ARAH SINGGAHINTERVAL

Menanti Petronela-Petronela Baru, Penjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa

Terimpit oleh pembangunan kota, Kampung Enggros berusaha mempertahankan wilayah adatnya. Fokus pada pemberdayaan perempuan dan regenerasi anak usia dini.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Penyunting: Mauren Fitri ID
Foto: Deta Widyananda


Menanti Petronela-Petronela Baru, Penjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa
Kampung Enggros berdiri di atas laut Teluk Youtefa, benteng terakhir Hutan Perempuan di Kota Jayapura

Sebagaimana lumrah terjadi di Papua, perempuan tidak mendapat tempat atau tidak berhak untuk membicarakan adat. Budaya patriarki masih sangat kental. Tak terkecuali Kampung Enggros, Jayapura. Namun, kebijaksanaan ondoafi (pemimpin masyarakat adat) di masa lampau seolah memberi ‘kompensasi’ menarik. Para tetua memberikan kawasan hutan mangrove dan lamun kepada penduduk perempuan, agar para mama punya wadah untuk bersuara dan diberi hak menjaga hutan sampai saat ini.

Di kampung yang berada di pinggiran Kota Jayapura, berdiri di atas perairan Teluk Youtefa, kelompok perempuan memiliki tempat khusus untuk berekspresi. Mama-mama komunitas adat Tobati–Enggros di Kampung Enggros menyebutnya Hutan Perempuan. Sebuah kawasan mangrove yang rimbun, yang tidak bisa (terlarang) dijangkau oleh kelompok pria. Ruang demokrasi para mama untuk mengaktualisasikan diri.

“Dia (Hutan Perempuan) jadi dapur bagi kami, jadi tempat pendidikan bagi kami. Itulah tempat kami bercerita,” terang Petronela Meraudje (44), aktivis perempuan dan lingkungan Kampung Enggros. Hampir setiap hari, Mama Nela—sapaan akrabnya—bersama mama-mama di kampung menyisihkan waktu untuk berkegiatan di dalam Hutan Perempuan.

Dalam bahasa masyarakat Enggros, kegiatan ke Hutan Perempuan disebut tonotwiyat. Tonot berarti hutan bakau, sedangkan wiyat semacam seruan atau ajakan, sehingga tonotwiyat adalah sebuah ajakan untuk masuk ke hutan mangrove khusus untuk mama-mama. Saat di dalam hutan, para mama biasa menanggalkan pakaian lalu membenamkan tubuh ke dalam air setinggi dada, mencari bia noor (kerang) di sela-sela akar bakau atau dasar perairan dengan jari-jari kaki. Terkadang juga berburu siput, udang, kepiting, maupun kayu bakar yang sudah kering. Sembari mencari bahan pangan untuk diolah di rumah, mereka kerap berbagi keluh kesah, bertukar cerita, bahkan bersenandung. Belakangan mereka tetap memakai baju saat di dalam Hutan Perempuan karena alasan keamanan.

Namun, tradisi khusus mama-mama itu menghadapi tantangan dari tahun ke tahun. Pembangunan kota yang pesat hingga pembalakan liar mencerabut sepetak demi sepetak hutan mangrove. Padahal, mangrove dan kawasan laut Teluk Youtefa menjadi sumber penghidupan kampung yang 75 persen warganya berprofesi sebagai nelayan.

Untuk menghadapi persoalan tersebut, Mama Nela memutuskan jalan hidupnya, yakni sebagai aktivis lingkungan sekaligus penggerak ekonomi berbasis masyarakat. Iya meyakini pelestarian ekosistem mangrove Hutan Perempuan tidak hanya cukup dengan aksi lingkungan, tetapi juga pemanfaatan hasil ekonomi yang ramah lingkungan.

Menanti Petronela-Petronela Baru, Penjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa
Petronela Meraudje dengan latar belakang Kampung Enggros, Hutan Perempuan, dan Jembatan Holtekamp di Teluk Youtefa, Kota Jayapura

Gerakan kolektif demi menjaga hutan yang tersisa

Hutan Perempuan yang terlihat saat ini sepintas tampak hijau dan rimbun. Namun, faktanya ekosistem mangrove tersebut telah menyusut signifikan lebih dari 50 persen dalam waktu 50 tahun tahun. Akademisi Jurusan Kelautan dan Perikanan Universitas Cenderawasih John Dominggus Kalor mengungkap, dari total luasan 514,24 hektare pada 1967, turun jauh lebih dari separuhnya menjadi 233,12 hektare pada 2018.1 Lautnya pun ikut terdampak karena pencemaran yang terjadi di empat sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa. Penyebab kerusakan ekologi ini antara lain pembangunan infrastruktur perkotaan, pengembangan destinasi wisata yang tidak berkelanjutan, serta sampah-sampah rumah tangga dan industri (terutama dari Distrik Abepura dan sekitarnya).2

Hingga kini belum terdapat data terbaru yang valid tentang luas tutupan mangrove Teluk Youtefa. Namun, dari pengamatan Petronela selama lebih satu dekade terakhir, Hutan Perempuan sudah semakin berkurang drastis. Apa yang terlihat saat ini, sebanyak itulah yang bertahan menyintas waktu. Jika dilihat dari udara, kanopi-kanopi hutan mangrove Kampung Enggros begitu kontras dan seolah tak berdaya dengan keberadaan Jembatan Merah Holtekamp (Jembatan Youtefa) yang kaki-kakinya memancang laut.

Bertha Sanyi, seorang mama yang tinggal di Enggros, mengungkap sejumlah penyebab penyempitan luas dan pencemaran Hutan Perempuan. “Sebagian [wilayah] Hutan Perempuan ini sudah dibangun menjadi jalan. Terus [masalah] sampah,” ujar perempuan berusia 66 tahun tersebut.

Keprihatinan pada kian hilangnya hutan mangrove dan merosotnya kualitas lingkungan mendorong Mama Nela memilih jalan hidup yang tak biasa, pun tak mudah. Ibu rumah tangga itu tidak menempuh angan sepele layaknya seorang birokrat atau politisi, yang merasa akan memecahkan semua masalah jika berada di dalam sistem pemerintahan. Ia memilih turun tangan langsung, menceburkan kaki, bermandikan keringat dengan aktif bergerak dalam aktivitas konservasi sejak 2005 bahkan sampai sekarang.

  • Menanti Petronela-Petronela Baru, Penjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa
  • Menanti Petronela-Petronela Baru, Penjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa
  • Menanti Petronela-Petronela Baru, Penjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa

Pada 2018, Mama Nela membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Ibayauw, berisikan 15 perempuan atau mama-mama Enggros. Kelompok inilah garda terdepan penjaga Hutan Perempuan. Mereka tidak hanya merestorasi mangrove dan mencari sumber pangan keluarga, tetapi juga memanfaatkan potensi ekonomi sebagai sumber penghasilan tambahan. Selain Bertha Sanyi, Beberapa anggota aktif di antaranya Debora Sanyi (60), Mariana Hanase (52), dan Paula Hamade (54).

Seperti makna dari nama “Ibayauw”, yang berarti orang-orang pilihan, tangan magis mama-mama itu mampu memulihkan lima hektare hutan mangrove yang sebelumnya rusak. Bibit-bibit mangrove hasil budi daya berhasil tumbuh dengan baik. Tentu angka tersebut masih terlampau jauh dibandingkan ratusan hektare warisan leluhur yang rusak atau lenyap. Namun, setiap pohon yang ditanam sangat berarti daripada tidak menanam sama sekali. Mama-mama Ibayauw berharap kiprah mereka bisa menghentikan, atau setidaknya menyadarkan pihak-pihak tertentu yang masih menebang hutan mangrove di pesisir Teluk Youtefa.

Mama Nela mengakui, semangat swadaya memiliki keterbatasan. Perkembangan pembangunan kota saat ini juga menyulitkan jika harus memperluas area penanaman kembali mangrove seperti puluhan tahun silam. “Saya memilih untuk menjaga yang tersisa karena cuma itu yang ada,” kata alumnus Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia (Asmi) Jayapura itu, “biarkan dia tumbuh berkembang di situ karena itu dapur kami. Jangan rusak dapur kami, karena di situlah tempat kami hidup.”

Selain Ibayauw, Mama Nela baru-baru ini membentuk komunitas dan sekolah alam Monj Hen Wani—dalam bahasa Enggros bermakna perempuan yang berhati mulia. Tujuannya menyiapkan wadah regenerasi anak-anak, edukasi lingkungan, hingga perencanaan paket tur wisata Hutan Perempuan. Gerakan kolektif ini juga memiliki perhatian khusus pada sampah-sampah anorganik kiriman limbah perkotaan yang mengotori Teluk Youtefa, seperti aksi bersih-bersih dan mengolah sampah menjadi produk bernilai jual. 

Mama Nela tidak sendiri. Ia mengajak tiga perempuan Enggros untuk terlibat dan didapuk menjadi guru atau mentor anak-anak dalam sekolah alam. Banyak sukarelawan dari Kota Jayapura terkadang datang mendukung dan membantu kegiatan-kegiatan sekolah alam. “[Ini cara saya]memberikan sosialisasi, memberikan kesadaran, mengubah mindset mereka [tentang] bagaimana hidup kami tergantung dengan alam, [sehingga] kami yang harus menjaga alam itu,” ujarnya.

‘Karier’ panjang Mama Nela di bidang lingkungan membuatnya diganjar penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022.3 Hadiah prestisius terhadap sebuah dedikasi, yang mungkin melebihi kinerja KLHK itu sendiri. Namun, Mama Nela mengaku tidak akan berhenti menjadi aktivis sekalipun Kalpataru sudah tersimpan dalam genggaman.

“Itu (Kalpataru) bukan akhir dari sebuah pekerjaan [saya], tetapi menjadi tanggung jawab, beban yang besar untuk saya menjadi contoh [dan] memberikan motivasi kepada seluruh masyarakat yang ada di Indonesia, di Papua, [juga] Kota Jayapura, khususnya Kampung Enggros,” tegas Mama Nela, yang berkomitmen untuk terus bergerak menjaga Hutan Perempuan, menanam, melestarikan, dan juga memanfaatkannya. 

Menanti Petronela-Petronela Baru, Penjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa
Petronela (tengah, kaus biru) bersama anggota inti KTH Ibayauw: Mariana Hanase (paling kiri), Bertha Sanyi, Debora Sanyi, dan Paula Hamade

Potensi ekonomi restoratif: dari pangan hingga kriya

“Tempat tinggal kami di kampung ini benar-benar di atas laut,” tegas Mama Nela. Baginya, Enggros memiliki sumber daya alam yang besar karena banyak ekosistem yang hidup di dalamnya. Ia menambahkan, “Kami punya lamun, ikan, kerang, kepiting, udang, dan sebagainya. Bagaimana kami memanfaatkan itu untuk menjadi nilai ekonomi yang bisa membantu kehidupan rumah tangga kami. Di situ kami belajar mengolah potensi alam yang ada.”

Terlebih, mama-mama Enggros punya metode yang unik dan ramah lingkungan dalam memanfaatkan hasil laut, khususnya di Hutan Perempuan. Misalnya, mencari dan menangkap kerang yang hidup di antara lumpur-lumpur di dasar air. Seperti yang dilakukan Paula Hamade. Hanya berbekal ember cat bekas, ia turun dari sampan dan menceburkan diri ke dalam air setinggi dada, tanpa alas kaki. “Kalau mau cari kerang, injakkan kaki di dalam air. Kalau sudah dapat, jepit dengan ujung kaki (jempol dengan telunjuk kaki), lalu angkat pelan-pelan ke atas baru ambil bia-nya dengan tangan,” jelas Paula memperagakan. Hasil tangkapan bia itu dikumpulkan di ember, lalu dibawa pulang ke rumah untuk dimasak.

Selain itu, tentu saja mangrove adalah bahan baku alami terbesar, yang tampak di depan mata, untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat Enggros. Di antara belasan spesies penyusun ekosistem mangrove Hutan Perempuan, pidada merah (Sonneratia caseolaris) termasuk yang paling diandalkan karena ‘serba bisa’. Buahnya berwarna hijau dan rasanya cenderung asam, bulat dengan ujung bertangkai, dan bagian dasarnya tertutup kelopak bunga. 

Dari satu jenis buah tersebut, KTH Ibayauw bisa mengolahnya menjadi beragam produk. Mulanya belajar secara otodidak, lalu kemudian mendapat pembinaan tambahan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Jayapura. Produk turunan pertama yang bisa dihasilkan dari olahan pidada merah adalah sirup. Proses produksi berlangsung padat karya, mulai dari mengupas, membersihkan, memblender, sampai dengan memasak. Satu botol sirup 200 ml dihasilkan dari lima kilogram pidada merah. Sisa produksi bisa menjadi bahan dasar untuk es krim dan selai, serta tepung sebagai bahan baku kue nastar. Produk-produk olahan lain yang dihasilkan dari buah-buah mangrove di antaranya abon, kopi, dan hand sanitizer

Buah pidada merah, bahan baku favorit dari hutan mangrove untuk olahan produk pangan, seperti sirup dan es krim mangrove

Sementara hasil laut, yang menjadi sektor paling dominan, juga diolah lebih kreatif daripada sekadar tangkapan mentah. Bersama BBKSDA Papua dan Dinas Perikanan, para mama mendapat pelatihan untuk mengolah ikan-ikan yang nilai jualnya tidak terserap pasar. Sejumlah produk yang dihasilkan antara lain abon ikan, camilan ikan rambutan, sambal ikan, kecap ikan, bakso ikan, dan keripik ikan.

Selain produk pangan, kelompok UMKM Kampung Enggros juga terampil membuat kerajinan tangan. Bahan bakunya tidak hanya dari buah-buah mangrove, tetapi juga sampah plastik yang tersangkut di Teluk Youtefa. Untuk mengolah limbah sampah tersebut, Mama Nela mendapat bantuan mesin pencacah dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua. Mesin ini membantu Mama Nela dan mama-mama anggota kelompok mengolah sampah menjadi aneka suvenir, antara lain gantungan kunci, tas, vas bunga, dan furnitur berbahan plastik. Produk-produk pangan dan kriya mama-mama Enggros biasa dijual di kampung, acara Car Free Day di Kota Jayapura, maupun pesanan dinas-dinas pemerintahan tingkat kota sampai provinsi.

Terlepas kemudahan akses media sosial dan jaringan internet, Mama Nela tetap menaruh asa pada perhatian pemerintah untuk lebih mengindahkan produk-produk lokal. “Kami [memang] butuh dukungan pemerintah yang lebih serius dalam mendampingi UMKM kami. Karena hari ini yang menjadi kendala bagi kami adalah pemasaran,” harap Mama Nela. Ia juga menekankan pentingnya pendampingan secara rutin dan berkala, serta proteksi produk lokal Papua oleh pemerintah agar perputaran ekonomi UMKM tetap berjalan.

Mama Nela menyadari, lima hektare hutan mangrove tersisa yang telah direhabilitasi adalah jantung utama Kampung Enggros saat ini. Begitu pun perairan Teluk Youtefa, tempat tumbuh Hutan Perempuan sebagai sumber penghidupan yang harus dilestarikan. Sebab, dengan begitu, Mama Nela dan mama-mama lainnya bisa memanfaatkannya menjadi produk-produk pangan yang bernilai, bergizi, dan bisa dikonsumsi oleh semua orang.

Tak terbayangkan mengelola tiga komunitas—yang ia ketuai sendiri—dan aktif menjalankan programnya masing-masing. Melihatnya saja melelahkan, tetapi nyatanya tak menyurutkan suar optimisme Mama Nela. Sebab, semua bermuara pada satu tujuan yang sama, menjamin eksistensi Enggros dan Hutan Perempuan di masa depan.

Menanti Petronela-Petronela Baru, Penjaga Hutan Perempuan Teluk Youtefa
Salah satu kesibukan Mama Nela di rumah, membuat produk-produk mangrove. Saat akhir pekan, ia akan membuka sekolah alam untuk menghelat pendidikan lingkungan, mencetak bibit-bibit penerus yang akan menjaga keutuhan Hutan Perempuan.

“Saya tidak pakai uang…”

Menanam mangrove tidak berhenti, kegiatan ekonomi terus berjalan. Kini, Mama Nela juga mencurahkan energi dan pikirannya untuk mendidik anak-anak PAUD melalui sekolah alam Monj Hen Wani. Sebuah ‘investasi pola pikir’ jangka panjang dengan melahirkan Petronela-Petronela baru di Kampung Enggros, mengkader generasi muda Tobati yang tangguh, berani, serta peduli adat dan lingkungan. Fondasi dasar sudah ia siapkan bersama para mama. Ada Hutan Perempuan yang harus dijaga, ada produk-produk UMKM yang akan terus dikembangkan.

“Itu (anak-anak PAUD) yang menjadi ujung tombak buat saya. Karena hari ini, [bahkan] mengubah mindset anak muda [sudah] sangat susah, tapi mendidik dan menanamkan pola pikir anak PAUD itu gampang. Dan itu yang saya lakukan sekarang,” tegas Mama Nela. Ia berpendapat, setiap hal baik dan buruk yang diajarkan sejak dini, akan terekam kuat sebagai doktrin bagi anak-anak, sampai mereka dewasa.

Ia mencontohkan anak-anak di kampung yang selalu melapor kepada dirinya kalau melihat ada orang buang sampah sembarangan. Mereka akan memarahi orang itu dan melarang untuk buang sampah ke laut, karena ikan-ikan di dalamnya bisa mati. Kebiasaan-kebiasaan kecil inilah yang sedang ditanamkan, dengan saling mengingatkan, ruang dan sumber hidup mereka akan terjaga. Satu kebiasaan baik yang terlatih, selanjutnya akan mengakar kuat sebagai prinsip dan menjadi budaya tersendiri. Kesaksikan ini meyakinkan Mama Nela karena ia telah melihat ada Petronela-Petronela lain yang mulai tumbuh. 

Di akhir pekan, Mama Nela mengajak anak-anak PAUD dan anak-anak Sekolah Minggu ke Pantai Ciberi untuk menghelat sekolah alam. Ia bersama para mama guru Monj Hen Wani membimbing anak-anak membuat dan menanam bibit mangrove, hingga mengumpulkan sampah-sampah anorganik dan mengolahnya menjadi produk-produk turunan yang bernilai ekonomi. Ia hendak mengajarkan bahwa setiap bibit mangrove yang ditanam pasti kelak akan menghasilkan sesuatu, lalu mereka akan menikmati hasilnya, seperti es krim mangrove. Saat ini telah terdaftar 66 anak di sekolah alam tersebut. Tidak hanya PAUD, jenjang SMP–SMA pun ada. 

“Saya tidak pakai uang. Itu cara saya mendidik mereka,” ungkapnya menjelaskan maksud membikin sekolah alam. Wadah itu ia buat menyenangkan dan edukatif, agar anak-anak mengerti betapa pentingnya menjaga mangrove, serta menghargai pentingnya pula sebuah proses panjang untuk memetik hasil baiknya di masa depan. “Saya selalu bilang, ‘kamu bisa hidup dari alam ini tanpa harus menggantungkan cita-cita menjadi pegawai negeri, [aparat] TNI dan Polri. Kalian punya sumber daya alam sangat luas [dan berlimpah]’.”

Mama Nela benar. Indikator sederhana dari kekayaan biota laut Teluk Youtefa terlihat setiap Jumat–Sabtu. Saat itu, ramai masyarakat dari Kota Jayapura berkunjung ke Enggros hanya untuk memancing. Situasi tersebut menandakan geliat ekonomi yang bisa mendongkrak penghasilan kampung. Ada masa depan cerah dari sektor wisata, khususnya memancing atau atraksi lainnya.

Mama Nela ingin kelak anak-anak Enggros bisa bangga dan hidup mandiri dengan mengelola kampung, mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri tanpa harus selalu merengek meminta bantuan dana pemerintah. Ia yakin, walau di awal hanya muncul 4–5 orang anak saja sebagai penerus potensial, lambat laun bisa menyebar, beranak-pinak sebagai pilar terdepan menjaga masa depan Enggros yang lestari. “Saya percaya [jika ada] niat baik, [dan] niat tulus, Tuhan pasti tolong,” pungkasnya.

Dalam doanya, semoga tidak butuh waktu terlalu lama untuk bisa melihat The Next Petronela. Semoga pula, Hutan Perempuan tetap bertahan untuk waktu yang lebih lama.


  1. Lutfy Mairizal Putra, “Restorasi Mangrove Teluk Youtefa Urgen”, EcoNusa, 2020, Desember 8, https://econusa.id/id/ecoblog/restorasi-mangrove-teluk-youtefa-urgen/. ↩︎
  2. Pradhipta Oktavianto, “Hutan Perempuan Teluk Youtefa yang Terancam Hilang”, ForestDigest, 2023, Agustus 18, https://www.forestdigest.com//detail/2378/hutan-perempuan-teluk-yotefa. ↩︎
  3. Pusat Pengembangan Generasi Lingkungan Hidup, “Petronela Meraudje: Penerima Penghargaan Kalpataru 2023”, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023, https://kalpataru.menlhk.go.id/informasi/profil-penerima/412. ↩︎

Foto sampul: Mariana Hanase (kiri) dan Bertha Sanyi menuntun sampan memasuki kawasan mangrove Hutan Perempuan untuk mencari kerang

Pada Agustus–September 2025, tim TelusuRI mengunjungi Merauke (Papua Selatan), Jayapura (Papua), serta Tambrauw dan Sorong (Papua Barat Daya) dalam ekspedisi Arah Singgah: Tanah Kehidupan. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah2025.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Avatar photo

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Nyala Terang Konservasi Bahasa Malind di Gudang Arang