Urban Futures, yang dikelola oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), baru saja menyelesaikan gelaran lokakarya pangan lokal berkelanjutan dengan judul “Simpang Belajar”. Kegiatan yang berlangsung pada pada 11–14 November 2024 ini mengajak 15 orang muda memetakan potensi dan masalah seputar pangan di sekitarnya, membayangkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan, dan merencanakan inisiatif aksi yang dapat mereka lakukan untuk mencapai visi tersebut. Kehadiran Dicky Senda dari komunitas Lakoat Kujawas sebagai fasilitator dan Musfika Syam dari Videoge Arts & Society sebagai co-fasilitator memberikan perspektif baru dan memperkaya diskusi selama lokakarya Simpang Belajar.
Kenalkan Konsep Lodok Lingko
Lokakarya Simpang Belajar berlangsung secara hybrid selama empat hari, sebab fasilitator menghadapi tantangan tak terduga akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Dicky Senda bersama Pamflet mengikuti kegiatan secara daring dari Denpasar, Bali, sedangkan Rombak Media bersama peserta berada di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Fasilitator membuka sesi dengan memperkenalkan sistem Lodok Lingko pada hari pertama. Lingko merupakan sistem pertanian tradisional yang dirancang seperti jaring laba-laba. Penerapannya pada dinamika “Simpang Belajar” kali ini adalah peserta punya wilayah Lodok (di dalam) yang digunakan untuk merancang visi atau tujuan mereka mengikuti kelas ini; cicing (bagian luar) menjadi representasi kontribusi peserta, meliputi pengalaman dan keterampilan apa saja yang mereka bawa ke dalam kelas; sedangkan garis pemisah digunakan untuk meletakkan aturan bersama selama kegiatan yang sudah disepakati oleh seluruh peserta.
Peserta lokakarya membentuk plano kecil di hari pertama (kiri) dan plano besar di hari kedua untuk mempelajari sistem Lodok Lingko yang diperkenalkan Dicky Senda sebagai fasilitator/Dokumentasi Simpang Belajar
Fasilitator juga memantik diskusi dengan mengajak peserta mengasosiasikan diri sebagai sebuah bahan pangan. Mereka lalu berkelompok, dan masing-masing kelompok memilih satu bahan pangan yang mewakili identitas para anggota. Tiga bahan pangan terpilih yang dijadikan sebagai nama kelompok yakni kelor, cabai, dan kelapa kemudian menjadi bahan diskusi mulai perjalanannya dari kebun hingga berada di atas piring makan kita. Selain itu, peserta juga mendiskusikan permasalahan, peluang, dan solusi dari masing-masing bahan tersebut.
Dari sesi ini, penulis sekaligus aktivis pangan, Dicky Senda menyimpulkan bahwa sistem pangan lokal adalah refleksi kompleksitas ekologi, sosial, budaya, dan politik. Kondisi ekologis memengaruhi jenis pangan lokal, sedangkan kebijakan politik memengaruhi harga dan ketersediaannya. Selain itu, Indonesia yakni menjadi negara pembuang makanan terbesar kedua di dunia sekaligus memiliki angka stunting ketiga tertinggi di Asia. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi bersama melalui gerakan pangan lokal yang terintegrasi, dengan fokus pada membangun kesadaran untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya pangan lokal secara berkelanjutan.
Masih menggunakan pendekatan lokal untuk memantik diskusi antarpeserta, Dicky Senda membawa konsep “Asam di Mbeliling, ikan di Papagarang, ketemunya di Warloka”. Pasar Warloka yang berlokasi di pesisir Desa Warloka, sekitar 17 km atau 30 menit berkendara ke arah selatan dari Luwansa Beach Resort, Labuan Bajo, merupakan salah satu pasar tertua yang masih menerapkan sistem barter. Setiap hari Selasa, masyarakat pesisir dan pegunungan bertemu dan membawa potensi pangan masing-masing untuk ditukar, misalnya ikan dari masyarakat pesisir ditukar dengan sayur dari masyarakat pegunungan. Jika di Warloka orang-orang bertukar pangan, maka di Simpang Belajar, peserta yang terdiri dari berbagai latar belakang ini dapat bertukar ilmu untuk membayangkan dan mewujudkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan.
Kunjungan Lapangan ke Lompong Cama, Maggotnesia, dan Kolektif Videoge
Selepas mengikuti sesi dalam ruangan bersama Dicky Senda, esoknya (12/11/2024) para peserta terbagi menjadi tiga kelompok dan mengadakan kunjungan lapangan ke tempat berbeda, yakni Lompong Cama, Maggotnesia, dan Kolektif Videoge. Di Lompong Cama, peserta mempelajari metode bercocok tanam, cara mengolah hasil kebun menjadi makanan siap santap, serta mengelola sisa bahan pangan menjadi kompos bersama Citra Kader, seorang chef sekaligus pegiat pangan di Labuan Bajo. Citra juga mengajak peserta berdiskusi mengenai pengaruh krisis iklim di daerah pesisir Manggarai Barat terhadap tanaman pangan.
Peserta yang mengunjungi Maggotnesia menggali wawasan tentang pengolahan sampah organik dan budidaya larva maggot untuk mengurai limbah sampah makanan bersama Royen Aquilinus, inisiator Maggotnesia. Harapannya, lewat kunjungan ini peserta dapat memperoleh wawasan tentang manajemen sampah organik yang menjadi alternatif solusi lingkungan yang dapat diterapkan di wilayah masing-masing, khususnya Labuan Bajo yang memproduksi sampah organik dari aktivitas pariwisata.
Sementara itu, peserta yang berkunjung ke Videoge mempelajari praktik pengarsipan pangan bersama Aden Firman, pendiri Kolektif Videoge. Aden berbagi wawasan dan kiat tentang bagaimana Videoge melakukan praktik pengarsipan pangan yang melahirkan sebuah buku berjudul Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Warga Pesisir Labuan Bajo. Tidak hanya itu, peserta juga mengikuti aktivitas tur kampung dan tur dapur untuk mengenali potensi dan riwayat kampung setempat, bertemu dengan warga yang beraktivitas di industri pangan rumahan, dan belajar tentang praktik pangan lokal, yakni memasak ikan menggunakan resep suku Bajo dan suku Bugis.
Refleksi Kegiatan dan Rencana Sistem Pangan Berkelanjutan
Pada penghujung kegiatan, Dicky Senda mengajak peserta berefleksi dengan cara menggambar porsi makan di atas kertas. Ternyata, sebagian besar peserta menggambar nasi. Dicky Senda lantas menyoroti bagaimana isu kelangkaan pangan lokal itu dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya durasi pengolahan, akses ke pangan lokal yang semakin sulit, perubahan iklim dan zaman, serta adanya inovasi makanan modern.
Selain itu, Dicky juga meminta peserta untuk kembali melihat Lodok Lingko yang dibuat di hari pertama. Tujuannya mencari tahu, apakah ada beberapa perkembangan setelah mengikuti sesi selama empat hari. Dengan bekal tersebut, peserta lantas merancang visi kota yang sudah ada supaya benar-benar terlaksana sesuai slogan “Manggarai Barat: Selaras Alam, Budaya, Manusia”.
Tutup Kegiatan dengan Kesan Pesan
Pamflet dan Rombak Media menutup rangkaian Simpang Belajar dengan berbagi kesan dengan peserta. Salah satu peserta, Ani, mengungkapkan rasa terima kasih dan semangatnya, “Terima kasih atas fasilitasi selama empat hari. Dari awal mulai, banyak sekali wawasan yang saya peroleh. Saya mempunyai ide membuat program [seputar pangan] baru, dan semoga ini terus berjalan untuk mengingatkan kita bahwa kita punya banyak hal yang bisa dilakukan.”
Dicky Senda selaku fasilitator pun menyampaikan harapannya, “Silakan teman-teman diskusikan lebih lanjut, tidak harus selesai malam ini, mungkin nanti teman-teman akan dapat insight tiba-tiba yang menginspirasi dan bisa menjadi ciri identitas atau nama dari koalisi atau komunitas ini.” Dengan begitu, harapannya koneksi yang terjalin antarpeserta tidak terputus.
Wilsa, selaku perwakilan dari Pamflet, juga berharap para peserta tetap saling terkoneksi. Sehingga wawasan yang didapat dalam kegiatan tersebut pada akhirnya bisa dituangkan dalam bentuk komunitas atau lainnya.
Foto sampul: Peserta lokakarya bersama Citra Kader (dua dari kiri), seorang chef dan pegiat pangan lokal Labuan Bajo menunjukkan masakan siap santap yang bahannya berasal dari hasil kebun Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.