Semula saya mengira sedang berada di klub malam. Ternyata tidak. Ini angkot.
Bagaimana tidak? Lampu warna-warni seperti ini terlalu gemerlap untuk sebuah angkot. Pengeras suara yang dipasang hampir di setiap sisi barangkali cukup untuk bikin ratusan orang bergoyang semalam suntuk di sebuah klub malam Canggu. Desibel tinggi itu pun sukses membuat beberapa orang perempuan—yang kebetulan ini malam kebagian sial duduk dekat pengeras suara—meringis.
Tapi tak ada DJ dalam angkot D102 trayek Parung Bingung-Pondok Labu ini. Gantinya adalah Via Vallen yang tampil di panggung digital ukuran 14 inci. Penonton yang tak hafal lirik lagunya bisa ikut bernyanyi mengikuti panduan subtitle.
“Bang, ini kapan jalannya?” tanya salah seorang penumpang pada sang supir. Wajar saja ia bertanya demikian, sebab angkot ini memang sudah terlalu lama mengetem. Roda tak kunjung bergulir sementara Via Vallen sang Ratu Pop Koplo sudah berkeringat mendendangkan dua nomor.
Sang supir tak menggubris pertanyaan itu. Ia malah sibuk bercengkerama dengan wanita—barangkali istrinya—yang duduk di kursi sebelahnya. Sesekali ia menghisap dan menghembuskan asap rokok mild ke udara. Nikotin, karbon monoksida, dan zat-zat lain menguar memenuhi udara, bikin sesak dan pengap. Aroma lavender yang keluar dari mesin pewangi-ruangan otomatis itu rasa-rasanya tak banyak membantu.
Mungkin yang paling menderita akibat paparan asap rokok sang supir angkot adalah boneka Marsupilami dkk. yang menghiasi kaca depan dan dasbor. Mereka punya warna sudah kehilangan kemilau terpapar asap rokok. Seandainya bernyawa, mereka pasti sudah koit dari entah kapan. Atau setidaknya sekali-dua pernah dilarikan ke rumah sakit karena gejala ISPA.
Sekarang penumpang sudah 12 orang—3 di kursi pendek, 4 di kursi panjang, 2 dekat pintu, dan 3 di depan. Mereka duduk menunggu di bangku berlapis kulit sintetis dengan jahitan khas sofa. Kaki-kaki mereka yang beralas menginjak lantai berlapis rumput buatan yang lazim dijumpai di lapangan futsal atau studio foto kekininan.
Bocah-bocah dalam angkot yang tadinya anteng mendadak gelisah. Teriakan dan tangisan mulai bersahut-sahutan. Untung ada penyelamat: YouTube. Setelah diberikan hidangan audiovisual, bocah-bocah itu diam dibelai informasi digital. Tak ada lagi air mata, pun teriakan yang memekakkan telinga.
Akhirnya, saat-saat yang ditunggu para penumpang angkot D102 pun tiba. Kotak besi ini mulai bergerak.
Sang supir, sedemikian rupa sehingga tidak menabrak apa pun, perlahan memundurkan mobilnya dipandu tangkapan kamera belakang angkot dan suara bip-bip-bip dari layar. Merasa mendapat cukup ruang, ia lalu mengarahkan moncong D102 ke belantara jalan raya.
Gigi dioper. Angkot melaju beriringan dengan suara knalpot berat khas modifikasi. Via Vallen melantunkan Secawan Madu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.