Bukan Sekadar Mengumpulkan Buku untuk Papua

Buku untuk Papua (BUP) dimulai Dayu Rifanto secara tidak sengaja. Pemuda kelahiran Nabire itu nekat menggalang donasi buku setelah menerima telepon dari Longginus Pekei, kawannya yang jadi guru di SMA Adi Luhur Nabire.

Ceritanya, Longgi, panggilan akrab Longginus Pekei, yang kala itu sedang merintis komunitas untuk anak-anak putus sekolah, tiba-tiba keruntuhan ide: membangun perpusatakaan. (Sebelumnya, Longgi sudah membuat kolam ikan.) Perpustakaan tentu perlu buku. Entah angin apa yang sedang berhembus waktu itu, Longgi malah mengontak Dayu.

Saat Longgi menghubunginya, Dayu sedang berkutat dengan tesis gelar master yang diambilnya di Universitas Diponegoro Semarang. Karena tinggal tesis, ketimbang ngekos di Semarang ia lebih memilih tinggal di rumah saudaranya di Yogyakarta, kota tempatnya menempuh studi sarjana—dan kota komunitas.

Dayu tak ragu-ragu membantu Longgi menggalang Buku. Bertahun-tahun tinggal di Pulau Jawa mengajarkannya bahwa orang-orang di sana tampaknya gampang sekali menggalang sesuatu, termasuk buku. Kalau mau berusaha sedikit, pastilah buku-buku untuk komunitas Longgi itu akan terkumpul.

buku untuk papua

Salah satu “talkshow” tentang Buku untuk Papua/Dayu Rifanto

Dayu pun mempelajari metode penggalangan buku lewat internet secara otodidak. Ia mulai menyelami media sosial komunitas-komunitas penggiat pendidikan dan literasi, seperti Indonesia Bercerita, Indonesia Mengajar, Taman Baca Pelangi Nila Tanzil, Akademi Berbagi, dan lain-lain. Ia pun mengajak kawan-kawan lain untuk bergerak.

Ternyata menggalang buku tak semudah membalikkan telapak tangan. Memulai kampanye April 2012, sampai akhir September belum banyak buku yang terkumpul. Dayu dan kawan-kawan sesama relawan pun berdiskusi. Mereka sepakat bahwa nama gerakan mereka mesti lebih spesifik. Tercetuslah nama akun twitter @Bukuntukpapua.

Setelah mengganti nama, nasib baik akhirnya berhembus ke BUP. Rumah Baca Panter di Depok bersedia mendonasikan sekitar 500 buku. Akhirnya, Desember 2012 BUP melakukan pengiriman perdana sekitar 1000 buku ke Nabire dengan kapal laut. Ongkos kirimnya, sekitar Rp 1,5-2 juta, berasal dari dompet Dayu pribadi. (Semakin ke sini biaya kirim semakin murah. PT Pos Indonesia bahkan menyediakan Free Cargo Literacy setiap tanggal 17 tiap bulan.)

Pernah ada 15 komunitas Buku untuk Papua di berbagai kota

Di masa jayanya, BUP pernah punya 15 komunitas di berbagai kota di Indonesia. Relawan ramai dan berbagai kegiatan penggalangan buku tak henti-henti diadakan. Namun, lama-lama gairah berkomunitas semakin surut sehingga jejaring komunitas Buku untuk Papua tidak lagi sebanyak dahulu.

“Dulu BUP bergeraknya dengan membuka komunitas di berbagai kota di mana ada relawan (yang) mau bikin komunitas jejaring BUP,” jelas Dayu dalam wawancara via surel. “Tetapi semenjak dua tahun (ke belakang) ini sudah tidak seperti itu lagi.”

Kini galang donasi dilakukan sendiri secara terpusat oleh BUP, bekerjasama dengan kawan-kawan yang satu ide. Dua bulan terakhir ini, misalnya, Buku untuk Papua berkolaborasi dengan Rumah Kata Sorong untuk mengampanyekan penggalangan donasi buku.

buku untuk papua

Anak-anak di Rumah Kata Sorong/Rumah Kata Sorong

“BUP tugasnya menghubungkan mereka (para pengelola taman bacaan) dengan donatur buku dan selanjutnya (tugas kami adalah melakukan) kampanye literasi,” tambah Dayu.

Namun BUP juga akan menyambut dengan gembira jika ada orang yang berminat menjadi relawan. Hanya saja, proses rekrutmennya lumayan ketat.

Alasannya, menurut Dayu, “(karena aktivitas) di BUP bukan hanya galang donasi buku tetapi sekaligus mengampanyekan literasi di Papua, sehingga ada kerja-kerja menulis konten yang perlu dikuasai oleh relawan.” Tidak jarang pula relawan harus mendatangi narasumber dan melakukan wawancara.

BUP cenderung mencari orang-orang yang bersedia menjadi relawan dalam jangka panjang. “Yang terbaru BUP dibantu oleh Herman Degei untuk menjadi relawan BUP selama 6 bulan (untuk) membantu kerja-kerja dari BUP,” lanjut Dayu.

Membantu yang mau dibantu

Sejak 2012, tentu sudah tak terhitung jumlah buku yang berhasil dihimpun dan dikirimkan Buku untuk Papua ke pulau di ujung timur Indonesia itu. Bulan ini BUP sedang membantu TBM Paniai Timur untuk galang donasi—dan ini adalah galang donasi yang ke-40!

Jumlah rumah baca yang sudah dikirimi buku oleh BUP saja, menurut data Dayu, mencapai 40 rumah baca. “Data ini sebenarnya bisa lebih (banyak),” ujar Dayu. “Tetapi saya menggunakan data minimal saja karena misal satu komunitas yang kami bantu (saja) bisa membuat lebih dari dua rumah baca.”

Selain rumah baca komunitas, ternyata @Bukuntukpapua juga menyalurkan donasi buku bacaan ke titik-titik literasi lain, seperti perpustakaan sekolah, perpustakaan komunitas, TBM (Taman Baca Masyarakat), dan lain-lain.

Kondisi terkini rumah baca-rumah baca itu pun beragam. Banyak yang masih terus beroperasi sampai sekarang, tapi ada pula yang bubar jalan karena berbagai alasan. Keberlangsungan sebuah rumah baca memang sangat bergantung pada para pengelolanya. Kalau pengelolanya bersemangat, tentu saja gerakan penggalangan buku untuk rumah baca yang mereka urus tidak akan berhenti.

Dayu mencontohkan sebuah komunitas di Sorong yang bernama Komunitas SobatBUPSorong. Dulu di sana tidak ada ruang baca. BUP mengirimkan buku-buku hasil donasi dan membantu memperluas jaringan komunitas tersebut. Sekarang, mereka malah asyik mengelola empat ruang baca dengan segala dinamikanya.

@Bukuntukpapua tidak cuma membagikan ikan. Lebih dari itu, ia menyediakan kail bagi ruang-ruang baca yang ada di Papua dengan cara membukakan jaringan seluas-luasnya. “Jadi BUP membantu mereka yang mau dibantu,” kata Dayu.

Jadi sekrup kecil roda literasi Papua

Bagi Dayu, gerakan @Bukuntukpapua bukan sekadar gerakan mengumpulkan buku untuk Papua. Lebih dari itu, ini diharapkan bisa menjadi sekrup kecil yang akan membuat roda literasi Papua berjalan seperti di daerah-daerah lain. BUP adalah pemicu yang akan memancing dampak yang jauh lebih masif.

Menurut penuturan Dayu, tingkat buta huruf di Papua tahun 2012 menurut data BPS berada di kisaran 39%. Menariknya, menurut cerita yang didapat Dayu dari jejaring-jejaringnya di dunia ruang baca Papua, tingkat buta huruf ini justru berbanding terbalik dengan minat baca yang sebenarnya tinggi. Persoalannya adalah ketersediaan bahan bacaan itu sendiri.

“Ada yang bilang kita punya buku banyak di perpustakaan tapi tidak ada anak yang mau datang baca. Setelah dicek ternyata isinya buku pelajaran kebanyakan. Ya, saya juga tra mau kali baca buku pelajaran,” tutur Dayu.

buku untuk papua

Kegiatan membaca dan menulis di Rumah Baca Kasimle/@rumahbaca_kmpkasimle

@Bukuntukpapua juga diharapkan dapat berkontribusi terhadap ekosistem literasi di Papua agar menjadi lebih baik. “Jadi kemudian akan meningkat jumlah buku yang diterbitkan oleh penulis dari Papua, ada peningkatan penulis dari Papua, ruang baca bertambah di Papua, harga buku bisa semakin murah dengan kualitas meningkat di Papua,” ungkap laki-laki berkacamata ini panjang lebar.

BUP bahkan sudah punya penerbitan sendiri yang diberi nama Papua Cendekia. Ke depannya penerbit ini diharapkan dapat menjadi salah satu tiang yang menopang gerakan BUP sekaligus mengakselerasi perkembangan literasi di Papua.

Papua Nugini dijadikan Dayu sebagai perbandingan. “PNG (Papua Nugini) misalnya … sejak 2011 (mereka) punya penghargaan untuk para penulis di PNG dengan nama Crocodile Prize Award. Di Papua (apakah ada)?”

Kaka Dayu punya mimpi bahwa suatu saat di Papua akan ada sebuah kota cendekia seperti Yogyakarta, yang di sana banyak penulis dan penerbit dari kalangan muda yang bukunya laris manis di pasaran, ada juga kampung buku, dan lain sebagainya.

Pernah diancam dan diintimidasi

Pemuda berkepala tiga ini sadar betul bahwa jalan buku tak ubahnya seperti jalan pedang—tajam. Kalau tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin jalan itu malah akan menyayat-nyayat kaki sehingga orang yang menjalaninya terpaksa harus berhenti.

Meskipun banyak yang berempati, tidak sedikit pula yang tak setuju dengan gerakan yang dilakukan Dayu Rifanto.

Sekali waktu ia pernah dihubungi seseorang via Facebook. Orang itu menasihatinya agar tidak terlalu menggebu-gebu saat kampanye membantu membuat ruang baca di Papua. Kata orang itu, sebagai yang lebih dulu membuat gerakan serupa di Papua ia sendiri saja tidak menggebu-gebu seperti itu. “Ini jadi masukan baik buat saya,” ungkap Dayu.

buku untuk papua

Depan Rumah Baca Kasimle setelah mengikuti lomba literasi/@rumahbaca_kmpkasimle

Pernah juga ada yang secara frontal mengintimidasi dengan menuliskan di media sosial bahwa ia ingin memukul Dayu karena menggalang donasi.

Tapi Kaka Dayu menikmati proses-proses yang dialaminya. “Akhirnya saya tahu di mana passion saya, apa alasan saya hidup. Saya pikir sa menemukannya karena tidak sengaja berlabuh mengerjakan BUP ini. Hal lainnya adalah (saya) bisa membantu teman-teman menemukan passion-nya juga, terutama teman-teman dari Indonesia timur yang mungkin terinspirasi dengan apa yang sa buat.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar