November lalu, untuk menyambut Hari Difabel Internasional 3 Desember 2024, saya melakukan perjalanan ke Dukuh Gondang, Desa Jelok, Cepogo, Boyolali. Saya menyambangi Heru, salah satu anak tunarungu-wicara yang tinggal hanya bersama ibu dan seorang adik.
Tujuan saya tak lain ingin melihat kondisinya saat ini dan ikut memahami apa yang dia rasakan selama ini. Mengalami kondisi tuna rungu, bagi saya sudah sangat mengganggu. Namun, apalah daya, itu merupakan pemberian istimewa dari yang Mahakuasa.
Secara fisik tampak sempurna, tetapi ia tidak bisa mendengar suara sedikit pun. Bahkan untuk mengatakan satu kalimat saja kesulitan. Meski begitu, ia paham kondisi sekitarnya dalam keheningan yang menyelimuti. Bagi Heru, kehidupan di bumi sangatlah hening. Berbanding terbalik dengan apa yang kita rasakan.
Kedatangan saya ke rumah Heru didampingi ibu saya, seorang pensiunan guru sekolah dasar tempat Heru pernah menimba ilmu—selanjutnya ditulis sang guru. Tujuannya untuk mempermudah dan menyaksikan bagaimana cara berkomunikasi dengan anak tunarungu-wicara. Selama hidup, baru kali ini saya berbicara menggunakan bahasa isyarat langsung.
Ketika berbincang dengan orang lain, kita biasa menggerakkan refleks tangan untuk memperkuat penjelasan. Namun, berbeda jika gerakan tangan ditujukan untuk perbincangan lama. Tanpa bekal apa pun dan langsung menggunakan bahasa isyarat, sungguh bagi saya ini pengalaman luar biasa.
Sayangnya, tidak banyak komunikasi di antara kami. Sebab, ia malu tidak bisa berkomunikasi baik. Alhasil, ibu Heru dan sang guru menjadi mediator.
Sempat Mengenyam Pendidikan Dasar
Butuh waktu sekitar 10 menit berkendara dari kota menuju kediaman Heru. Hamparan perkebunan warga dan kemegahan sisi timur Gunung Merapi senantiasa menemani perjalanan.
Akhirnya, sampailah saya di depan rumah Heru. Ibunya menyambut hangat seraya mempersilakan masuk. Tidak saya duga, sang guru sudah datang terlebih dahulu. Ia lantas memperkenalkan saya kepada Heru dengan bahasa isyarat. Semua terdiam tanpa satu patah kata.
Hal yang saya rasakan pertama saat menyaksikan pembicaraan keduanya, seperti dunia hampa seketika. Hingga saya tidak kuasa mengatakan sesuatu, padahal pagi itu cukup ramai suara. Ketika saya di dalam rumahnya dan mencoba menelaah pembicaraan, tiba-tiba semua suara hilang entah ke mana.
“Ini (menujuk saya), namanya Benu. Pengin kenalan sama kamu,” ungkap sang guru dengan bahasa isyarat. Heru membalas dengan anggukan kepala dan mengajak berjabat tangan.
Sang guru bilang, “Inilah yang dia (Heru) rasakan selama ini, tidak bisa mendengar apa pun, tetapi dia tahu siapa yang di sekitarnya. Dia bisa berjabat tangan. Cara inilah yang dia gunakan untuk mengenali.”
Heru sebenarnya masih memiliki sisa pendengaran, tetapi sangat sedikit. Dahulu sempat diajak terapi pendengaran dan menggunakan alat bantu dengar. Namun, karena kondisi, perawatan Heru dilakukan secara sederhana. Orang tuanya pun sempat kewalahan, sampai akhirnya mampu menerima dengan sabar melayani. Setiap hari, Heru beraktivitas layaknya anak normal. Hanya saja, lebih banyak terdiam karena memang tidak mendengar apa-apa.
Pendidikan yang ia tempuh hanya sampai jenjang sekolah dasar (SD). Sekolahnya pun khusus, yakni sekolah inklusi. Ibu saya sendiri, Susilo Setyastuti, merupakan guru pendidikan inklusi di SD Negeri 1 Sukorame, Musuk, Boyolali. Peraih Juara III Lomba Guru Berprestasi Tingkat Nasional sebagai guru sekolah dasar penyelenggaran pendidikan inklusi tahun 2016 lalu.
Sang guru mengatakan sesuatu hal yang menarik. Saat SD, Heru belajar bersama murid normal lainnya. Mereka tetap belajar seperti biasa, hanya saja pelajaran yang diberikan kepada Heru tentu berbeda. Guru tidak bisa memaksakan harus mampu menguasai materi, tetapi menyesuaikan diri dengan kondisi mood atau suasana hati Heru.
“Heru ini termasuk anak berkebutuhan khusus, tidak bisa disamakan dengan anak lain. Harus pendampingan khusus. Kalau di sekolah, harus dibimbing guru pendidikan khusus. Tidak semua guru memahami itu,” jelasnya.
Kalau dia sudah merasa bosan, maka harus berhenti dan alihkan perhatiannya dengan kegiatan lain, seperti mengajak mengobrol atau bermain. Namun, semua itu ada batasan. Waktu Heru SD, ada kalanya ikut di dalam kelas reguler daripada kelas pendidikan khusus.
“Asalkan tidak saling mengganggu dan materi yang diajarkan sudah tentu berbeda. Heru saya ajak di kelas reguler, supaya mudah dalam pengawasan. Murid lain tidak ada masalah,” ungkapnya.
Saya tidak menyangka. Heru adalah salah satu murid yang berhasil membawa ibu saya meraih gelar guru berprestasi. Satu-satunya guru SD penyelenggara pendidikan inklusi dari Kabupaten Boyolali. Latar belakang pendidikannya sebagai guru inklusi membuatnya sangat paham untuk mengurus anak berkebutuhan khusus seperti Heru.
Semangat Hidup di tengah Keterbatasan
Sejatinya, semenjak lulus bangku SD, Heru sudah diarahkan untuk melanjutkan pendidikan formal SMP dan SMA inklusi di Kota Surakarta. Akan tetapi, karena faktor keluarga, cita-cita tersebut harus terpendam. Usia Heru kini sudah selayaknya bersekolah di perguruan tinggi.
Namun, asa tinggallah asa. Ia tidak melanjutkan pendidikan dan membantu sang ibu di rumah. Malahan adiknya yang melanjutkan pendidikan kejuruan di kota Boyolali. Tulang punggung keluarga ada di pundak sang adik, sehingga setelah lulus diharapkan mampu meningkatkan derajat orang tua.
Meski begitu, Heru tidak tinggal diam. Ia belajar elektronik secara otodidak, berbekal handphone usang. Tanpa sepengetahuan ibunya, ia memiliki akun media sosial di Instagram dan Tiktok. Tidak ada yang membantunya, tetapi juga tidak asal tekan. Ia mahir menggunakan kedua media sosial itu, meski hanya untuk melihat isi konten tanpa bisa mendengar. Fakta yang saya dapat, ia mampu mengubah tampilan layar utama lebih menarik dari orang lain.
“Wah, ini seandainya mendapat beasiswa bisa kuliah teknologi informatika,” ucap saya.
Ternyata, anak-anak seperti Heru memiliki kemampuan khusus yang selama ini mungkin tidak dipahami. Mereka tidak mampu jika dituntut memahami materi pendidikan secara formal. Namun, mereka lebih cermat pada keterampilan dan teknologi. Mereka normal, tetapi terbatas.
Keseharian Heru membantu sang ibu mengurus rumah. Ia paham jika ada piring kotor segera dicuci. Begitu juga menyapu lantai. Tak jarang juga membantu menjemur daun tembakau, mengangkat barang hasil panen dari kebun belakang rumah. Semua dilakukan dalam kondisi diam seribu bahasa.
Heru ternyata juga aktif di lingkungan sekitar. Tak jarang ia bertemu kawan sebaya maupun tetangga. Ia pun mampu berbelanja, meski dengan catatan yang diberikan sang ibu agar tidak salah beli barang. Tetangga sekitar sangat menerima kekurangan Heru dan keluarga, serta tidak mempermasalahkan kondisi tersebut.
Ketika seorang tetangga mengadakan hajatan, orang tua Heru pasti diundang sebagai anggota juru masak sampai acara selesai. Bahkan tempat tinggal Heru saat ini merupakan bantuan swadaya masyarakat desa. Meski masih sangat sederhana, tetapi sangat layak dan mewah bagi keluarga Heru.
“Bisanya cuma seperti ini, yang penting pelan-pelan dan sabar. Punya rumah sederhana, sama merawat Heru saja sudah sangat mewah bagi saya,” ungkap sang ibu.
Rumah Heru dan keluarga sebelum dan sesudah renovasi (kanan)/Ibnu Rustamadji
Dari perjumpaan dengan Heru, saya mendapat pelajaran berharga. Mungkin, jika bisa saya ungkapkan, janganlah selamanya melihat ke atas. Ada kalanya melihat ke bawah. Hidup mewah tidak harus bergelimang harta, karena tidak selamanya membuat bahagia.
Jika menikmati hidup dengan sederhana dan mensyukuri nikmat, tentunya akan terasa mewah. Hidup di desa tidak selamanya terbelakang. Asalkan ada niat untuk mengembangkan diri, niscaya derajat seseorang akan meningkat seiring berjalannya waktu. Selain itu, harus mampu mengimbangi perkembangan zaman.
Waktu menunjukan pukul 16.20. Saatnya kami beranjak pulang. Sang guru memutuskan untuk mengakhiri obrolan kami dan melanjutkan perjalanan. Tak lupa kami berswafoto bersama di depan rumah Heru sebagai kenang-kenangan.
“Sehat terus, ya, kalian. Kapan-kapan saya main ke sini lagi,” ucap ibu saya mengakhiri perjumpaan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.