Sudah 22 tahun lamanya aku tidak berada di tanah ini. Sepanjang jalan kucoba mengingat kembali memori-memori yang kupunya.
Tukang ojek mengajakku bicara, dan dia tak percaya bahwa sudah selama itu aku tak pulang. Logat Ambon milikku masih kental. Alamat rumahku masih kuingat dengan benar. Hangat dan aroma laut dari atas aspal ini masih sama, meskipun dulu jalan yang biasa kulalui tidak selebar dan terasa sesingkat ini.
Dulu, dari Bandara Pattimura Ambon ke Desa Galala, di mana rumahku berada, membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sekarang, perjalanan tidak lebih dari 20 menit, sebab sudah ada Jembatan Merah Putih yang diresmikan Presiden Jokowi hampir dua tahun lalu yang memotong perjalanan panjang itu.
Dan, ya, persis di bawah jembatan itulah rumahku, rumah pinggir pantai di teluk kecil di Desa Galala, Poka, Ruma Tiga.
Perahu-perahu layar hampir tak ada. Kalaupun ada, hanya satu-dua saja. Itu pun hanya perahu kecil dengan semang. Pantai depan rumahku pun sudah menjauh karena dikeringkan untuk dijadikan tempat menancapkan pilar-pilar gagah jembatan. Kapal-kapal ferry nasibnya sama saja. Bahkan ada beberapa yang kandas.
Kenangan di bawah pohon ketapang
Pohon ketapang penuh kenangan tempatku bermain enggo lari dan benteng sudah sangat besar.
Penuh hangat dan kasih sayang, para tetangga memeluk kedatanganku. Seketika aku kembali menjadi Cornely van Capelle, nama kecil yang dulu diberikan kepadaku sebagai tanda bahwa aku sudah sepenuhnya menjadi anak Timur.
Masih seakan mimpi dapat bertemu mereka kembali. Teringat kembali “papa mamaku” di sini, yang mengantar, menjemput, dan menggendongku ke sekolah 20 tahun silam.
Saat lebaran tiba, empat mama akan sudi datang membantu memasak ketupat, opor, gulai untuk kami. Sebaliknya, menjelang Natal tiba, ibuku pun melakukan hal yang sama. Ia ganti ikut memasak di sebelah rumah. Walaupun kami berbeda keyakinan, tidak ada yang berubah, dan tidak ada yang berbeda dari cinta kami semua. Semua “Pela Gandong.”
Aku pindah ke Bali dua tahun sebelum kerusuhan Ambon. Papa dan mama bercerita tentang kerusuhan yang konon dipicu masalah SARA itu, sambil menunjukkan tempat-tempat bekas kebakaran yang mengharuskan mereka mengungsi ke Kodam di Halong.
Kisah-kisah itu sungguh tak bisa dinalar. Aku tahu betul bagaimana perbedaan justru bisa membuat kami terus bersaudara dan saling menyayangi.
Pemulihan setelah kerusuhan juga cukup lama, termasuk untuk mengembalikan harmoni kehidupan. Kemudian, sepuluh tahun pascatragedi itu, dibangunlah Monumen Gong Perdamaian sebagai simbol berdirinya kembali toleransi di Indonesia.
Aku masih tak bisa membayangkan kerusuhan itu. Kenangan Ambon bagiku adalah memori tentang pohon ketapang tempatku berlarian bersama kawan-kawan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.