Saya berkesempatan pulang ke tanah kelahiran di Kabupaten Boyolali. Bagi saya, kurang rasanya kalau tidak menjelajah dan berbagi cerita tentang jejak makam Belanda atau Europese Begraafplaats di Kampung Recosari, Kelurahan Banaran, Kecamatan Boyolali.
Kampung Recosari berada di persimpangan Jalan Pandanaran, yang notabene merupakan jalan utama antara Semarang–Surakarta, serta Jalan Kutilang. Meski di pinggir jalan protokol, keberadaan Kampung Recosari sedikit lebih menjorok ke dalam dibanding jajaran ruko di depannya.
Patokan gamblang Kampung Recosari adalah gapura berwarna hijau pupus berinskripsi “Memento Mori 1939”. Gapura ini sejatinya bukan gerbang masuk perkampungan, melainkan pintu masuk Europese Begraafplaats atau makam Eropa Belanda. Makna inskripsi tersebut adalah “Ingatlah pada Kematian”. Selain di Recosari, ada makam Belanda lainnya di Boyolali, seperti kompleks makam keluarga milik Clara Hortense Juch di tengah kota dan Marius van Braam di Kampung Pambraman.
Sebelum menjelajah lebih jauh, saya sempat berpikir mengenai penamaan Kampung Recosari. Apakah “Recosari” diserap dari kata “reco” atau “arca” dalam bahasa Jawa, mengingat dahulu di dalam kompleks makam terdapat puluhan monumen kematian yang mungkin dianggap warga sebagai arca?
Dugaan saya karena munculnya Kampung Recosari yang bertepatan dengan pembongkaran seluruh makam pada medio 1970. Alasannya tidak lain dampak perkembangan kota dan penataan kampung. Setelah pembongkaran, beberapa nisan dipindahkan ke kompleks TPU Sonolayu. Sisanya tidak diketahui rimbanya.
Riwayat Makam Belanda Recosari dan Wabah Pes
Saya menjelajahi kampung sekalian bersepeda pagi. Layaknya kampung pada umumnya, rumah warga berjajar di sepanjang jalan menjadi pemandangan setiap hari. Hanya saja, tidak ada sesepuh warga setempat yang bisa saya jumpai waktu itu.
Alhasil, saya hanya bisa memotret kondisi kampung dan lokasi yang dahulu adalah tanah pemakaman—kini menjadi lahan kosong. Hanya ada satu ruas jalan utama di dalam kampung, sisanya jalan buntu dibatasi sungai. Jelas jika sungai dan pintu gapura di sisi barat membatasi luas wilayah kompleks makam.
Kompleks makam yang kini menjadi Kampung Recosari direnovasi sekitar tahun 1939, sebagai akibat peningkatan jumlah warga Belanda di Boyolali. Selain itu juga untuk mengakomodasi makam Belanda yang sudah penuh sesak di tengah kota, yang kini menyisakan makam Clara Hortense Juch dan Carel Simon.
Di sisi utara kompleks makam Kampung Recosari terdapat kompleks makam Tionghoa yang menghadap ke Selatan. Saat ini hanya menyisakan dua bong atau makam Tionghoa milik sepasang suami istri yang tinggal di Jl. Merbabu, Kampung Singoranon, Boyolali.
Pemerintah kolonial Belanda di Boyolali kala itu, dalam membuka tanah pemakaman, sudah melalui beberapa pertimbangan, antara lain harus ada di pinggiran kota dan tidak boleh terlalu dekat dengan permukiman. Dasarnya adalah pertimbangan kesehatan dan kenyamanan warga. Tentu banyak hewan liar bersarang meski pemakaman terlihat mewah dan terawat, sehingga sangat rentan muncul wabah penyakit menular, seperti pes yang disebabkan bakteri Yersinia pestis atau dikenal dengan wabah hitam (Black Death).
Penularan pes berasal dari bangkai tikus yang hidup di sekitar pemakaman dan perkebunan. Tikus hidup di tempat kotor, lalu mati di areal pemukiman dan sangat cepat penyebaran infeksinya. Tak ayal pemerintah memutuskan membangun kompleks makam, seperti di Kampung Recosari Banaran saat ini, sedikit jauh dari permukiman dan pusat kota.
Merujuk informasi dari Hans Boers, kawan saya di Belanda, ditemukan satu laporan tahun 1892 mengenai pemakaman Dr. J.H.D.G. Sanger, seorang dokter umum kelahiran Boyolali yang tinggal di Klaten. Berdasarkan laporan tersebut, diketahui ia wafat tanggal 13 Agustus 1892, pukul 13.00 siang, tetapi baru ditemukan sore hari oleh asistennya.
Ia tidak menderita sakit sebelumnya. Namun, ia ditemukan tewas dengan sepucuk revolver dan surat wasiat di samping jasadnya. Ia murni tewas bunuh diri dengan cara menembak mati, diduga karena depresi. Hal itu diperkuat dalam laporan, meski tidak ditemukan di mana anak dan istrinya.
Malam harinya, jasad sang dokter dibawa ke Boyolali menggunakan kereta jenazah lalu dikubur di makam Eropa Belanda—kini Kampung Recosari—keesokan harinya. Upacara pemakaman sang dokter dilakukan sederhana sesuai permintaan keluarga di Boyolali.
Sayangnya, laporan tersebut tidak menyebut alamat kediaman keluarga. Terlebih tidak ada satu pun monumen atau batu nisan yang tersisa.
Menemukan Mausoleum Terakhir di Boyolali
Selanjutnya saya menjelajahi bagian utara pemakaman. Makam Ringin, begitu kira-kira namanya. Saat melangkahkan kaki masuk, mata saya langsung tertuju pada dua makam unik di sisi selatan dan tengah. Pucuk dicinta ulam pun tiba; di hadapan saya adalah mausoleum.
Hanya saja, keduanya tidak ada plakat batu nisan yang bisa saya identifikasi. Hans mengkonfirmasi itu Memang tiada informasi orang Belanda yang wafat dikebumikan di makam Ringin Kampung Recosari. Ada dugaan plakat dibongkar oleh keluarga untuk dikremasi, atau memang sengaja tidak dipasang.
Pada mausoleum di sebelah selatan, terdapat satu peti mati; sedangkan mausoleum di tengah memiliki dua peti mati. Uniknya kedua mausoleum itu membujur ke utara–selatan selayaknya makam Islam Jawa lain di sekitarnya. Bukaan pintu kedua mausoleum menghadap ke selatan, dengan ekspos batu bata berbentuk setengah lingkaran di bagian bawah. Ada dugaan bentuk tersebut merupakan sejatinya merupakan tempat plakat berada.
Meski begitu, saya merasa puas dan bangga masih bisa ikut menjaga mausoleum terakhir di pusat kota Boyolali. Puas memotret kedua mausoleum tersebut, penjelajahan berlanjut. Saya mencari kediaman peninggalan warga Belanda yang ada di Kampung Recosari.
Menelusuri Wisma Bhayangkari
Setelah berkeliling kampung selama 30 menit, tibalah di tujuan berikutnya, yakni Wisma Bhayangkari. Gedung tinggi berwarna kekuningan ini terimpit deretan ruko, tepat di tepi Jalan Pandanaran.
Sebenarnya gedung tersebut cukup menarik perhatian bagi siapa pun yang melintas di depannya. Hanya saja, tidak diketahui siapa pemilik awal Wisma Bhayangkari. Ada dugaan milik tuan tanah antara keluarga Juch, keluarga van Braam, keluarga Rademaker, atau keluarga Dezentje.
Ketika masuk untuk mengabadikan lebih detail lewat lensa kamera, saya tiba-tiba terpikir kampung lawas Bledog, tempat tinggal keluarga Juch. Kampung Bledog kemungkinan saat ini menjadi Kampung Ngledok, tepat di timur Kampung Recosari. Kedua kampung ini persis bersebelahan.
Pada abad ke-18 hingga ke-19, sering terjadi salah penulisan nama tempat sehingga dapat dimaklumi. Lokasi gedung Wisma Bhayangkari tepat di depan kompleks makam Belanda (kini gapura Memento Mori Kampung Recosari).
Gedung ini paling megah di antara bangunan lain di sekitarnya, bahkan mungkin satu-satunya di Kampung Recosari. Tampak dari depan saja kemewahan sudah sangat kentara. Begitu menengok ke dalam, semakin mewah dengan ekspos hiasan kelopak bunga di ruang depan.
Hanya ada tiga kamar tidur utama di dalam, sisanya di paviliun timur gedung utama. Saat ini gedung Wisma Bhayangkari dipergunakan sebagai ruang rapat anggota polisi wanita Polres Boyolali. Meski begitu, tidak ada perubahan fisik secara signifikan.
Dari Wisma Bhayangkari, saya putuskan kembali ke rumah melalui jalan antarkampung di sekitar Kampung Recosari. Tujuannya melihat peninggalan lain yang terlewatkan sebelumnya. Beberapa saya temukan, tetapi mayoritas sudah berubah bentuk dan fungsi, menyisakan sedikit keaslian.
Sepanjang jalan kampung yang saya lewati, saya tidak menemukan lagi makam Belanda selain di Kampung Recosari. Kalaupun ada, makam tersebut berbentuk makam pada umumnya, karena beberapa pria Belanda yang tinggal di Boyolali memiliki istri Jawa. Ketika ia wafat, kemudian dimakamkan di pemakaman Islam Jawa sekitar tempat tinggal mereka. Ini lumrah terjadi. Tidak banyak makam keluarga Belanda di Boyolali.
Saya berharap, semoga keberadaan kompleks Europese Begraafplaats, mausoleum, dan Wisma Bhayangkari tetap terjaga di masa mendatang. Melindungi dari perusakan atau vandalisme, sudah termasuk ikut menjaga dan melestarikan warisan budaya. Warisan budaya negara lain yang ada merupakan bukti perkembangan zaman suatu wilayah. Apabila warisan tersebut terawat, tentu penduduk kampung mendapat nilai positif dari masyarakat luar. Hanya waktu dan kita yang bisa menjawab.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.