Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada akhirnya kami memilih untuk menjelajah ke berbagai gili di Lombok Timur. Pertimbangannya agar dekat dengan lokasi menginap saya di sebuah kos teman yang sedang mondok.
Maka, perjalanan menyusuri berbagai gili dengan perahu jadi juga. Saat itu saya ditemani 3 kawan lama dan seorang kawan baru yang sekaligus sembari memandu perjalanan. Kawan baru inilah yang berkoordinasi dengan si empunya perahu dan warga setempat. Sisanya kami hanya tinggal menikmati perjalanan sambil bercerita ngalor ngidul tentang kehidupan yang semakin tak karuan
Perjalanan kali ini, kami akan menyusuri tiga gili. Satu di antaranya ialah Gili Bidara. Kami melabuhkan kapal di tepian dan segera beranjak ke sebuah saung di pinggir pantai. Membuka camilan sekaligus kembali melanjutkan cerita yang dipenuhi pengalaman spiritual sekaligus romansa. Tak lupa, di antara celetukan ini dan itu, kami mengabadikan diri sambil main air dan pasir putih meski matahari benar-benar terasa sejengkal di atas kepala.
Setelah puas menertawakan berbagai cerita aneh di saung pinggir pantai, seorang kawan asli Lombok mengajak saya dan teman-teman lain—yang memiliki benang nasib sama yakni tidak jadi menikah—untuk melanjutkan perjalanan. Pilihannya ada dua: mengelilingi Pulau Bidara melalui susur tepi pantai atau melalui tengah pulau membelah perkebunan warga. Kami pada akhirnya memilih opsi dua dengan alasan tak jauh-jauh dari pengalaman menyantap ambon jawa dengan didahului melihat perkebunan—di tengah pulau kecil daerah Lombok—mungkin lebih langka dan menarik ketimbang “sekadar” melihat ombak yang berdesakan ke daratan.
Berjalanlah kami ke tengah pulau yang lautnya jamak dijadikan tempat snorkeling. Membelah perkebunan ini itu, termasuk ambon jawa atau ubi jalar itu sendiri. Sepanjang menapaki tengah pulau, kami tak ubahnya bercanda memparodikan acara penjelajahan televisi. Menertawakan berbagai hal dan menikmati perjalanan yang absurd dan “sangat khas wisatawan” ini.
Hingga tibalah kami di area persinggahan para nelayan lengkap dengan rumah-rumah bak untuk hobbit dalam film Lord of The Ring versi pinggir laut. Dari kejauhan, bangunannya pendek dengan perkiraan tingginya tidak sampai 1.5 meter dan samar; apakah itu tempat tinggal, singgah sementara, tempat menyimpan peralatan melaut, atau hal lain. Bangunannya sederhana dengan atap dan dinding dari dedaunan khas pantai. Bentuknya pun bisa menyerupai gambaran rumah kebanyakan anak sewaktu kecil, bedanya tidak ada sawah maupun jalan menuju pegunungan. Pintunya pun sederhana, jendela pun bisa dihitung jari, bahkan beberapa tak memilikinya. Beberapa rumah berdekatan dengan ukuran yang berbeda.
Rumah-rumah sederhana itu biasa nelayan pakai untuk singgah atau menetap sementara demi efisiensi dan efektifitas waktu. Terlebih bila angin sedang kurang bersahabat. Mereka pun mengusahakan pemukiman layak dengan segala keterbatasan, termasuk untuk masak maupun berkumpul.
Di antara rumah-rumah sederhana tanpa panggung, terdapat semacam bale yang di dalamnya telah tersaji sepiring ambon jawa rebus hasil masakan mamak setempat. Tentu, ini saatnya kami menyantap si ambon jawa yang perawakan aslinya berkulit ungu dan berdaging kuning.
Rasanya, ya seperti ubi pada umumnya, walau beberapa referensi menyebut padanan arti yang tepat untuk ambon jawa ialah singkong. Namun, dari segi bentuk maupun daging, panganan yang tersaji di hadapan saya saat itu lebih cocok dikategorikan sebagai ubi, walau tak manis-manis amat.
Kepulan uap panas muncul dari ambon jawa yang baru matang tersaji di piring. Potongan demi potongan kami santap dengan lahap. Menikmati perjalanan dengan tempo lebih rendah memang begitu nikmat, terlebih panganan ini kami dapat “fresh from the oven.”
“Panen setiap tiga bulan sekali tanam saja di sana,” kata salah seorang nelayan yang tengah membersihkan ambon jawa setelah dipanen.
Di sudut lain, seorang bapak dengan buff di kepala sibuk membersihkan ambon jawa. Sosok lain pun datang menambah pasokannya. Satu persatu ambon jawa dibersihkan dari daun dan akar, mereka mengkondisikannya untuk siap dijual ke masyarakat maupun konsumsi sendiri.
Umumnya di sini, ambon jawa memang untuk konsumsi pribadi, tapi tak menutup kemungkinan banyak yang menjualnya untuk warga setempat atau wisatawan. Saya pun kebagian dapat satu plastik berisi ambon jawa sebagai buah tangan yang siap diolah di Jakarta. Sayangnya, sesampainya di Jakarta tidak semua ambon jawa bisa saya nikmati. Karena perjalanan yang masih mampir ke beberapa tempat, beberapa ambon jawa terpaksa busuk di tengah perjalanan pulang dan saya harus membuangnya, meski sebenarnya merasa terpaksa.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.