Memandangi, sembari merawat terumbu karang di laut, mungkin jadi hal menyenangkan untuk dilakukan para pencinta air. Apalagi, Indonesia terkenal akan lautnya yang indah luar biasa. Bahkan, Indonesia pun sering dijadikan destinasi wisata para freediver atau scuba diver dunia. Mulai dari Bali, Bunaken, hingga Raja Ampat sekalipun.

Tahu bahwa laut Indonesia begitu kaya, nyatanya tak semua masyarakat bisa berenang. Kalaupun bisa, tak semua ingin atau bisa mengeksplorasi laut Indonesia. Hal tersebutlah yang menggelitik Mikhael Dominico untuk mengedukasi sekaligus mengajak banyak orang untuk lebih mencintai air, tentunya lewat Apnea Culture.

Freediving mengenal buddy system, sebuah prosedur keselamatan di mana buddy mempunyai tanggung jawab terhadap teman menyelamnya via Instagram/apneaculture

Apnea Culture yang didirikan pada 2014 lalu awalnya memang merupakan toko online yang menjual berbagai peralatan freediving. Mulai dari wetsuit, fins, nose clip, dan banyak lainnya. Namun, kini Apnea Culture berkembang menjadi sekolah, komunitas, bahkan keluarga.

Untuk sekolahnya sendiri, terdapat berbagai program kursus yang bisa diikuti. Pertama, level Basic di mana murid akan belajar soal teknik dasar freedive, cara tahan napas, juga soal keamanan. Kelas biasanya berlangsung 2-3 hari. Untuk level Advanced, biasanya diajarkan bagaimana caranya menyelam lebih dalam, tahan napas lebih lama, dan bentuk latihannya pun bisa bervariasi. Kelas berlangsung kurang lebih 4-5 hari. Ada juga level Master dengan kelas 5-7 hari, serta level Instructor yang memakan waktu 1-2 mingguan.

Selain program-program tersebut, ada course lain yang tak kalah menarik yakni Emergency First Response (EFR) bagi yang tertarik belajar mengenai pertolongan pertama seperti CPR (resusitasi jantung paru), serta competition safety freediving course bagi yang ingin belajar bagaimana menjadi safety diver di suatu kompetisi.

Adapula berbagai workshop dan coaching clinic dimana Apnea Culture mengajarkan skill atau materi yang lebih spesifik dan mendalam.

“Kalau di Apnea Culture, kami bikin jadwal di weekend untuk sesi teori dan kolam (praktik). Lalu, mereka akan di-guide selama dua bulan secara intensif. Tiap minggu sesi latihan, pantau, setelah dua minggu mereka akan tergabung di klub dan mereka bisa ikut atau mantepin teknik yang masih kurang,” kata Mike yang sangat memfavoritkan Derawan sebagai destinasi wisata bawah laut yang wajib dikunjungi.

Edukasi soal isu sampah dan penggunaan plastik

Apnea Culture bersama Lihat Jelas Indonesia, Archipelago Dive, dan Paxel mengumpulkan masker, goggles, snorkel, dan buku bertema laut untuk anak-anak di Tianyar, Bali.

Kalau berpikir bahwa freediving adalah kursus yang sangat teknis, sepertinya anggapan itu keliru. Di freedive sendiri tidak hanya belajar bagaimana cara menahan nafas, tetapi juga bagaimana caranya menikmati laut, bagaimana agar bisa aman, juga belajar untuk tetap tenang saat menghadapi masalah di dalam air.

“Jadi ini sangat baik untuk mereka yang mungkin punya trauma, misal pernah tenggelam saat kecil. Saya rasa, ini sangat cocok untuk bisa ngembangin kecintaan orang terhadap air atau laut. Kami pengin bikin orang-orang lebih mencintai air,” terang Mike.

Selain itu, Apnea Culture sendiri nyatanya juga memiliki kepedulian akan sampah dan penggunaan plastik. Misalnya pada 2018 silam, mereka pernah mengadakan Selam Pinang yang bukan jadi ajang untuk kumpul-kumpul freediver saja, melainkan menggencarkan kampanye bagi masyarakat sekitar untuk membuang sampah pada tempatnya. Apnea Culture bahkan juga mengajak member-nya untuk membawa botol minum dan alat makan sendiri guna menghindari plastic waste.

Bangun keakraban dan sportivitas lewat freediving

Sebagai informasi, sebelum mendirikan Apnea Culture, Mike belajar freediving pada awal 2013 lalu di Inggris. Menurutnya, satu hal yang paling tak bisa dilupakannya ialah keakraban di klub.

“Biasanya, orang-orang di sana punya waktu kosong di weekend atau after office. Mirip di Jakarta. Walaupun mereka sibuk kerja atau mungkin masih mahasiswa, mereka sempetin dateng ke latihan. Bukan karena atlet, nggak, tapi mereka suka dengan lingkungan dan teman-temannya,” ujar penyuka warna merah ini.

Memang, dalam freediving ada sisi kompetitifnya. Namun, kompetisinya lebih ke melawan diri sendiri atau melawan ego yang dipunya.

“Ketika ada atlet yang sukses lakukan dive-nya, semua orang termasuk kompetitornya akan happy. Ada yang bikin rekor baru, semua akan senang. Ketika ada yang gagal, semua akan sedih juga. Jadi, lingkungan dan perasaan kebersamaannya tuh ada. Dan itulah yang ingin saya coba bawa ke Indonesia, terutama Jakarta,” sambungnya.

Ya, hal itu pulalah yang tampak ketika bercengkrama dengan sesama member Apnea Culture. Misalnya, sehabis latihan, para mereka menyempatkan waktu untuk makan bersama, atau ketika Apnea Culture menyelenggarakan event, member-nya akan dengan senang hati membantu.

Ingin bawa freedive Indonesia ke kancah internasional

Acara Selam Pinang yang diadakan oleh Apnea Bali dan Apnea Culture di Tulamben pada 17 Agustus 2018 silam. [Dokumentasi oleh @imajiair dan dipublikasikan di Instagram @apneaculture]

Ketika ditanya cita-cita ke depan, Mike menjawab dirinya ingin membawa Apnea Culture agar lebih dikenal, makin profesional, punya banyak cabang di mana-mana, dan tentunya go global.

Ia juga ingin instruktur lokal lebih dikenal di level internasional karena dari segi skill, pengalaman, latihan, dan jam terbang pun tak kalah bagus.“Untuk freedive di Indonesia, mudah-mudahan semakin maju, semakin baik dari segi performance, lebih terintegrasi kegiatan-kegiatanya. Semoga bisa ada badan yang memayungi freediving di Indonesia. Gue pengen banget freediver Indonesia dikenal secara internasional, jadi punya atlet yang bisa berangkat ke world championship. Atau Indonesia jadi host untuk Freediving World Championship. Itu bakal seru karena gue rasa Indonesia mampu untuk bikin,” pungkasnya.

Tinggalkan Komentar