Aku punya cerita soal perjalanan pertamaku ke Kota Surakarta, pusat Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang lebih populer disebut “Solo.”

Akhir Desember waktu itu. Aku sedang di Sleman menghabiskan masa libur kuliah. Setelah menghubungi kawan SMP dan kuliah yang tinggal di sana, aku berangkat ke Solo lewat Klaten. Perjalanan ke sana kumulai jam setengah 9 pagi, mengendarai motor matik pinjaman dari kawan kuliahku, Fienna, yang tinggal di Babarsari.

Semula aku hendak mampir sebentar di Klaten untuk makan siang bersama kawanku yang bernama Hilma. Sayangnya, saat itu ia ada keperluan mendadak sehingga rencana makan siang kami dibatalkan. Jadi, aku langsung ke Solo. Lancar-lancar saja perjalanan ke sana. Kalau dihitung, dari Sleman ke Solo aku hanya perlu waktu dua jam.

Setiba di jantung Surakarta, aku langsung menemui Dita, kawan SMP. Ia bingung mau mengajakku makan siang ke mana, soalnya aku baru pertama kali mampir ke Solo. Tanpa pikir panjang, aku mengajaknya makan di Warunk Upnormal. Baru saja kami sampai di sana, hujan deras turun. Terpaksa rencana untuk mencicipi kuliner kaki lima Surakarta kutunda dulu. Usai makan, hujan belum reda. Kami pun ke Solo Square untuk menunggu hujan berhenti. Di sana aku hanya makan tahu gejrot dan cireng.

Warga menunggu ojek online di kawasan citywalk Jalan Slamet Riyadi, Surakarta, Jawa Tengah, Senin, 3 Desember 2018 via TEMPO/Bram Selo Agung

Jam setengah 4 sore, hujan mulai reda dan aku mengantar Dita ke kosnya. Dari sana, aku langsung ke rumah Reza, kawan kuliahku, di mana aku akan menumpang tinggal selama dua malam. Rumahnya berada di Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Sebenarnya, dari kos Dita, dekat UNS, ke rumah Reza hanya perlu waktu sekitar setengah jam. Tapi aku perlu waktu yang lebih lama karena, selain tersasar, mesti berjuang menghadapi rintangan jalan basah.

Aku tiba di rumah Reza dalam keadaan kedinginan. Setelah membasuh muka, betapa senangnya mendapati bahwa Reza menyajikan gorengan hangat untukku.


Reza rupanya sudah membuat rencana. Ia akan mengajakku keliling Solo sekaligus bertemu dengan teman sekampus kami.

Aku diajak Reza ke tempat-tempat tenar di Solo, mulai dari Stadion Manahan, Keraton Surakarta, Alun-alun Kidul, Pasar Gede, dan lainnya yang sebagian sudah kulupa.

Kami berhenti sejenak di samping Lapangan Kota Barat. Selama di Kota Barat, aku mencoba makanan bernama timlo. Menurutku, kuah timlo hampir sama dengan kuah bakso pada umumnya. Yang membedakan cuman isiannya—mi soun, suwiran daging dan jeroan ayam, potongan sosis Solo, wortel, dan irisan telur rebus. Cita rasanya menarik bagiku yang baru kali itu mencoba. Pengalaman itu makin berkesan karena aku memakan timlo lesehan sambil bercengkerama dengan kawan-kawan. Sederhana, tapi rasanya bahagia.

Di samping warung timlo itu, aku melihat sesuatu yang menarik: Susu Shi Jack. Tapi warung susu itu ramai sekali. Kawan-kawan membujukku untuk mampir ke cabang Susu Shi Jack yang tak jauh dari sana, di Jalan Dr. Radjiman. Setiba di sana, rupanya kami tidak kebagian tempat duduk di bawah tendanya. Mau tak mau kami mesti lesehan di luar.

Yang menarik dari Susu Shi Jack adalah atraksi stunt para pembuat susu. Gelas-gelas kaca dilempar ke sana kemari. Ketika melihat itu, dalam hati aku bertanya-tanya, “Kapan pecahnya itu gelas?”

Pesanan kami pun tiba. Dinginnya angin malam jadi tak terasa ketika aku menyeruput susu hangat rasa matcha. Tampaknya Susu Shi Jack menggunakan susu murni. Kalau itu benar, itu adalah kali pertama aku mampir ke kedai susu murni. Selain rasa matcha, Susu Shi Jack juga menawarkan susu dengan beragam rasa lain, yang tentu saja tak bisa kucicipi dalam sekali kunjungan.

Ketika tengah malam datang, kami pulang.


Keesokan harinya, aku disambut mentari baru dan angin sepoi-sepoi khas suasana desa. Menjelang jam 9 pagi, aku dan Reza kembali ke kota untuk melanjutkan penjelajahan. Sebelum kembali menelusuri Solo, kami menjemput dua kawan, yakni Wanda dan Zahra. Berempat, kami singgah makan siang di sebuah rumah makan yang cukup legendaris di Solo, yaitu Sate Kambing Pak Manto.

Makanan pertama yang kuincar adalah sate buntel. Tapi, satu jam lebih menunggu, sate buntel kami belum tiba. Daripada membuang waktu sia-sia untuk menunggu makanan itu, kami mengganti pesanan menjadi sate kambing. Sate kambing itu datang lebih cepat. Dagingnya segar diselimuti bumbu kecap yang meresap. Itu pertama kalinya aku mencicipi sate tanpa bumbu kacang.

Usai makan sate di Pak Manto, kami beranjak ke Paragon Solo Mall untuk ngadem. Kebetulan di mal itu ada yang menjual makanan yang ingin kucoba, yakni tahok. Semula kupikir kembang tahu itu disiram dengan air gula Jawa yang manis. Rupanya tidak. Air itu adalah kuah jahe seperti di wedang ronde.

Kami berkeliaran di mal selama beberapa waktu, mengobrol entah-apa, sebelum melanjutkan perjalanan ke Stadion Manahan. Aku berpisah dengan mereka di sana, sebab aku sudah bikin janji untuk bertemu kakak-kakak tingkatku.

Warga menikmati kawasan Benteng Vastenburg, peninggalan zaman penjajahan Belanda di kawasan Gladak, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat, 3 Maret 2017 via TEMPO/Bram Selo Agung

Habis magrib, aku dan kakak-kakak tingkatku pergi ke daerah Colomadu untuk menjemput teman bernama Nadin, lalu pergi ke Galabo untuk bertemu dengan kawan lain, Ima.

Di Galabo aku memesan nasi liwet. Selain karena belum pernah mencoba, nasi liwet kupilih karena harganya murah. Sepintas nasi liwet seperti nasi uduk, dengan sedikit rempah, yang dilengkapi dengan sayur labu siam, suwiran ayam, telur rebus, dan gumpalan putih yang kuduga adalah santan.

Dari Galabo, kami mampir ke tempat-tempat di sekitarnya—halaman Gedung Djoeang ’45 Solo dan trotoar Benteng Vastenburg. Lalu kami ke Susu Shi Jack Jalan Yos Sudarso. Aku memesan makanan bernama Susu Colomadu, yakni susu dicampur telur, madu, dan cokelat. Nikmati sekali rasanya makan di warung tenda pinggir jalan bersama orang-orang terkasih. Jika suatu saat aku bisa mengajak keluargaku ke Solo, aku akan mengajak mereka mencicipi kuliner jalanan kota ini.

Sayang sekali malam itu mesti berakhir. Kami pun berpisah dan aku kembali ke rumah Reza.


Keesokan harinya, setelah sarapan pagi aku mengemasi ransel dan pamit pada Reza dan keluarganya. Tetapi, sebelum meninggalkan Solo, aku mampir dulu ke sebuah warung makan, yakni Selat Solo “Tenda Biru.”

Pengunjung sedang ramai-ramainya. Namun ketika aku tiba ada sebuah keluarga yang baru saja menyelesaikan sesi santapnya sehingga aku bisa langsung dapat tempat duduk. Semula aku ingin memesan selat Solo. Tapi, karena merasa perjalanan Solo-Jogja akan melelahkan, aku perlu karbohidrat. Jadi aku memilih makan gudeg Solo yang terkenal lebih gurih ketimbang gudeg Jogja. Aku juga memesan es gempol pleret yang terbuat dari tepung beras dan disiram kuah santan.

Baru saja selesai makan, seorang ibu-ibu bertanya kepadaku apakah kursi di dekatku boleh dipakai. Aku pun langsung minggat dari sana tidak lama kemudian.

Sebelum memulai perjalanan ke Jogja, aku membeli sekotak serabi khas Solo di Toko Serabi Notosuman Nyonya Lidya sebagai oleh-oleh untuk keluargaku di Sleman. Harganya kalau tidak salah sekitar Rp30.000 untuk sepaket rasa asli campur cokelat. Dari Serabi Notosuman, aku langsung bergegas kembali ke Jogja. Esok hari aku sudah bikin janji pada kawanku untuk main ke daerah Bantul.

Mungkin setelah pandemi ini usai, aku bisa kembali ke Solo untuk mencicipi kuliner-kuliner lain—atau menikmati suasana alam di Tawangmangu.

Tinggalkan Komentar