INTERVAL

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara

Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45 km2 di Cianjur Selatan, Jawa Barat. 

Udara terasa sejuk, khas udara kawasan pegunungan. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda dari beberapa kunjungan saya ke Sukanagara sebelumnya. Di persimpangan Jalan Raya Sukanagara-Pagelaran-Kadupandak, Tugu Teh memang masih berdiri. Tugu tersebut merupakan sebuah monumen kecil yang dulu digadang-gadang menjadi simbol kebanggaan, bahwa Sukanagara adalah salah satu sentra teh terbaik di Kabupaten Cianjur. Tapi kini, warna tugu itu kian kusam, catnya mulai mengelupas, dan rumput-rumput liar tumbuh di sekelilingnya, seolah turut menyuarakan kegamangan zaman.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Tugu Teh di Sukanagara/Djoko Subinarto

Dari Teh ke Durian

Ditilik dari sejarah pendiriannya, Tugu Teh di Sukanagara bukan sekadar penanda lokasi semata. Ia dulunya semacam deklarasi identita: Sukanagara adalah kawasan teh. Sebuah kawasan yang menghasilkan ribuan ton teh setiap tahunnya, diekspor ke berbagai negara, dan menjadi bagian penting dari perjalanan agrikultur kolonial hingga pascareformasi. Tugu itu berdiri sebagai saksi atas masa-masa ketika teh bukan sekadar komoditas, melainkan juga simbol kejayaan ekonomi pedesaan, kebanggaan masyarakat lokal, dan bahkan menjadi bagian dari narasi nasionalisme agraria pascakemerdekaan.

Bertahun-tahun lamanya, Sukanagara lekat dengan teh. Namun, imaji itu serta-merta hilang tatkala saya mendengar penuturan Asep Doneng, pemilik penginapan tempat saya biasa bermalam setiap kali berkunjung ke Sukanagara. Asep mengatakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, Pasirnangka—kawasan perkebunan teh terluas di Sukanagara—sudah tak sepenuhnya ditanami teh. “Sebagian sudah ditanami durian,” ungkapnya.

Saya setengah tidak percaya dengan pernyataan Asep. Sejenak, saya membayangkan sebuah kawasan dengan hamparan teh yang hijau bergelombang, yang mirip lukisan lanskap dalam buku-buku pelajaran geografi, tiba-tiba telah disulap menjadi kebun durian.

Lantaran penasaran dan ingin membuktikan perkataan Asep, saya pun segera menuju Pasirnangka. Dan benar saja. Di sejumlah lahan, saya melihat sendiri bagaimana pohon-pohon durian berdiri kukuh di antara tanaman teh. Di beberapa titik, pohon durian bahkan telah sepenuhnya mendominasi, sementara pohon teh sudah tak terlihat lagi.

Lebih menyedihkan lagi, terdapat lahan-lahan yang dibiarkan kosong, ditumbuhi belukar dan ilalang, dengan batang-batang teh yang mati perlahan. Lahan-lahan itu seperti memancarkan kemurungan tentang pergeseran zaman.

  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara

Tekanan Ekonomi hingga Faktor Iklim

Tentu saja, kenyataan ini pasti tidak datang tiba-tiba. Bisa jadi karena akumulasi dari dinamika panjang, baik yang terkait dengan aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial. Mungkin ini yang disebut sebagai agrarian transition, yakni perubahan struktur ekonomi pedesaan akibat tekanan eksternal, seperti pasar global, perubahan kepemilikan lahan, hingga krisis iklim.

Sebagai ilustrasi, tekanan ekonomi terhadap teh sesungguhnya sudah terasa sejak beberapa tahun terakhir. Meskipun konsumsi teh global meningkat, data dari International Tea Committee menunjukkan bahwa harga teh, terutama teh hitam yang dominan dihasilkan di Indonesia, cenderung stagnan. Sementara itu, ongkos produksi terus naik. Dalam logika ekonomi, hal ini berarti margin keuntungan semakin tipis, adapun risiko kerugian semakin besar.

Di sisi lain, durian justru sedang menikmati masa keemasannya. Laporan Kementerian Pertanian tahun 2023 menyebut ekspor durian Indonesia meningkat signifikan, terutama ke Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Komoditas ini dianggap lebih menjanjikan secara finansial. Harga durian varietas unggul seperti musang king atau lokal unggulan seperti durian Pelipisan bisa mencapai ratusan ribu rupiah per buah. 

Namun, bisa pula agrarian transition ini dipicu pula oleh faktor ekologis. Faktanya, curah hujan semakin tidak menentu dan suhu semakin meningkat. Dampaknya, tanaman teh kian rentan terhadap penyakit dan penurunan produktivitas.

Sebuah studi dalam Journal of Agricultural Meteorology, seperti dikutip Yan et al (2021), mencatat bahwa peningkatan suhu global sebesar 1°C dapat menurunkan produktivitas teh hingga 20% di wilayah tropis. Pohon teh, yang dulu tahan banting, kini makin rapuh terhadap iklim yang berubah cepat.

Tak hanya itu, ada juga aspek kelembagaan yang mungkin turut berperan. Perkebunan teh dulunya dikelola secara terpusat oleh perusahaan BUMN atau swasta berskala besar. Namun, pascareformasi dan restrukturisasi BUMN, banyak lahan dikembalikan kepada petani penggarap. Dalam pengelolaan individu yang tidak terintegrasi, teh menjadi komoditas yang sulit dirawat. Panen yang padat tenaga kerja, harga jual yang fluktuatif, dan kurangnya insentif dari pemerintah membuat tanaman teh semakin tidak menarik.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Bekas lahan perkebunan teh yang kini ditanami durian/Djoko Subinarto

Dinamika Agrikultur

Sukanagara agaknya sedang berubah. Dan perubahan ini adalah bagian dari dinamika agrikultur Indonesia secara luas. Di banyak tempat, petani tengah berhadapan dengan dilema; bertahan pada komoditas lama yang mapan secara historis tapi makin tidak menguntungkan, atau beralih ke komoditas baru yang lebih menjanjikan tapi penuh ketidakpastian.

Mungkin, inilah waktunya bagi Sukanagara untuk berdamai dengan keadaan yang terus berubah. Tidak harus memilih antara teh dan durian, tapi justru mencari titik temu di antara keduanya. Memadukan yang lama dan yang baru, demi tetap menjaga warisan sekaligus merangkul masa depan.

Teh mungkin tak akan lagi menjadi “raja” di Sukanagara. Akan tetapi, saya yakin, Sukanagara tetap sebagai tanah yang subur, tempat di mana kisah-kisah baru dan harapan-harapan baru selalu bisa ditanam dan ditumbuhkan.


Referensi:

Badan Pangan Nasional. (2025, 20 Maret). Dorong Ekspor Durian ke Tiongkok, Badan Pangan Nasional Kawal Pemenuhan Standar Keamanan dan Mutu Pangan. Siaran Pers, https://badanpangan.go.id/blog/post/dorong-ekspor-durian-ke-tiongkok-badan-pangan-nasional-kawal-pemenuhan-standar-keamanan-dan-mutu-pangan. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Pramono, B.T. (2021). Current Status of Indonesian Tea Industry. World Green Tea Association (O-CHANET), https://www.o-cha.net/english/association/information/documents/20211019-CurrentstatusofIndonesianteaindustry.pdf. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Samudera, J., Daryanto, A., dan Saptono, I.T. (2017). Competitiveness of Indonesian Tea in International Market. Indonesian Journal of Business and Entrepreneurship 3(1):14-23. DOI: 10.17358/ijbe.3.1.14.
Xinhua. (2024, 27 Juni). Indonesia Bidik Ekspor Durian Senilai 8 Miliar Dolar AS ke China. ANTARANews, https://www.antaranews.com/berita/4170828/indonesia-bidik-ekspor-durian-senilai-8-miliar-dolar-as-ke-china. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Yan, Y., Jeong S., Park, C.E., Mueller, N.D., Piao, S., Park, H., Joo, J., Chen, X., Wang, X., Liu, J., & Zheng, C. (2021). Effects of Extreme Temperature on China’s Tea Production. Environmental Research Letters, 16 (2021) 044040. DOI: 10.1088/1748-9326/abede6.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Avatar photo

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu