Aneka Klethikan Jawa

Klethikan atau dalam bahasa Indonesianya camilan, merupakan sejenis keripik yang umum dijumpai di meja makan keluarga Jawa. Selain untuk mendampingi kudapan utama, klethikan juga kerap hadir tanpa hidangan utama alias sebatas dikonsumsi sebagai camilan.

Klethikan hadir berkat rasanya yang renyah sekaligus bunyinya yang “klethik-klethik” ketika masuk ke mulut. Bagi siapa pun yang menggandrungi klethikan biasanya akan terasa kurang lengkap jika tidak mendapati keberadaannya.

Di berbagai daerah di Jawa, klethikan kerap menjadi tradisi kuliner untuk mengisi perut atau menemani waktu senggang. Bahkan adanya klethikan bisa menjadi warisan budaya bagi siapa pun yang ingin mengunjungi suatu daerah.

Terdapat berbagai macam klethikan yang biasa kita temui ketika berkunjung ke sejumlah daerah di Pulau Jawa.

1. Klethik Lentho

Bagi masyarakat Boyolali atau siapa saja yang pernah berkunjung ke kabupaten tersebut, pasti akrab dengan lentho. Terlebih klethikan ini kerap dijumpai di warung-warung soto sepanjang jalan. Selain itu, sajian ini juga dapat ditemui di kios-kios camilan di setiap pasar.

Rasanya renyah ditambah aromanya yang lekat dengan bumbu kacang, ternyata terbuat dari parutan singkong, kacang tanah, garam, hingga ketumbar. Proses pembuatannya pun sederhana. Pada awalnya ketela dikupas dan diparut hingga lembut, kemudian dicampurkan dengan aneka bahan tambahan sebagai adonan. Setelah itu, adonan tersebut digoreng sampai kering dan berwarna kecokelatan.

Aneka Klethikan Jawa
Lentho khas Boyolali/Mohamad Ichsanudin Adnan

Terdapat dua jenis lentho yang kerap ditemui di Boyolali, yakni lentho kering dan basah. Lentho basah umumnya memiliki tekstur yang menyerupai bakwan. Tidak terlalu keras sehingga membuatnya cocok bila disandingkan dengan hidangan soto. Adapun lentho kering cenderung berwarna cokelat pekat dan lebih keras, sehingga lebih pas disimpan dalam durasi waktu yang cukup lama.

Lentho sendiri membutuhkan kemasan yang rapat seperti kaleng, agar tidak kemasukan angin dan membuat lentho menjadi melempem atau lembek. Beberapa penduduk Boyolali juga biasa menyimpan Lentho dengan lapisan kertas minyak, agar dapat menyerap minyak yang dihasilkan setelah digoreng.

2. Klethik Pathilo 

Klethik pathilo sejatinya begitu dekat dengan Kabupaten Gunungkidul. Sebab banyak warga Gunungkidul yang membudidayakan tanaman ketela. Cuacanya yang cenderung panas memudahkan masyarakatnya memproduksi pathilo. 

Dilansir dari Bumbu Magz, nama pathilo berasal dari kata “pathi” (pati) yang memiliki arti sari telo atau ketela. Nama ini jelas merujuk pada tanaman ketela yang tumbuh subur di Gunungkidul.

Aneka Klethikan Jawa
Pathilo khas Gunungkidul/Mohamad Ichsanudin Adnan

Pada awalnya pathilo hanya menyediakan satu warna saja, yakni putih kecokelatan. Namun, seiring berkembangnya selera konsumsi, klethikan ini mulai memberi variasi warna mulai dari oranye hingga hijau. Akan tetapi, warna tersebut hampir tidak memengaruhi kualitas rasa yang dihasilkan.

Meskipun bentuknya mirip rengginang, tetapi rasa gurih sekaligus teksturnya yang “nglethik” membuatnya cukup berbeda dengan jenis rengginang pada umumnya. Selain itu rengginang biasanya terbuat dari olahan ketan, sedangkan pathilo memiliki bahan dasar dari ketela.

3. Intip Goreng

Meskipun intip selalu lekat dengan kuliner khas Jawa Timur, tetapi intip goreng khas Solo adalah jenis klethikan yang kerap saya konsumsi. Proses pembuatannya bisa dibilang cukup sama, yaitu menggunakan bahan dasar kerak nasi yang kemudian dijemur sampai kering lalu digoreng hingga renyah. 

Yang menarik dari intip goreng khas Solo, kerak nasi tersebut justru sengaja ditempelkan di kendil sampai matang. Kemudian secara bentuk lebih menyerupai bulat sempurna dan tidak mudah pecah. Dari segi rasa cenderung memadukan asin sekaligus manis.

Aneka Klethikan Jawa
Intip goreng khas Solo/Mohamad Ichsanudin Adnan

Beberapa jenis intip yang beredar di pasar biasanya diberikan beberapa bumbu tambahan, seperti bawang dan terasi. Akan tetapi, penambahan bumbu-bumbu tersebut tidak bisa menandingi rasa gurih yang dihasilkan oleh intip asli.

Intip tersebut mudah ditemui di berbagai pasar di Kota Solo, seperti Pasar Klewer, Pasar Jongke, dan Pasar Singosaren. Harganya pun cukup murah, satu bijinya tidak sampai mengeluarkan uang lebih dari Rp10.000.

4. Kerupuk Mares

Kerupuk mares biasanya cocok disajikan dengan empal gentong, nasi jamblang, maupun kudapan berat lainnya. Selain itu kerupuk mares juga nikmat dicocol dengan sambal dan dilahap sampai habis di mulut sebagai cemilan.

Kerupuk mares merupakan kudapan yang berasal dari Cirebon. Akan tetapi, banyak orang yang menyebutnya sebagai kerupuk mlarat karena proses pembuatannya bukan menggunakan minyak, melainkan pasir.

Aneka Klethikan Jawa
Bentuk kerupuk mares khas Cirebon/Mohamad Ichsanudin Adnan

Bahan utama pembuatan kerupuk mares adalah singkong. Proses pembuatannya unik, tidak seperti jenis klethikan lainnya yang digoreng. Kerupuk mares dibuat dengan cara disangrai menggunakan pasir sungai di atas wajan. Pasir tersebut tidak sembarang dipilih, karena mesti dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan.

Asal usul hadirnya oleh-oleh khas Cirebon tersebut bermula saat kebijakan tanam paksa pada masa kolonial Belanda. Pada waktu itu, banyak masyarakat Cirebon yang kesulitan memperoleh nasi karena tanah garapannya mesti diolah untuk komoditas yang ditentukan pemerintah. Alhasil masyarakat pun lebih mengandalkan tanaman singkong yang tumbuh subur di Cirebon.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar