Pengemudi angkot oranye berpolet hitam itu memperlambat laju angkotnya ketika melihat seorang ibu menyetop di pinggir Jalan Raya Kota Baru, Padalarang, Bandung Barat, Kamis (7/4/2022) pagi. Angkot lantas berhenti. Maka, sekalian saja, aku turun lantaran lokasi yang aku tuju memang sudah dekat. Kuberikan uang kertas Rp5.000 sembari mengucapkan terima kasih kepada sopir.
Aku berjalan santai menuju tempat pengeteman bus antarkota yang juga menjadi pos kontrol bus MGI, lokasinya ada di sebelah barat gerbang masuk utama kompleks Kota Baru Parahyangan. Waktu menunjukkan pukul 07.52 WIB saat itu. Belum ada bus yang berhenti. Tiga orang pengamen sedang mengobrol. Seorang bapak membawa tas jinjing duduk bersandar di salah satu bangku.
Selang beberapa menit menunggu, sebuah bus jurusan Garut-Jakarta melintas perlahan. Sang kernet melongok dari kaca pintu depan. Bus berhenti. Tak lama, di belakangnya berhenti pula sebuah bus lainnya. Ini bus yang aku tunggu. Bus jurusan Bandung-Sukabumi. Warnanya biru, ber-AC. Kernetnya turun. Bapak yang membawa tas jinjing dan sedari tadi duduk, segera bangkit dan berjalan masuk ke dalam bus. Aku dekati kernetnya, yang berdiri tak jauh dari pintu depan yang terbuka.
“Aya keneh tempat? ” (Masih ada tempat), tanyaku dalam bahasa Sunda.
“Aya. Sok, naek!” (Ada. Ayo, naik), jawabnya.
Aku pun segera masuk. Ada dua barisan kursi di bagian belakang yang sama sekali belum ditempati. Aku memilih kursi yang persis berada sebelum kabin khusus untuk perokok—kursi paling pinggir, dekat kaca. Kutaruh tas punggungku di kursi sebelah. Lantas, kuaktifkan sistem pendingin yang ada di atasku.
Tak lama, petugas kontrol masuk. Ia berjalan dari arah depan ke bagian belakang. Setelah memastikan jumlah penumpang, ia turun kembali. Sejurus kemudian, kernet menutup pintu dan bus pun melaju perlahan ke arah barat, menyusuri Jalan Raya Padalarang.
Selama dua tahun lebih sejak pandemi COVID-19, aku tak pernah bepergian ke luar kota menggunakan bus. Jadi, inilah pertama kalinya aku kembali memanfaatkan jasa bus antarkota. Bus AC berwarna biru ini adalah bus langgananku jika ke Sukabumi.
Di kaca depan dan kaca samping, di bagian tengah bus, terpasang rincian tarif. Contohnya, Bandung-Cipeuyeum, Rp11.000; Bandung-Cianjur, Rp33.000; Bandung-Sukabumi, Rp45.000. Terteranya tarif seperti itu membikin penumpang dapat dengan mudah mengetahui ongkos yang harus mereka bayar. Mereka tak perlu khawatir membayar kemahalan gara-gara dikemplang oleh kernet yang nakal.
Sembari menikmati perjalanan, aku iseng bermain catur daring via laman lichess.org. Kupilih permainan yang berdurasi singkat, tiga menit per babak. Setelah beres satu babak, kita bebas memilih apakah mau melakukan pertandingan ulang dengan lawan yang sama atau memilih pertandingan baru dengan lawan yang berbeda.
Bus yang aku tumpangi melaju lumayan cepat. Arus lalu-lintas relatif lancar. Pasalnya, telah melewati rush hour, orang-orang sudah berada di tempat kerja masing-masing. Daerah Rajamandala sudah terlewati. Begitu juga Cipeuyeum. Bus memasuki daerah Cibodas. Di depan sebuah kedai makan, bus berhenti karena harus melakukan kontrol. Sopir dan kernet turun. Beberapa penumpang juga ikut turun untuk buang air kecil. Seorang pria berkaus merah masuk. Ia seorang pedagang asong. Yang ia tawarkan yaitu alat cukur pria, korek gas, dan ballpoint, yang dikemas dalam satu paket. Harganya Rp10.000 per paket.
Namun, tak satupun penumpang dalam bus tertarik membeli paket yang ditawarkannya. Tak lama, ia pun turun. Petugas kontrol masuk. Seperti biasa, ia memeriksa jumlah penumpang. Setelah itu, sopir dan kernet bus masuk. Menyusul kemudian seorang pria sepuh bertopi dan mengenakan kaus putih agak lusuh masuk pula ke dalam bus. Dan bus pun melaju. Pria sepuh itu berdiri di depan, menghadap ke para penumpang. Ia mengeluarkan beberapa buku dari dalam kantong kresek hitam. Satu per satu buku kemudian ia bagikan ke para penumpang. Rupanya ia juga pedagang asong. Buku yang ia tawarkan adalah buku panduan shalat. Harganya Rp12.000.
Aku mendapat pula giliran dibagi buku olehnya. “Punten, ngawagel. Bilih peryogi” (Maaf, mengganggu. Kalau-kalau perlu), ucapnya seraya menyodorkan buku ke pangkuanku.
Beres membagi buku hingga ke kursi belakang. Ia kemudian balik lagi ke depan dan mendatangi satu demi satu penumpang untuk mengambil buku yang telah dibaginya dan tidak dibeli oleh penumpang. Tampaknya tak ada penumpang berminat membeli buku panduan salat yang dijajakannya. Setelah mengambil buku-bukunya, ia kemudian duduk di kursi bagian tengah. Mendekati Ciranjang, ia berdiri dan berjalan ke depan.
“Ranjang-ranjang. Persiapan,” kernet bus mengingatkan penumpang yang hendak turun di Ciranjang. Di depan Pasar Gelanggang, Ciranjang, bus menepi. Penjual buku tadi bersama beberapa penumpang turun.
Setelah itu, bus kembali meneruskan rutenya. Sejumlah kursi bus kini kosong karena ditinggal penumpang yang tadi telah turun di Ciranjang. Aku yang asalnya duduk di jajaran kursi bagian belakang berpindah ke jajaran kursi bagian tengah.
Sejak dari Ciranjang, bis sama sekali tidak menurunkan dan menaikkan penumpang. Beberapa penumpang baru turun ketika bus sampai pos kontrol berikutnya, di daerah Rawabango. Ada juga penumpang yang naik, seorang ibu berkerudung hijau toska dan seorang anaknya, laki-laki.
“Tos we, di dieu calikna,” (Sudah, di sini saja duduknya) kata ibu itu kepada anaknya, menyuruh si anak duduk di kursi yang ada di seberangku.
Di pos kontrol Rawabango ini, petugas kontrol sama sekali tidak masuk ke dalam bus. Ia hanya berdiri di luar bus dan menerima laporan dari kernet bus.
Beres menyelesaikan laporan, bus meninggalkan Rawabango. Melaju ke arah Jalan Lingkar Selatan Cianjur, melewati Pasir Hayam, Jebrod, dan masuk ke daerah Warungkondang. Di Warungkondang, bus kembali harus menjalani kontrol. Ini kontrol terakhir sebelum masuk wilayah Sukabumi. Seperti di pos kontrol Padalarang dan Cibodas, petugas kontrol di Warungkondang masuk ke dalam bus.
Dari Warungkondang, bus bergerak ke wilayah Gekbrong. Kurang dari 20 menit, bus sudah memasuki wilayah Sukabumi. Jalan yang menurun, membuat bus melaju lebih kencang. Pukul 11.05, bus yang aku tumpangi itu telah berada di Jalan Raya Sukaraja, Sukabumi.
Mendekati Rumah Sakit Hermina, aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan mendekati pintu depan.
“Hermina, kota-kota. Persiapan,” teriak kernet bus.
Tak jauh dari sebuah minimarket, bus menepi. Kernet dengan sigap membuka pintu depan. Aku melompat turun, penumpang lain menyusul. Sebuah angkot berwarna merah muda berhenti. Pengemudi angkot tentu saja berharap ada penumpang yang turun dari bus untuk naik ke angkotnya.
Namun, aku memilih berjalan kaki. Toh, jarak yang aku harus tempuh dari tempat bus itu berhenti ke tempat tujuan tak lebih dari satu kilometer saja.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.