Travelog

Angkringan Kedaulatan Rakyat

Setelah melewati perempatan Jetis dan berhenti sebentar menunggu lampu hijau di Tugu, saya meluncur di Jalan Margo Utomo. Tapi saya tidak terus sampai ke stasiun. Beberapa ratus meter dari ujung utara Margo Utomo, saya menginjak pedal rem lalu memarkir sepeda motor di halaman Kedaulatan Rakyat.

Dulu sekali, ketika jalan ini masih bernama Pangeran Mangkubumi, saya sering sekali nongkrong di Angkringan Kedaulatan Rakyat. Sekali seminggu minimal, setiap Rabu malam, bersama sedulur-sedulur komunitas KASKUS Regional Yogyakarta. Kami menyebut acara itu Guyub.

Acara mingguan itu tak punya protokol sama sekali. Kami hanya mengobrol, bersenda gurau, atau bermain kartu, mulai sekira jam 7 malam sampai dini hari begitu tumpukan koran Kedaulatan Rakyat yang masih hangat tiba dari percetakan. Begitu terus selama sekitar dua-tiga tahun, sampai satu per satu dari kami menghilang di jalan setapak hidup masing-masing.

Jelas hari ini yang memanggil saya ke Angkringan Kedaulatan Rakyat bukanlah Guyub. Saya ke sini untuk bertemu seorang kawan baik ketika di Pare dulu. Lima tahun lebih tidak berjumpa, tadi ia menghubungi saya lewat aplikasi pesan di ponsel pintar. Karena ia menginap di selatan, saya ajak saja ia bertemu di sini, di tengah-tengah Jogja.

Itu dia, sedang meluruskan punggung di tikar. Saya menghampirinya lalu kami berjabat-berpelukan menawar kangen.

Tugu Jogja di perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi (sekarang Margo Utomo) via TEMPO/Subekti

Tapi, tunggu dulu. Untuk mengobrol, saya perlu es Coffeemix dan camilan. Saya pun berjalan ke gerobak Pak Jabrik. Di meja dekat anglo, saya mengambil piring untuk menaruh camilan. Sambil menunggu giliran mencomot sate-satean dan gorengan di belakang barisan turis mancanegara, saya pesan minuman.

“Es Coffeemix, ya, Mas.”

“Nanti pesannya di depan sana saja, Mas,” ujar salah seorang “barista” angkringan.

Pak Jabrik sudah mengubah sistem rupanya. Dulu pelanggan bisa memesan minuman langsung di belakang, sehingga sehabis membayar di kasir, tak perlu menunggu lagi, mereka bisa langsung minggat ke tikar masing-masing sambil membawa piring camilan dan gelas minuman.

Setiba di kasir, saya menyesal memilih es Coffeemix. Kenapa tadi saya tidak memesan es tape susu saja? Itu minuman favorit saya waktu masih sering nongkrong di sini dulu. Tapi, mungkin lebih baik saya tak minum es tape susu; menyesap minuman itu sama saja dengan membuka bendungan memori.

Embun belum seharusnya muncul. Sekarang belum pagi.

Dengan piring camilan dan gelas minuman, saya kembali ke kawan saya itu untuk mendengarkan kisahnya, fluktuasi kurva hidupnya, dan mimpi-mimpinya yang sudah terwujud dan yang masih tertunda.

Sekarang ia tinggal di Bogor bersama istri dan anak perempuan kesayangannya yang masih kecil. Jendela Mimpi, kafe miliknya di Jalan Kemuning, Pare, tempat saya dan kawan-kawan dulu nongkrong—dan menginap jika sudah terlalu larut untuk pulang ke pondokan masing-masing—sekarang sudah jadi sejarah.

“Tapi kau masih simpan album mimpi itu, ‘kan?”

“Masihlah,” jawabnya.

angkringan kedaulatan rakyat
Angkringan Kedaulatan Rakyat/Fuji Adriza

Dulu, saya mengumpulkan sticky note berisi mimpi-mimpi para pelanggan Jendela Mimpi, teman-teman kami, ke dalam sebuah album foto berukuran besar. Tapi, baginya, membuka-buka album mimpi itu bukan perkara sembarang. Dipenuhi harapan manusia-manusia remaja akhir dan dewasa awal, isi album mimpi itu terlalu intens.

Pengamen datang ketika kami sedang asyik mengobrol. Di Angkringan Kedaulatan Rakyat, “ngamen gratis” tidak berlaku. Setiap sepuluh sampai lima belas menit sekali pasti ada saja pengamen yang datang untuk unjuk kebolehan. Pengamen yang dulu selalu muncul setiap Guyub apa kabarnya, ya, sekarang?

Selesai menambal puzzle kisah hidup masing-masing, kami bertukar kabar soal kawan-kawan. Ada yang sudah begini, ada yang sudah begitu, ada yang sekarang di sana, ada yang kini sudah di situ. Andai saja ada pengamen yang datang lalu menyanyikan Everbody’s Changing, lagu legendaris Keane, lengkap sudah episode malam ini.

Lama-lama, saya sadar bahwa mata teman saya itu sudah merah dan sesekali ia menguap. Ia sudah capek dan mengantuk. Seharian tadi ia keliling-keliling Jogja, ke hotel-hotel dan tempat-tempat wisata, demi mempersiapkan tur bagi rombongan wisatawan yang akan dibawanya ke Kota Istimewa beberapa bulan lagi.

Kami bangkit dari tikar, terus ke parkiran. Mengendari sepeda motor, lewat Jalan Margo Utomo yang masih ramai, saya mengiringinya kembali ke sebuah hotel di selatan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *