Kekayaan alam dan warisan adat Dayak Lebo adalah modal besar tiada ternilai untuk masa depan generasi muda Merabu. Melestarikan tidak semudah melisankan.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Jika kami—tim TelusuRI—ditanya, adakah pendapat jujur yang bisa mewakili impresi terhadap Kampung Merabu?
Ya, ada. Dua kata saja: kami iri.
Betapa tidak. Segala keterbatasan yang mengungkung, antara lain akses jalan, sinyal telekomunikasi, listrik, dan bahan bakar minyak; tidak serta-merta mampu menutupi tindak tanduk orang-orang Merabu dalam hal bersyukur, bahagia, dan kemampuan untuk merasa cukup.
Sepanjang hutan dan sungai di Merabu terjaga, selama itu pula alam akan terus menjadi tempat bersenang-senang. Bahkan untuk urusan pekerjaan, seperti memandu tamu wisata, memanen madu, mencari bahan makanan, dan menjala ikan. Mereka seolah lupa jika Doni Simson (41), ketua Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Lebo ASIK pernah berkelakar, “Siapa pun yang masuk Merabu dianggap hilang dari dunia.”
Dan memang sedemikian pelosoknya permukiman masyarakat Dayak Lebo itu. Namun, faktanya, itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Ada kendala, memang; tetapi, ya, hidup harus terus berlanjut. Sungai Lesan yang penuh ikan, Danau Nyadeng nan bening, hasil hutan berlimpah, hingga kemegahan karst Sangkulirang-Mangkalihat jadi alasan besar untuk tersenyum lebih lebar.
Anugerah alam yang dihadirkan bumi untuk Merabu amat berarti bagi masyarakat. Terlebih anak-anak mudanya. Decky Aprillius (25), anak pertama Asrani (kepala kampung saat ini), mengamininya. Ia mengibaratkan hutan seperti mal di kota, sebagai taman bermain dan mencari apa pun yang diinginkan.
“Jadi, dulu kami masih kecil itu pengin makan ikan, ya, cari ke sungai. Pengin makan daging, ya, cari ke hutan,” katanya. Ini masih berlangsung sampai sekarang.
Hutan, gua karst, sungai, dan danau adalah taman bermain orang-orang Merabu sejak kecil. Seiring waktu dan dinamika hidup terus berjalan, Decky pun menyadari sesuatu. Sedari kecil pula, generasi muda Merabu telah dihadapkan pada tantangannya sendiri, yakni regenerasi.
Kesadaran menyentuh kekurangsadaran
Pikiran setiap anak muda di Kampung Merabu dalam memandang tujuan hidup tidaklah sama. Kondisi lingkungan dan keluarga memberi pengaruh signifikan. Apalagi jika memikirkan arah pengembangan Kampung Merabu, termasuk soal upaya pelestarian adat.
Kegundahan Ransum (61) terhadap takdir masa depan tradisi Dayak Lebo patut menjadi perhatian lebih. Ia bahkan belum yakin anaknya sendiri siap meneruskan posisinya sebagai ketua adat. Selain itu literasi adat juga belum sepenuhnya merekat di sebagian kalangan muda-mudi Merabu.
Menurut Decky, perhatian sebagian anak-anak muda terhadap adat sebatas menghormati ketentuan adat dan segala jenis konsekuensinya. Apa yang boleh maupun tidak boleh dilakukan.
“Kalau kami di sini sebagai anak-anak muda, ya, kami masih percaya tentang adat. Karena mau percaya atau enggak percaya, itu masih terjadi di daerah kami [hukum sebab-akibat],” kata pria yang memiliki tato bunga terong di dekat bahu kanannya itu.
Ia memberi contoh, “Seperti sebelum kita pergi [dari rumah]. Kalau kita ditawarkan makan, kita harus makan dulu atau mencicip. Setidaknya peganglah [sedikit] makanannya.” Konsekuensinya, akan ada sesuatu menimpa mereka jika tidak melakukan mengiyakan tawaran tersebut. Entah kecelakaan, terluka, atau kesialan lainnya.
Dalam pengamatan Decky, anak-anak muda Merabu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kelompok yang mau menjaga budaya. Kedua, kelompok yang kurang tertarik terhadap budaya—karena dirasa memiliki keterbatasan wawasan kebudayaan.
“Itu sebenarnya misi saya [mengampanyekan pelestarian adat],” kata Decky. Untuk itu ia mencoba merangkul semuanya. “Kita jaga budaya kita. Kita pamerkanlah budaya punya kita seperti ini. Jadi, untuk anak-anak muda, ya, jangan malas-malas [mempelajari budaya].”
Dari pengakuan Ester, Decky memang memiliki bakat seni dan mencintai budaya. Semasa kuliah, anak pertama Asrani dan Ester, itu aktif tampil di acara-acara kesenian. Satu sape, alat musik tradisional Dayak, tersimpan di kamarnya. Kalau bukan karena Cornelius alias Dudung, anak keempat Ester, kami tidak akan tahu ketertarikan Decky pada kesenian dan kebudayaan.
Meskipun sape bukan menjadi ciri khas Merabu, lulusan S-1 Kehutanan Universitas Mulawarman itu mau mempelajari dan memainkannya. Supaya kental representasi sebagai orang Dayak, katanya. Hasrat seperti inilah—jiwa sadar budaya—yang ingin Decky tularkan kepada teman-temannya di kampung.
Tekad dan komitmen Decky seperti jadi satu kabar gembira yang mestinya sedikit melegakan hati orang tuanya. Apalagi Ransum. Meski bukan cucu kandung, Decky sudah dianggap seperti cucu sendiri.
Decky tidak menampik misinya pasti akan menghadapi tantangan. Lokasi permukiman yang terpencil membuat pergaulan anak-anak muda hanya terbatas di kampung saja. Ia maklum bila banyak temannya yang belum berpikiran terbuka terhadap adanya perubahan. Kondisi ini, menurutnya, terkadang membuat tingkat kerja sama atau kekompakan untuk memajukan kampung belum terjalin erat satu sama lain.
Dari satu untuk semua
Setali tiga uang dengan bapaknya, Decky menganggap pendidikan sangat penting untuk membuka pikiran dan wawasan. Kesenjangan pengetahuan bisa menimbulkan miskomunikasi satu sama lain. “Kita bersekolah itu tidak hanya untuk mendapatkan ijazah saja, tapi kita juga dituntut untuk berpikir,” ujarnya.
Sektor pendidikan menjadi sasaran prioritas dari hasil program adopsi pohon yang dikembangkan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri, Kampung Merabu. Selain untuk operasional perawatan pohon adopsi, dana yang diperoleh juga dialokasikan untuk membiayai pendidikan anak-anak. Baik itu sekolah di kampung maupun luar Merabu.
Harapannya jelas. Selain menjaga warisan sumber daya alam untuk anak cucu, investasi pendidikan dimaksudkan melahirkan sosok-sosok muda progresif yang kelak mau memikirkan masa depan Merabu.
Ester bahkan terang-terangan menginginkan gerakan perubahan dari anak-anak muda Merabu, khususnya yang masih berjuang untuk sekolah maupun bekerja di perantauan. “Kami sebagai orang tua [sangat] mendukung anak-anak kami [mengenyam pendidikan setinggi mungkin], supaya mereka bisa kembali ke kampung dan membangun kampung ini, seperti kampung-kampung [maju] yang lain,” harapnya.
Para pendahulu telah hidup dan mati membukakan jalan untuk generasi penerus. Masa-masa perjuangan dan kebangkitan kampung yang dirakit sejak era Asrani, Franly, Agustinus, dan terakhir Ester, harus terus disambung anak-anak muda untuk memastikan keberlanjutan.
“Harapan saya dan anak-anak muda di kampung, bisa bergandengan tangan dan bersama-sama menjaga apa yang kita punya,” ungkap Decky bermimpi. “Kami ingin melanjutkan apa yang sudah menjadi kebaikan alam itu. Apa yang sudah diberikan alam, setidaknya kami juga bisa memberi kontribusi kembali ke alam untuk menjaga mereka.”
Meski mengalami keterbatasan, tidak menutup fakta Merabu memiliki potensi besar dari anak mudanya. TelusuRI melihat itu dalam diri Decky, Henry dan Dedi (pemandu wisata Merabu), Jonathan (tetangga terdekat Asrani), Hakim (pemanjat madu), Natanael, Delfi Oley, dan banyak lagi.
Kami banyak berbincang dengan mereka di beberapa kesempatan, seperti membakar ikan, ngopi di warung Yervina, dan menongkrong di teras samping rumah Asrani. Ada asa, semangat meledak-ledak, sekaligus sisi jenaka pada diri mereka.
Kiprah yang diharapkan oleh orang-orang tua kepada anak-anak muda Merabu bukan perkara gampang. Ada titipan 22.000 hektare permukiman, termasuk di dalamnya 8.245 hektare hutan desa yang harus dijaga keberadaannya. Namun, diawali dengan kecintaan dan berpedoman pada adat istiadat, tujuan besar untuk kesejahteraan Merabu di tangan anak muda sepertinya tinggal menunggu waktu.
Kalau itu terwujud, kami benar-benar akan makin iri dengan Decky dan anak-anak muda Merabu lainnya. (*)
Foto sampul:
Decky (paling kanan) bersama Henry (tengah) dan Dedi tengah bersantai di atas batang kayu setelah berenang di Danau Nyadeng. Ketiganya termasuk paling sering diandalkan Yervina dan Ester sebagai pemandu wisata jika ada tamu dari luar yang berkunjung ke Merabu/Deta Widyananda
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.