danau bisa meluap dan daerah ini bisa banjir, Bang,” Decky mengingatkan sambil menunjuk area tanah datar di depan pondok.
Namun, tidak bisa dimungkiri. Lanskap Nyadeng mencuri hati saya. Belum ada satu jam sejak kedatangan, saya tiada henti berdecak-decak kagum. Memuji nama Tuhan berulang-ulang dalam hati. Ada rasa tak percaya yang sempat menyelinap, kok kami bisa akhirnya sampai sini?
Barangkali daya magis Nyadeng dan keasrian hutan di sekitarnya, sampai menginspirasi Decky membuat skripsi khusus tentang danau ini. Alumnus S-1 Kehutanan Universitas Mulawarman tahun 2022 itu menulis tugas akhir berjudul Pengaruh Kerapatan Vegetasi Tutupan Lahan terhadap Proses Infiltrasi Air di Kawasan Danau Nyadeng Kampung Merabu, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Marjenah, M.P.
“Hitung-hitung ini bentuk kontribusi kecil saya buat kampung, Bang,” katanya. Mungkin suatu saat ia berminat melakukan penelitian untuk menemukan titik terdalam Danau Nyadeng, yang disinyalir lebih dari 40 meter.
Ketika beranjak larut, setelah sekian lama, saya mengalami salah satu malam ternikmat sepanjang hidup. Burdan pun berpikir serupa. Kami meriung tanpa sekat di atas bangku dari batang-batang kayu. Membicarakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Kampung Merabu hingga bertukar pengalaman masing-masing.
Kami melawan hawa dingin dengan mengepung api unggun yang sudah dibuat tiga pemuda masa depan Merabu tersebut. Kalau saja Henry berhasil mendapatkan binatang buruan malam itu, forum bersahaja ini akan berlanjut pesta memanggang payau—sejenis kijang. Sesekali kami menengadah jauh di atas kepala, memandang gemintang yang tak malu-malu menyemut di kolong langit.
Tanpa aba-aba, Decky menembang lewat notasi abstrak dari dawai-dawai sape. Alunannya memecah keheningan hutan. Gelas demi gelas kopi dan teh panas surut diseruput. Kami semua hanyut dalam kedamaian.
Tidak terkecuali Maria, sorot mata dan seulas senyum bibirnya turut terbius mendengar permainan Decky. Nico sigap menulis kegiatan yang tak terjadwal ini ke dalam buku catatannya. Untuk sementara, kamilah yang menjadi pusat perhatian alam pada malam itu.
Harmoni Puncak Ketepu
Tujuan kami tidak berhenti di Danau Nyadeng. Niat pantang surut sekalipun para tetangga di Merabu sudah mewanti-wanti kondisi jalur dan durasi yang harus kami tempuh ke Puncak Ketepu. Estimasi jarak pendakian ke puncak sekitar 500 meter dan trekking kurang lebih kisaran 1,5—2 jam. Kami berangkat summit pukul 04.15 WITA.
Trek mulanya datar sejauh 200 meteran. Lalu setelah plakat merah tulisan Puncak Ketepu yang menempel di pohon, jalur langsung menanjak terjal tanpa ampun. Saking sadisnya jalur pendakian yang dilalui, saya sempat berkelakar, “Ini gunung 393 mdpl, tetapi serasa gunung 3.000-an mdpl.”
Ritme langkah dan napas kami amat kontras dengan Decky dan Henry. Lagi-lagi kami beruntung. Seolah memahami payahnya langkah orang-orang kota, Decky yang memimpin di depan mengatur waktu istirahat sebanyak tiga kali. Tidak ada pos khusus sepanjang jalur. Dalam catatan alat Global Positioning System (GPS) yang saya bawa, kami rehat sejenak di dataran sempit dekat dinding batu (ketinggian 158 mdpl); di tanah berbatu karst lancip (270 mdpl), dan terakhir di gua (330 mdpl).
Berdasarkan keterangan Henry, gua tersebut merupakan percabangan dua jalur. Belok kiri memasuki liang lapang untuk naik 100 meter ke Puncak Ketepu, sedangkan lurus menyusuri celah sempit adalah rute ke Danau Tebo, Kutai Timur, yang masih berjarak satu hari jalan kaki—kalau saya mungkin perlu dua hari ke sana.
Pagi mulai beranjak terang ketika kami akhirnya tiba di Puncak Ketepu. Arloji saya menunjukkan waktu sekitar pukul 05.40 WITA. Satu jam lewat 25 menit. Di luar dugaan, dengan langkah tertatih, kami masih bisa lebih cepat 35 menit dari perkiraan awal.
“Kayaknya belum pernah seharu ini selama [pengalaman] muncak ke gunung,” Deta menyampaikan testimoninya. Fotografer tim itu mengaku hampir menangis sesaat menginjakkan kaki di Puncak Ketepu. Tidak sia-sia ia menolak tunduk pada keputusasaan pada trek curam, meski sempat dua kali muntah di tengah perjalanan ke puncak.
Tanpa membuang banyak waktu, kami mengeksekusi misi terpenting di Puncak Ketepu. Decky segera bersiap. Ia seolah berubah menjadi sosok yang berbeda dalam balutan baju jomok, cawat kain, penutup kepala dari kulit musang dengan mahkota paruh enggang, dan sebilah mandau di lingkar pinggang; walaupun semuanya meminjam dari Ransum, ketua adat Dayak Lebo Kampung Merabu.
Duduk di atas batuan dolomit kelabu nan runcing, ia pangku sape miliknya. Saya, Deta, dan Mauren siaga dengan kamera masing-masing untuk merekam dalam tiga sudut pandang. Tepat beberapa saat sebelum matahari terbit dari balik punggungan karst, kami larut dalam momen terbaik pagi itu.
Di tengah lengking owa kalimantan bersahut-sahutan, dua tembang instrumental mengalun berurutan. Decky memainkan satu lagu Dayak, lalu ditutup Tanah Airku gubahan Saridjah Niung atau Ibu Sud. Tanpa tambahan musik, tanpa lirik.
Lentingan sape nan jernih perlahan melebur bersama harmoni alam Ketepu. Mengikat kabut berarak di hijaunya hutan Merabu dan puncak-puncak karst Sangkulirang-Mangkalihat. Jemari tangan Decky meliuk dalam petikan-petikan dawai yang begitu menyayat dan menghunjam jiwa.
Tanda mata dari aroma alam
Rasanya tak salah kalau Asrani (48), bapak Decky, bilang prinsip orang Merabu sekarang berubah. Memikirkan kesejahteraan hidup dahulu, baru kemudian melestarikan hutan. Belakangan, saya menyadari lema “kesejahteraan” yang ia maksud bisa memiliki dua arti.
Tolok ukur pertama yang paling mudah tentu sejahtera karena makmur dan mapan secara ekonomi. Di luar hasil hutan, masyarakat Merabu bisa memaksimalkan potensi-potensi alternatif melalui ekowisata maupun produk-produk turunannya, antara lain susur sungai dan hutan, kuliner, kerajinan, serta festival adat. Arti sejahtera dalam konteks ini sedang diperjuangkan sejak dua dekade lalu sampai sekarang.
Makna kedua tak lain adalah kesejahteraan fisik dan psikis. Saya menemukan bahasa ini dalam studi yang dilakukan Dr. Jessica Fisher, seorang peneliti pascadoktoral, bersama timnya di Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE), University of Kent, Canterbury, Inggris.
Dalam tulisan berjudul “Nature, smells, and human wellbeing” yang rilis di Ambio (A Journal of Environment and Society), sebuah penerbit jurnal asal Stockholm, Swedia, Jessica Fisher dan kawan-kawan memvalidasi fakta bahwa interaksi manusia dengan alam adalah pengalaman multi-indra dan menunjukkan potensi pentingnya penciuman aroma-aroma tertentu dari alam bagi kesejahteraan fisik dan psikis manusia.
Lebih lanjut mereka menyebut, dampak yang terjadi sangat signifikan. Lingkungan yang bersih dan ketiadaan polusi ala perkotaan memungkinkan masyarakat mendapatkan manfaat besar, di antaranya merasa lebih rileks, gembira, dan sehat. Hubungan masyarakat dengan sumber daya alam di sekitar rumahnya akan kian erat, sehingga dengan sendirinya alam tetap terjaga kelestariannya.
Pengalaman menyatu dengan alam bisa menjadi daya tarik ekowisata tersendiri bagi Kampung Merabu, misalnya eco-healing. Tamu-tamu dari luar kampung tidak hanya datang untuk sekadar bersenang-senang, tetapi juga menemukan tanda mata dari alam untuk meraih ketenangan, kesegaran, membangun keterikatan dengan hutan, dan sebenar-benarnya menikmati hidup. Tak lupa, menumbuhkan kesadaran dan komitmen menjaga hutan dari gangguan apa pun.
Kira-kira situasi seperti itulah yang kami alami saat bermalam di Danau Nyadeng maupun naik ke Puncak Ketepu. Ada perasaan tak biasa yang hinggap di kalbu.
Raga yang sempat berada di titik jenuh mendadak bugar. Otak pun mendaur ulang pikiran yang suntuk kembali segar. Entah karena sempat berendam di pinggiran telaga, menenggak airnya untuk minum, atau efek asupan udara nirpolusi dari pori-pori daun.
Yang jelas, saya dan Deta memiliki pengakuan senada. Kami telah mengalami tidur paling nyenyak selama hampir sebulan ekspedisi. Padahal alas tidur hanya papan kayu dan matras seadanya di pondok terbuka, sehingga angin dan agas berseliweran dengan leluasa.
Di Danau Nyadeng dan Ketepu, puncak kedamaian itu terletak pada orkestrasi alam yang sederhana dalam keberagaman hutan dan seisinya. Beradu padu dengan asyik.
Entahlah. Tahu-tahu kami merasa sudah merindu Merabu. (*)
Foto sampul:
Decky memainkan sape dengan balutan kostum adat Dayak Lebo di Danau Nyadeng setelah turun dari Puncak Ketepu/Deta Widyananda
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.