“…dalam perkembangannya yang terseok-seok, Sastra Indonesia selama ini telah menerima banyak jasa dari media massa, khususnya koran dan majalah.”
—Ariel Heryanto1
Sekali ini kita hidup di masa koran yang sudah senjakala. Setidaknya demikianlah kabar-kabarnya. Hal ini jelas terasanya. Hanya dengan membuka ponsel, kita bisa memasukkan entri huruf-huruf sesuai keinginan untuk mengakses informasi, entah informasi itu sekadar di kecamatan tetangga, atau jauh di sana di Alaska. Oleh karena itu, kini jarang kita dengar pujian atau kekagetan pada kawan kita yang “masuk koran”. Hal itu kini biasa saja.
Sekali ini, saya hendak membicarakan soal sastra koran. Cukuplah kita sederhanakan sastra koran menjadi karya sastra yang terbit di koran. Dahulu, saat majalah Sastra masih eksis, HB Jassin menjelma paus sastra Indonesia, seperti pernyataan Hamsad Rangkuti. Siapa yang lolos dari HB Jassin, maka dia sah sastrawan.
Sedikit Soal Sastra Koran
Kemudian zaman beralih. Tibalah koran atau majalah yang menjadi penentu mutu suatu karya. Beberapa sastrawan senior, yang kini masih sering bergiat di komunitas-komunitas, tak dapat menyembunyikan gelagat kekaguman mereka ketika salah satu karya dari kawan saya dimuat di koran. Juga tak dapat mereka sembunyikan kekecewaan, semisal, dengan beralihnya Koran Tempo menjadi sepenuhnya digital dan banyaknya koran-koran yang mulai menghilangkan rubrik sastra atau menghilangkan honornya saja.2
Maka sekali ini kita hidup di masa koran yang sudah senjakala. Akibatnya tentu banyak sekali, dan dari aspek atau bidang yang sama sekali jauh dan berbeda. Dalam konteks sastra, saya rasa ini mendukung pernyataan Budi Darma soal kesepintas-laluan sastra kita.
Sebenarnya, kurang tepat juga bila dikatakan koran sudah senjakala. Pasalnya, beberapa media seperti Kompas, Jawa Pos, dan Tempo, dan lain-lainnya lagi, telah melakukan penyesuaian dengan mengadaptasi sistem berlangganan secara daring. Tentu saja hal tersebut turut kembali menghidupkan semangat sastra koran. Ditambah, majalah Kalam kini juga telah menjadi media daring yang bisa diakses kapan saja.
Tetapi lihatlah kerutan di pelipis para senior saya di komunitas itu. Dia begitu resah dengan merosotnya mutu karya yang dimuat media daring hari ini. Saya pun tidak tahu alasannya dan dengan apa saya dapat memperbaikinya. Sebab, bahkan sekarang ini pun saya menulis pun untuk media daring.
Dari mata para senior itu, tampaklah kecintaan berlebih terhadap kertas koran yang perca itu. Namun, apa boleh buat. Toh, nasib adalah kesunyian masing-masing,3 dan kita sama-sama tidak ingin berhenti sampai di sajak.4 Maka mari kita terima sepenuh rasa, sebab bisa jadi, kalian hanya mimpiku saja/ dunia dan seluruh semesta yang kukenali ini/ karang-karangan sederhana/ yang ditulis penyair setengah mabuk setengah ngantuk.5
Kedaulatan Rakyat
Sudah jalan tiga tahun saya tinggal di Jogja. Rasanya kota ini, dengan beberapa catatan, telah terpatri di sanubari sehingga dengan suka rela saya berani berkata: seperti kekasih aku pun enggan melepasmu. Sebab di kota ini aku merasa kembali dilahirkan, meski harus berebut tempat dengan kecemasan.6
Kemarin sore, saya mendengar kabar dari pihak Kedaulatan Rakyat (KR) yang membuat saya semalaman terjaga karena perasaan yang sulit dijelaskan. Maka pagi ini, saya segera bersiap-siap untuk pergi ke daerah Tugu. Kabarnya, selain mereka mau memuat cerpen saya yang belum apa-apa, mereka juga menyuruh saya untuk datang ke kantornya, untuk mengambil honor. Maka Kedaulatan Rakyat adalah seperti kenangan yang terus dihidupkan, tatkala sekarang ini, bahkan kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu dan kota dikepung minimarket 24 jam.7
Jujur saja, pagi itu, sedari keluar kos, melintasi jalanan Condongcatur, kemudian belok kiri ke Jalan Affandi, lantas sedikit masuk, mungkin sekitaran Cik Di Tiro, dan sampai di Tugu, bahkan sampai di bibir pintu kantor KR, saya rasakan udara yang jernih tanpa serbuk seakan Jogja tidak sedang darurat sampah sehingga dapat bernafas sepenuh tenaga sambil membusungkan dada. Kepada satpam yang bertanya, saya berkata sambil mengeluarkan koran yang saya beli kemarin sore, “Mengambil honor, Pak!” Lalu dia seakan lebih mempersilakan masuk meski saya tahu itu hanya di mata saya.
Di bagian keuangan, saya ulangi dialog yang meninggikan hati itu. Lalu saya dioper-oper dari loket tujuh ke tiga, kemudian ke tujuh dan kembali lagi ke tiga. Keruwetan administratif itu dengan ikhlas tulus hati saya jalani, sebab cerpen saya dimuat dan rasanya tiada yang lebih penting dari itu.
Dan inilah wajah masa lalu itu. Tentu masa lalu yang indah. Saya pun berfoto, dengan keyakinan: Tak semua kenangan bisa diulang.8
Setelah menerima uang, saya celingak-celinguk keluar, mencari-cari di manakah kedai mi ayam yang kabarnya makan di sana adalah ritual para penulis KR setelah menerima honor? Saat hendak mencarinya di Maps, saya dapati notifikasi dari media-media daring, yang membuat hati saya kacau, mengurungkan niat mi ayam, dan tak berani menengok nota atau kuitansi untuk mengetahui berapakah jumlah honor, juga pajaknya?
Catatan Kaki
- Sastra, Koran dan Sastra Koran oleh Ariel Heryanto, dimuat di Sinar Harapan, 12 Januari 1985. ↩︎
- Ruang Sastra, https://ruangsastra.com/alamat-email-redaksi-koran, diakses pada 19 Desember 2024. ↩︎
- “Pemberian Tahu” (1946), Chairil Anwar. ↩︎
- “Tidak Berhenti Sampai di Sajak!”, Indrian Koto dalam Pleidoi Malin Kundang (Yogyakarta: JBS, 2024). ↩︎
- “Mimpi”, Ibid. ↩︎
- “Yogya: Kelahiran Kedua”, Ibid. ↩︎
- Ibid. ↩︎
- “Perujumpaan”, Ibid. ↩︎
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.