Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di Lembah Grime berupaya mandiri ekonomi secara berkelanjutan lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri
Dari riwayat sejarah, sebelum adanya negara, seluruh tanah di Papua merupakan tanah ulayat atau tanah adat. Sebagaimana halnya suku Moi di Tanah Malamoi (Sorong), atau suku Tehit di Tanah Metamani (Sorong Selatan), suku Namblong juga menempati bagian Wilayah Budaya Mamta bernama Lembah Grime di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Nama Grime diambil dari salah satu sungai besar yang mengalir di kawasan tersebut dan tidak pernah kering. Selain Sungai Grime, juga terdapat Sungai Yenggu dan Sungai Muaif. Namblong merupakan suku besar yang mencakup 44 marga dengan populasi penduduk lebih dari 50.000 jiwa. Komunitas adat ini mendiami wilayah seluas 53.000 hektare (ha) di 31 kampung dan tiga distrik, yaitu Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong.
Berdasarkan keterangan Zet Manggo, perwakilan humas Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, seluruh marga tersebut tersebar ke dalam lima subsuku atau subwilayah berdasarkan kondisi geografis. Ktu Mai Ru, sebutan untuk orang-orang yang hidup di daerah rawa dan sagu berduri. Daerah tersebut kini ditempati oleh sebagian marga dan banyak kelompok transmigran. Jalan poros utama yang menghubungkan antara Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi juga dibangun melintasi wilayah dataran rendah ini. Fou Ru, yakni orang-orang yang mendiami dataran tinggi, mulai dari Nimbokrang Sari naik ke Nimboran melalui daerah Genyem kota (sebutan pusat kelurahan Genyem).
Lalu Banu Ru adalah orang-orang yang mendiami bagian timur wilayah Distrik Namblong, mulai dari Yakotim, Kaitemung, sampai Besum. Tabo, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah selatan perbukitan Tabo, Ombrob, hingga Yenggu. Daerah ini juga disebut dengan Perbukitan Selatan. Terakhir, Iwarom, yaitu orang-orang yang menempati wilayah perbukitan karang bercampur “iwarom” atau tanah merah “iwarom” di sebelah utara atau Perbukitan Utara dekat pesisir pantai.
Selain pemerintahan sipil yang mencakup kepala distrik (camat) dan kepala kampung (setingkat lurah), sistem pemerintahan adat juga masih dihormati di Namblong. Terdapat tiga unsur utama di dalamnya, yaitu Ondoafi atau Iram (tetua adat atau pemuka marga), Tekai (simbol pemangku aturan adat), dan Dunenskingwow (semacam humas pelaksana program adat).
Sebagai pemimpin marga, Iram berperan besar dalam menentukan batas-batas tanah ulayat untuk setiap keluarga dalam satu marga. Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat adat Namblong menghadapi tekanan pencaplokan tanah adat oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM), perusahaan kelapa sawit. Modusnya sama, yaitu pemalsuan tanda tangan kehadiran warga dalam acara sosialisasi plasma nutfah kelapa sawit, yang diubah sepihak sebagai dokumen persetujuan pembukaan lahan untuk diajukan ke Bupati Jayapura dan Menteri Kehutanan selama 2011–2014.
Sejumlah oknum keluarga marga ikut terseret karena tergiur uang cepat yang nilainya tidak seberapa dibanding warisan adat. Untuk melawan itu, selain melalui gerakan aktivis, masyarakat Lembah Grime membentuk unit bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Pembentukan dan pendampingan program BUMMA dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute. Konsep kepemilikan saham perusahaan oleh 44 marga menjadi pijakan kuat untuk mengikat pengelolaan sumber daya alam berbasis adat.
Kiri: Jalan nasional penghubung Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Beberapa distrik di sekitarnya telah berubah menjadi kawasan transmigrasi sejak zaman pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Kanan: Kondisi jalan kampung di Yenggu Baru, Nimboran. Masyarakat kampung umumnya menggantungkan sumber ekonominya pada hasil hutan yang dikelola secara ketentuan adat/Rifqy Faiza Rahman
Amanah daerah otonomi khusus dan filosofi Gerakan Menoken
Ambrosius Ruwindrijarto atau akrab disapa Ruwi (53), salah satu pendiri dan direktur eksekutif dari Mitra BUMMA dan Samdhana Institute, mengungkap inisiasi pendirian BUMMA di wilayah Namblong sejatinya merentang jauh 16 tahun ke belakang. Persisnya ketika pemerintah mengetuk palu, melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.
Peraturan perundang-undangan itu kemudian diterjemahkan dan dilaksanakan lebih implementatif dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua. “Keberadaan undang-undang dan Perdasus berlandaskan pada semangat dan kenyataan [yang mengakui] bahwa seluruh tanah Papua adalah tanah adat dan seluruh masyarakat Papua adalah masyarakat adat,” jelas Ruwi.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) turut memiliki andil dalam mengegolkan dan menindaklanjuti pengakuan legal formal tersebut. Selanjutnya dilakukan pemetaan, pengumpulan data etnografi, pengusulan dan verifikasi, sampai dengan penetapan pengakuan masyarakat dan wilayah hukum adat di tingkat provinsi maupun kabupaten. Di dalamnya, termuat salah satu ketentuan yang mengatur kewajiban masyarakat adat Papua untuk membangun badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Tujuan utama pendirian BUMMA bertujuan adalah untuk mengelola secara kolektif segala kekayaan dan segala sumber perekonomian di dalam wilayah adatnya.
Namun, setelah serangkaian perjuangan oleh masyarakat adat bertahun-tahun, langkah yang lebih progresif dan komprehensif baru dilakukan pada periode 2020–2021 ketika muncul inisiatif Gerakan Menoken. Sebuah program dari Samdhana Institute untuk penguatan kapasitas masyarakat adat Papua, khususnya suku Namblong di Jayapura. Penamaan “menoken” merupakan bentuk praktis dari noken, sebuah benda multifungsi yang diakui dunia sebagai warisan budaya. Bicara noken berarti bicara Papua, dan sebaliknya.
Noken tidak hanya sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga. Banyak masyarakat pun menggunakannya untuk membawa dan melindungi bayi. Selain itu, noken juga memiliki seperangkat nilai dan filosofi mendalam. Noken bermakna kelenturan (fleksibilitas), keterbukaan (transparansi), kebersamaan (persaudaraan), keterajutan (saling terhubung), keberdayagunaan, juga sebagai identitas dan perawat kehidupan.
“Noken itu seperti layaknya rahim, di mana ia mengkerut atau mengecil pada saat tidak ada isinya [tidak digunakan]. Tapi kalau ada isinya, maka ia akan menyesuaikan diri [mengembang], menyimpan, dan melindungi apa yang ada di dalamnya,” tutur Ruwi.
Melalui Gerakan Menoken, masyarakat diajak berdiskusi bersama. Duduk melingkar, sama rata. Tidak ada yang menonjol sebagai narasumber seperti lazimnya sebuah acara diskusi. Program ini lebih dari sekadar lokakarya biasa. Setiap orang berbagi informasi tentang isi noken miliknya, menerima pemberian dari isi noken orang lain, sampai menceritakan pengalaman-pengalaman seputar kehidupan sebagai masyarakat adat.
Di tengah rangkaian kegiatan, berikutnya muncul topik pembahasan mengenai tantangan-tantangan pengelolaan kekayaan alam dan budaya yang ada di masyarakat. Sebab, timbul kesadaran dalam menjaganya sebagai sumber penghidupan dan warisan untuk anak cucu. Semangat diskursus lalu berkembang sampai mengerucut dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk forum khusus dan resmi di tingkat masyarakat adat.
Pada 12 Oktober 2022, lahirlah BUMMA Yombe Namblong Nggua, dengan Yohana Yokbeth Tarkuo (29) didapuk sebagai direktur utama. Penetapan warga Kampung Berap, Distrik Nimbokrang itu, bersama pengurus struktural BUMMA lainnya, dilakukan secara adat. Kabar gembira ini mengiringi momen puncak penyerahan surat keputusan hutan adat oleh pemerintah saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Stadion Barnabas Youwe, Sentani, Jayapura (24/10/2022).
Melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah menetapkan tujuh hutan adat di Papua. Enam di antaranya berada di Kabupaten Jayapura, sedangkan satu hutan adat ada di Distrik Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat. Dari enam itu, empat hutan adat berada di Lembah Grime: 1) Hutan Adat Yano Wai di Kampung Singgriwai, Distrik Nimboran (2.593,74 ha); 2) Hutan Adat Yano Akrua di Kampung Yenggu Baru dan Yenggu Lama, Distrik Nimboran (2.177,18 ha); 3) Hutan Adat Yano Meyu di Kampung Meyu, Distrik Nimboran (411,15 ha); dan 4) Hutan Adat Yano Takwobleng di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang (404,9 ha).
Sisanya, menurut Nicodemus Wamafma alias Niko (49), General Manager BUMMA Yombe Namblong Nggua, akan diperjuangkan mendapatkan pengakuan yang sama. Sebab, memang sudah semestinya seluruh lahan di Lembah Grime merupakan wilayah hukum adat. Termasuk tanah-tanah transmigrasi, serta lahan-lahan yang dialihfungsikan perusahaan, seperti HPH industri kayu maupun Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.
Ruwi menegaskan, BUMMA berbeda dengan badan usaha milik kampung (BUMKam) atau desa (BUMDes). Selain memang menjadi “perintah” dari undang-undang, BUMMA lebih cocok diterapkan di kalangan masyarakat adat yang lebih kompleks. “BUMMA lebih berasas adat dan suku di Papua. Cakupannya lebih luas dan lebih bisa ‘melawan’ kapitalisme perusahaan besar,” tegas pria kelahiran Semarang itu.
Untuk itulah Mitra BUMMA bekerja sama dengan para Iram dan masyarakat untuk memperkuat struktur dan kelembagaan, serta memetakan fokus bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Salah satu keluaran BUMMA Yombe Namblong Nggua sebagai unit usaha adalah menghasilkan produk-produk ekonomi yang dikelola berbasis masyarakat. Tidak hanya mengakomodasi setiap marga, tetapi juga mengusahakan proses hulu-hilirnya berkelanjutan.
Mengutip pernyataan Yohana, sesuai arahan dan pendampingan Mitra BUMMA, serta berdasarkan hasil pemetaan potensi, fokus pengembangan ekonomi mengerucut pada komoditas vanili dan ekowisata. Meskipun sebelumnya masyarakat Namblong juga berkecimpung di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan—yang mana akan kelak juga akan menjadi fokus pengembangan di tahun-tahun berikutnya.
Para srikandi Namblong yang memiliki peran penting dalam pengembangan BUMMA Yombe Namblong Nggua, yaitu (berurutan) Yohana Yokbeth Tarkuo, Dorlince Yambeyapdi (bendahara BUMMA), dan Ribka Waibro (manajer divisi vanili BUMMA)/Deta Widyananda-Rifqy Faiza Rahman
Mandat berat menjaga hutan adat
Selain vanili dan ekowisata, restorasi hutan merupakan satu sektor penting yang menjadi fokus BUMMA. Terlebih PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih menunjukkan eksistensi di dekat kawasan hutan adat Yano Akrua, berbatasan dengan wilayah Beneik, Distrik Unurum Guay.
Sejarah upaya deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PNM di wilayah adat Namblong membentang cukup panjang, lebih dari sedekade lalu. Perusahaan yang tidak jelas alamat kantor dan struktur organisasinya itu—baik di Jayapura maupun Jakarta—mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong.
Padahal, izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Dengan kata lain, negara sudah melarang PNM melanjutkan operasionalnya. Namun, faktanya aktivitas PT PNM masih berjalan terang-terangan, seolah-olah ketetapan hukum selevel kementerian tidak bertaji.
Pembabatan hutan terus berlangsung. Pekik senso atau gergaji mesin, yang entah di mana sumber suaranya, terdengar meraung-raung dari pedalaman belantara. Jelas sekali mata gergaji berbahan baja itu mengiris pohon-pohon berusia tua sampai rebah ke tanah. Seperti gemuruh longsoran bukit dengan batu-batu besar menggelinding. Sementara di seberang hutan yang sudah gundul, polybag plastik hitam berisi tanaman sawit berusia muda ditata berjejer di kebun pembibitan.
Jauh sebelum itu, sejumlah kebijakan semasa pemerintahan Orde Baru turut memberi dampak pada berkurangnya tutupan hutan dan tanah adat. Sebut saja program transmigrasi maupun pembukaan industri kayu lewat Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Padahal, masyarakat menggantungkan kehidupannya bersumber dari hutan. Banyak wawasan leluhur tentang pemanfaatan hutan untuk makan, minum, hingga obat-obatan tradisional. Tak pelak Ambrosius Waisimon (67), Iram di Kampung Yenggu Baru, menolak keras perusahaan apa pun (yang bersifat ekstraktif) masuk ke hutan adat mereka—Ku Defeng Akrua.
Jelas akan jadi pekerjaan berat bagi Bernard Yewi (42), Manajer Kehutanan BUMMA. Ia mengemban tanggung jawab untuk menjaga dan memulihkan hutan adat Namblong. Belum lagi jika bicara soal dampak perubahan iklim dan upaya penyerapan karbon. Tak heran jika Abner Tecuari (49), pemuka marga Tecuari di Bunyom, kukuh mengusulkan kepada BUMMA agar membangun kembali dusun (hutan) sagu. Selain faktor pangan pokok dan penyerap karbon terbaik, program ini juga memperlihatkan bentuk perjuangan masyarakat Namblong mempertahankan hak ulayat mereka.
“Dengan menanam sagu di hutan, kita tunjukkan kepada perusahaan [sawit dan kayu] bahwa [hutan] itu milik kita, bukan cuma tanah kosong,” jelas Abner tegas.
Bernard pun tidak bisa untuk tidak setuju dengan permintaan Abner. Untuk itulah ia bersama pengurus telah melakukan rencana tindakan awal. Setidaknya ada empat tahapan yang harus dilakukan BUMMA di sektor kehutanan.
Pertama, pengelolaan area hutan adat yang sudah ada—baik yang diakui negara maupun bukan— agar dipertahankan, dan menegaskan kembali batas-batas antarmarga sehingga tidak terjadi saling klaim kepemilikan lahan. Kedua, pengayaan atau rehabilitasi untuk memperbanyak tegakan pohon dengan kandungan penyerapan karbon tertinggi, seperti sagu yang sekaligus menjadi sumber pangan pokok. Ketiga, penghijauan atau reboisasi hutan yang “terluka”, terutama kawasan terdampak konsesi PNM.
“Yang terakhir, penelitian. Kami akan melakukan pemetaan lahan-lahan prioritas yang memiliki sebaran pohon dengan potensi stok karbon terbanyak di Lembah Grime,” jelas Bernard. Pada jangka panjang, BUMMA Yombe Namblong Nggua memang berencana akan terlibat dalam perdagangan karbon berbasis masyarakat adat.
Butuh waktu untuk berdikari
Pada 30 September 2024 lalu, melalui saluran komunikasi pribadi, Niko mengabarkan bahwa BUMMA sudah memiliki akta resmi sebagai Perseroan Terbatas (PT). Transformasi legalitas ini merupakan pencapaian besar yang diraih dengan tidak mudah.
Ruwi mengatakan, pembentukan PT di wilayah masyarakat hukum adat merupakan terobosan baru. Namun, ia mengakui prosesnya menemui banyak tantangan dan kendala, terutama aspek administrasi. Sebab, konsep BUMMA benar-benar merupakan hal baru bagi legalitas bisnis. Di samping itu, platform prosedur pembuatan PT di Indonesia secara teknis belum spesifik mengakomodasi komunitas adat—dalam hal ini pemimpin marga Namblong—sebagai pemilik saham.
“Dari 44 Iram, separuhnya belum punya KTP. Lalu namanya beda dengan catatan yang dimiliki dinas kependudukan dan catatan sipil setempat,” terang Ruwi. Akhirnya ia bersama BUMMA membantu pembuatan identitas kependudukan tersebut. Termasuk NPWP, sebab dokumen ini menjadi syarat wajib saat mendirikan perusahaan.
Abner Tecuari (kiri) dan Ambrosius Waisimon berkomitmen akan membantu pengembangan BUMMA selama program-programnya konsisten berpihak pada masyarakat adat Namblong di Lembah Grime/Deta Widyananda
Ketentuan lainnya yang harus diikuti adalah permodalan yang harus disetor oleh masing-masing Iram suku Namblong. Jumlah modal disepakati sebesar Rp 100 juta, yang akan disetor secara bertahap. Para pemimpin marga, seperti Ambrosius Waisimon dan Abner Tecuari, serta 42 Iram lainnya, akan menyetor minimal 20 juta rupiah selama lima tahun, yang akan dimulai pada 2025 nanti. Penyetoran modal ini menjadi bukti sahih kepemilikan masyarakat adat terhadap BUMMA atau PT Yombe Namblong Nggua.
Namun, sebagaimana halnya Yohana, Niko, Bernard, dan pengurus lainnya di BUMMA, Ruwi juga punya banyak alasan untuk optimis. Meski masih akan melakukan pendampingan hingga beberapa tahun mendatang sampai operasional stabil dan kapabilitas pengurus meningkat, kelak pasti ada masanya BUMMA akan mampu mandiri sepenuhnya. Sebab, memang sudah semestinya begitu sebagai sebuah badan usaha. Ini sesuai makna nama “Yombe Namblong Nggua”. Yohana mengartikannya, “Bangkit dan bersama-sama membangun (yombe) suku Namblong lebih mandiri (nggua).”
Pemilihan Yohana sendiri sebagai direktur BUMMA juga menarik. Selain masih sangat muda, latar belakang pendidikannya sebagai lulusan sekolah keperawatan sangat kontras dengan dunia barunya saat ini. Di sisi lain juga unik. Sebab, hal ini seperti mendobrak kebiasaan patriarkat yang umum terjadi di Papua. Akan tetapi, para Iram bermufakat dan memercayainya memimpin perusahaan. Penetapannya pun sakral karena melalui rangkaian upacara adat.
Menurut Niko, kesepakatan dan mandat dari para Iram sangat penting. Sebab, iram merupakan pemimpin marga yang mewakili banyak keluarga, bahkan lebih dihormati daripada jabatan kepala kampung. Pendekatan dan koordinasi yang baik akan memudahkan BUMMA melaksanakan program-programnya. Terutama keterbukaan atau transparansi soal pemanfaatan dan pengelolaan potensi kawasan hutan dan kawasan penyangga (perkebunan vanili, perikanan, dan peternakan) yang pasti bakal bermitra dengan masyarakat.
“[Jika] kemudian masyarakat mendapat keuntungan secara ekonomi, muncul kesadaran kritis [dari] masyarakat, bahwa membangun kehidupan mereka dalam wilayah adat ini tidak harus dengan melepaskan hak mereka atas tanah, hutan dan sumber alam,” jelas Niko.
Berdasarkan pola pendekatan seperti itu, maka akan lebih menjamin kedaulatan atas hak ulayat yang dimiliki setiap marga. Sekaligus memastikan keutuhan sumber daya alam yang ada di Lembah Grime akan tetap berada dalam genggaman masyarakat adat. (*)
Foto sampul:
Salah satu sudut dataran rendah di Lembah Grime, kawasan yang dihuni masyarakat adat suku Namblong turun-temurun/Deta Widyananda
Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.