Pada 2020 lalu, di Bima, saya terdiam memandangi layar ponsel. Saya amati Google Maps. Betapa dekat posisi saya dari Pulau Komodo. Hanya selat Sape yang memisahkan daratan di bawah kaki saya saat itu dengan negeri para naga. Namun, sayang sekali, saya harus pulang dan membiarkan rasa penasaran akan pulau-pulau ajaib tersebut mengendap.
Hasrat saya akan Pulau Komodo menemukan muaranya tahun ini. Tidak, saya tak pergi ke sana—setidaknya belum. Akan tetapi, buku terbaru Fatris MF cukup memberi saya secuil gambaran akan negeri kadal raksasa itu.
Di Bawah Kuasa Naga adalah buku setebal 136 halaman yang ditulis dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Isinya catatan perjalanan Fatris ke Taman Nasional Komodo, lengkap dengan hasil jepretan kamera yang menyokong cerita.
Di halaman awal, saya mengalami momen dejavu. Pasalnya, di situ terpampang peta Asia Tenggara. Setitik noktah merah menunjukkan letak Taman Nasional Komodo di antara gugusan daratan-daratan lain. Memori saya sontak terlempar ke empat tahun lalu. Di halaman sebelumnya, foto seorang bocah menyapa lewat sorot mata polosnya. Setelah itu, saya diajak penulis mengingat jejak komodo dalam ingatan orang Indonesia. Sesuatu terngiang di kepala. Macet lagi, macet lagi, gara-gara si Komo lewat.
Tak berlebihan rasanya jika menyebut travelog Fatris sebagai etnografi. Pasalnya, ia tak melulu berkisah soal komodo, tetapi juga kondisi masyarakat di pulau gersang itu. Melalui tulisannya, pembaca diajak berkeliling, duduk-duduk, tidur-tiduran, dan mengobrol bersama penduduk sekitar sambil mendengarkan tutur cerita mereka.
Meski begitu, sang penulis tidak meromantisasi negeri ajaib itu, seperti lazimnya buku panduan wisata atau program-program televisi yang seringkali menyiarkan eksotisme kawasan pelosok. Dia tak hanya menyibak permukaan, ia menyelam lebih dalam.
Kuasa Absolut Sang Naga
“Dunia modern telah menetapkan dia sebagai naga terakhir yang masih hidup di muka bumi, dan naga terakhir ini telah menjadi berhala dunia modern. Ia dikunjungi, dipuja, dibuatkan patung, dilindungi, setengah disembah. Untuk keberlangsungan hidup ribuan naga ini, ribuan manusia siap ditumbalkan. Hingga hari ini, naga itu menentukan nasib ribuan manusia.” (hal. 5).
Kalimat tersebut menjadi titik tolak Fatris bercerita soal suka duka di pulau tempat manusia dan komodo hidup berdampingan. Judul yang dipilihnya sangat pas dengan situasi yang ia amati. Lewat buku ini, Fatris memberitahu kita bahwa di negeri tersebut, komodo adalah kunci.
Catatan perjalanan Fatris dimulai dari Labuan Bajo. Dengan apik, ia menggambarkan transformasi kawasan itu dan keadaannya dalam lipatan pandemi. Saya bisa membayangkan jalanan lengang, kapal-kapal tertambat lesu, dan udara kering Nusa Tenggara Timur.
Ia pun menyeberang ke Pulau Rinca dan Komodo. Si penulis memang berniat melihat komodo. Itu pasti. Jika saya berlayar ke tempat itu, saya pun bakal begitu. Namun, sebagai seorang penulis kawakan, Fatris tak sekadar berjalan-jalan di sabana tandus dan melintasi laut bersama warga lokal, ia juga menjelajahi dimensi lain yang kerap luput dari kacamata wisatawan.
Selain menjejaki alam sekala, Fatris turut menyelami jagad niskala penduduk setempat yang sejak mula sudah hidup bersama sang naga. Ia menggali mitos lokal dan mengulik hubungan mereka dengan komodo yang totemis. Lewat percakapannya dengan Fatima, ia mengajak pembaca memahami mengapa orang-orang Rinca bisa tinggal berbagi ruang dengan kadal-kadal bersisik tebal itu dan ogah pindah walau bahaya bisa nongol kapan saja di kolong rumah mereka.
“ ‘Sabai, Piong ahu… punga. Lepas aku. Kita sama-sama komodo, saya tidak jahat sama kamu, saya hanya mengambil daun kayu. Falidi, pulang sana,’ kata Fatima dalam bahasa Komodo, pulau tempat nenek moyang komodo konon berasal, juga pulau tempat Fatima berasal.” (hal. 99).
Namun, Fatris menaruh perhatian lebih pada persoalan pariwisata. Sebab komodo tak bisa dipisahkan dari turisme. Sail Komodo, agenda masif pariwisata yang dielu-elukan tersebut, yang tampaknya akan membawa angin segar bagi warga sekitar taman nasional, nyatanya tak seindah itu. Melalui obrolannya bersama warga, sang penulis menyibak situasi sosial ekonomi masyarakat lokal di balik ingar bingar wisatawan.
Dengan telaten, Fatris mendengarkan suara-suara yang selama ini tak pernah terdengar. Kisah-kisah yang selama ini tersapu hegemoni wisata komodo. Ia memaksa saya berpikir ulang soal upaya konservasi di daerah itu. Juga perkara siapa yang paling diuntungkan dari aktivitas wisata gila-gilaan ini.
“ ’Membanggakan? Menebang kayu susah, berkebun susah, melaut susah, banyak aturan. Taman Nasional nol rupiah buat kami. Sekarang nenek-nenek kami sudah mulai diusir satu per satu. Kami mau diusir dari pulau kami,’ kata Muhammad Nur lagi.” (hal. 106).
Saya bisa membayangkan sang penulis duduk-duduk di kolong rumah bersama warga lokal, mengangguk-anggukkan kepala. Dia menyimak dengan saksama, lalu menarasikan kembali semua yang ia dengar dengan apik hingga mampu menggugah empati pembaca. Sampai-sampai saya merasa iba pada para pedagang yang menggantungkan nasib pada turis.
“Pedagang memanggil, ‘Mari, silakan masuk, Bapak, Ibu, ada kaos, ada kaos bagus!’ Namun, tak ada seorang pun turis yang menggubris. Mereka hanya berlalu setelah berhasil melihat komodo sambil menenteng minuman sendiri, lalu berfoto-foto, jepret sana jepret sini, lalu naik pinisi lagi, dan berlayar entah ke pulau mana lagi. Di laut depan gapura Loh Liang, belasan pinisi melego jangkar, menurunkan turis dan menaikkannya lagi, datang dan pergi. Sulit untuk membayangkan wisatawan-wisatawan itu akan singgah di warung Nur maupun warung-warung lusuh lain yang berjejer di situ untuk menikmati Nutri Sari es atau meminum kopi saset dicampur kental manis.” (hal. 106).
Foto-foto Penting yang Menopang Cerita
Selain gaya bahasa yang anggun, kekuatan buku ini juga terletak pada foto. Puluhan hasil bidikan lensa Fatris dalam bukunya menopang keseluruhan isi cerita. Tentu bukan perkara sederhana seorang fotografer mampu berjarak sedekat itu dengan subjeknya. Butuh rasa saling percaya antara keduanya dan itu perlu waktu. Lewat gambar-gambar memukau, pembaca diajak menengok keseharian warga Rinca dan Komodo. Saya tak bisa membayangkan buku ini tanpa foto-foto itu. Rasanya pasti akan hambar.
Di bagian akhir, sebuah gambar berbentuk siluet burung menutup cerita. Saya teringat foto burung gagak di lembar depan. Makhluk berbulu hitam itu, seperti kita tahu, lekat dengan pertanda buruk. Barangkali, sang penulis tak menampilkan sosok itu sebagai citra visual belaka. Boleh jadi, gagak mewakili pandangan muram penulis akan apa yang dilihatnya di tanah ranggas itu.
Walau demikian, Di Bawah Kuasa Naga tetap menarik. Pada akhirnya, buku ini bukan tentang Varanus komodoensis, melainkan tentang orang-orang yang hidup bersama makhluk purba itu. Dengan wawasan mumpuni dan narasi yang sastrawi, Fatris berhasil membuat tulisan yang enak dibaca perihal geliat pariwisata di Taman Nasional Komodo berikut kompleksitasnya. Sesuatu yang jarang kita temui di media-media arus utama. Buku ini merupakan karya Fatris MF pertama yang saya baca. Dan sepertinya, saya harus membaca tulisan-tulisan dia yang lain.
Judul: Di Bawah Kuasa Naga
Penulis: Fatris MF
Penerbit: Jual Buku Sastra (JBS), Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: xxvii + 138 halaman
ISBN: 978-623-7904-87-8
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.