Dari kacamata makro seorang penulis perjalanan, film A Walk in the Woods (2015) sebenarnya merupakan salah satu cermin yang pas untuk menggambarkan sebuah perjalanan impian. Sukses menjadi penulis dan tinggal hampir dua dekade di Inggris, Bill Bryson (Robert Redford) memutuskan pulang ke kampung halamannya di New Hampshire, Amerika Serikat. Ia mengajak istri tercintanya, Catherine (Emma Thompson).
Suatu ketika, mulanya, Bill ingin melakukan perjalanan gila sendirian sejauh kurang lebih 2.000 mil di jalur terkenal, yaitu Appalachian Trail. Pendakian tersebut membentang dari Georgia dan Maine. Catherine jelas marah dan tidak setuju atas ide suaminya, tetapi akhirnya luluh ketika Bill sepakat akan mencari dan mengajak teman seperjalanan.
Bill pun menghubungi banyak kawannya untuk ikut, tetapi kebanyakan menolak ajakannya. Tiba-tiba, seorang sahabat lamanya, Stephen Katz (Nick Nolte) menghubungi dan menawarkan diri untuk pergi bersama Bill. Catherine sebal dan hampir saja mencak-mencak, karena riwayat Stephen sebagai tukang selingkuh di masa lalunya. Namun, lagi-lagi Catherine (terpaksa) menyetujuinya karena Bill mengingatkan kesepakatan keduanya tentang keharusan mencari rekan bepergian.
Perjalanan kedua aktor veteran itu tidak berjalan mulus. Selain perbedaan fisik dan semangat—Bill yang bugar dan passionate versus Stephen yang payah dan kecanduan alkohol—ada saja rintangan dan masalah yang merentang. Sampai akhirnya pada satu titik Bill dan Stephen merasa lelah, lalu sepakat untuk berhenti dan pulang ke rumah masing-masing.
Kombinasi komedi-petualangan
Genre yang diusung film ini cukup unik. Ken Kwapis menggabungkan unsur komedi dan petualangan sebagai ruh utama. Tak hanya itu. Sutradara Sesame Street Presents: Follow That Bird (1985), The Sisterhood of the Traveling Pants (2005), dan He’s Just Not That Into You (2009) tersebut, bersama John Bailey yang duduk di kursi sinematografi, juga lumayan berhasil dalam menghadirkan keindahan lanskap Appalachian Trail. Sangat khas Amerika.
Memasang aktor kawakan Robert Redford dan Nick Nolte sebagai duet dalam film juga sebenarnya merupakan ide cerdas. Keduanya menunjukkan semangat yang meledak-ledak, meskipun agak aneh, dalam hubungan pertemanan dan perjalanan. Interaksi dan komunikasi yang terbangun, serta kepribadian yang bertolak belakang, kerap menghasilkan polah yang kocak dan mengundang gelak tawa.
Sebagai contoh, adegan Bill dan Catherine yang pergi ke bandara untuk menemui Stephen. Sang kawan lama itu tampak memiliki fisik yang kurang bugar dan agak kelebihan berat badan. Langkahnya yang grusa-grusu menyebabkan pria bertopi itu tersandung ketika turun dari pesawat. Namun, seketika ia seperti merasa tidak mengalami masalah begitu melihat Bill dan Catherine, lalu memeluk keduanya. Kejadian tersebut memberikan pesan bahwa perjalanan selanjutnya akan penuh kekacauan.
Saya juga terkekeh-kekeh melihat kelakuan-kelakukan konyol lainnya, terutama Stephen yang cukup sering menciptakan keributan. Salah satunya ketika bapak tua itu sempat-sempatnya menggoda wanita yang ia temui di binatu, padahal wanita tersebut sudah bersuami. Tak pelak si suami memburu ke motel tempat Bill dan Stephen menginap di suatu kota, di tengah-tengah perjalanan, yang memaksa keduanya harus melarikan diri melalui jendela.
Namun, di sisi lain Ken Kwapis juga menghadirkan obrolan-obrolan hangat di antara Bill dan Stephen. Termasuk ketika mereka mendapati diri sedang di tepi tebing dan memandang panorama alam yang mengagumkan. Mereka segera berhenti untuk beristirahat, lalu membicarakan masa lalu Stephen sebagai pecandu alkohol dan perjuangannya untuk sembuh dari ketergantungan. Ia menunjukkan Bill sebotol bourbon di dalam tas. Stephen memberi tahunya sebagai pengingat bahwa ia bisa minum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya.
Pelajaran terbesar
Jika saya harus memilih adegan dan dialog terbaik dalam film ini, itu adalah ketika Bill dan Stephen terjatuh dari tebing pendek dengan jurang yang menghadap sungai di bawahnya. Kondisi tersebut menjebak keduanya. Mereka tidak bisa naik dan melanjutkan pendakian, apalagi turun. Mereka pun terpaksa bermalam dan bertahan dari dingin dengan perlengkapan seadanya. Menunggu keajaiban di keesokan paginya.
Malam itu, langit ternyata cerah. Bertabur bintang. Beralas batuan tebing keras, di balik selimut sleeping bag yang menghangatkan, Bryson dan Katz saling mengobrol membahas pemandangan mengagumkan itu.
Stephen: Apakah menurutmu ada orang lain yang memandangi taburan bintang di langit yang sama?
Bill: Entahlah.
Stephen: Aku seperti melihat jutaan bintang.
Bill: Mata telanjang kita dapat melihat dua ribu bintang.
Stephen: Berarti aku hebat bisa melihat jutaan.
Bill: Alfa Centauri adalah bintang terdekat dengan kita, jaraknya 4,5 tahun cahaya.
Stephen: 4,5 tahun? Tidak jauh.
Bill: 1 tahun cahaya sama dengan 10 triliun kilometer. Berarti sekitar 40 triliun kilometer. Ada triliunan bintang di galaksi kita, lebih banyak dari pasir di bumi.
Stephen: Itu besar.
Bill: Ya, kita yang kecil.
Menyaksikan adegan tersebut, saya merasa tervalidasi atas posisi kita sebagai penghuni bumi ini. Di balik ego yang selalu penuh dengan ambisi-ambisi—baik itu tentang hidup maupun karier—ternyata ada pemahaman mendalam betapa tak berdayanya manusia di tengah-tengah alam semesta. Dalam pandangan saya, Bill dan Stephen sejatinya menemukan makna perjalanan yang sebenarnya, meskipun (harus) mengalami “musibah” tak terduga.
Mungkin seperti itulah kita dalam perjalanan hidup. Menyintas batas waktu. Pelan atau cepat, suatu saat akan menyadarinya.
Eksekusi agak kaku untuk sebuah film perjalanan
Sebagai sebuah adaptasi buku dan biografi perjalanan yang terinspirasi dari kisah nyata, sejatinya film ini secara umum memiliki skenario yang cukup unik dan tidak terlalu datar. Sinematografinya pun lumayan memanjakan mata dengan bentang alam di Appalachian Trail. Namun, ada sejumlah catatan yang membuat A Walk in the Woods kebanyakan mendapat nilai rata-rata (biasa) saja di banyak kritikus film.
Reputasi Robert Redford sebagai peraih Oscar, pun Nick Nolte yang pernah menjadi nominator Academy Awards, kurang bisa mengangkat alur film secara maksimal. Eksekusi sang sutradara dalam menerjemahkan cerita terkesan kurang cair. Perjalanannya cukup ramah dan hangat, bahkan lucu, tetapi bagi sebagian pejalan atau pendaki profesional, mungkin terasa agak kaku. Kekakuan ini tersirat dalam beberapa lelucon yang kurang familiar atau situasi canggung beberapa pemain, sehingga kadang terlalu mengaburkan perasaan kagum penonton pada keindahan lanskap alam.
Josh Trayer, seorang kritikus film dari The Forgetful Film Critic, lebih detail mengkritik beberapa detail yang saya kurang begitu mengenal budaya atau tren di Amerika pada zamannya, yaitu akhir tahun 1990-an. Salah satu yang ia singgung adalah adanya adegan karakter Mary Ellen (Kristen Schaal) saat menyanyikan lagu hit, seperti “Get Lucky” oleh Daft Punk, yang sebenarnya rilis jauh setelah latar waktu film ini. Josh mempertanyakan pengabaian riset untuk materi tersebut kepada pembuat film.
Selain itu, pengembangan cerita untuk persiapan Bill dan Stephen sebelum melakukan perjalanan bersama terkesan tergesa-gesa. Terutama untuk memenuhi perlengkupan mendaki yang mereka perlukan. Keberadaan Dave (Nick Offerman) yang muncul amat singkat sebagai karyawan toko outdoor REI tidak membantu apa pun. Padahal elemen ini sangat penting untuk memberi edukasi kepada penonton agar mempersiapkan perjalanan ke alam bebas dengan matang.
Meskipun demikian, menurut saya film ini masih cukup baik dan menghibur untuk ditonton. Terdapat beberapa adegan dan dialog yang relevan, sekalipun penontonnya bukan berasal dari kelompok yang hobi bertualang. Sisanya kita akan tergelitik melihat kekacauan oleh dua sahabat lama yang sudah berumur—termasuk cara mereka menghalau beruang grizzly—dan melakukan perjalanan bersama-sama.
Judul Film: A Walk in the Woods
Sutradara: Ken Kwapis
Produser: Robert Redford, Bill Holderman, Chip Diggins
Produksi: Route One Films, Wildwood Enterprises
Distributor: Broad Green Pictures
Tahun: 2015
Penulis Naskah: Rick Kerb, Bill Holderman
Pemain: Robert Redford, Nick Nolte, Kristen Schaal, Nick Offerman, Mary Steenburgen, Emma Thompson
Sinematografi: John Bailey
Genre: Adventure, Biografi, Komedi
Durasi: 1 jam 44 menit
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.