Suatu siang, saya menziarahi sebuah makam yang terletak di areal pekarangan milik seorang warga. Makam itu satu-satunya yang ada di pekarangan tersebut. Tidak ada makam lainnya. Dibiarkan apa adanya. Sejauh ini tampak tidak terurus. Sampah berupa dedaunan kering terlihat berserakan di sekeliling makam.
Menurut informasi yang saya peroleh, makam itu masih sering diziarahi oleh kerabat dan keturunannya pada momentum tertentu. Pada nisan tertera nama “R. Danoewikrama” (selanjutnya ditulis Raden Danoewikromo).
Makam itu berada di pekarangan belakang rumah milik seorang warga Kelurahan Kunden, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Makam Raden Danoewikromo diapit kebun (pohon) jati di sebelah utara dan kandang kambing di sebelah selatan. Meski di kawasan kebun, tetapi akses ke makam tidak mengganggu pemilik rumah.
Mengungkap Sosok R. Danoewikromo
Pertanyaannya, siapakah Raden Danoewikromo? Menurut sejumlah sumber, Raden Danoewikromo adalah kakek buyut Ir. Soekarno alias Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia. Bagaimana bisa leluhur Bung Karno dimakamkan di tempat ini?
Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, dalam buku Ayah Bunda Bung Karno: R. Soekeni Sosrodiharjo dan Nyoman Rai Srimben (2002), menyatakan Raden Danoewikromo yang makamnya terdapat di Kunden, dianggap oleh masyarakat setempat sebagai seorang pendatang. Beliau adalah putra Pangeran Harya Mangkudiningrat dan masih cucu Sultan Hamengku Buwono II. Saat meletus Perang Diponegoro (1825–1830), Raden Danoewikromo ikut berjuang melawan Belanda bersama Pangeran Adipati Natapraja, Pangeran Serang dan istrinya, hanya berbeda wilayah.
Ketika terjadi penyerangan di daerah selatan, Raden Danoewikromo tidak sampai ikut ke Gunung Lawu. Ia berhenti dan mengikuti aliran Sungai Lusi. Akhirnya ia sampai di sekitar Wirosari dan membuat benteng pertahanan sementara. Ia berharap dapat menahan laju penyerangan kompeni yang akan menuju ke Rajekwesi. Lama kelamaan ia membangun permukiman di daerah tersebut bersama anak keturunannya, sampai meninggal dan dimakamkan di Kunden.
Versi berbeda disampaikan Sugeng Haryadi dalam buku Menyingkap Asal-usul Bung Karno (1998). Menurutnya, Raden Danoewikromo adalah putra Raden Mangoendiwirjo. Kisah bermula saat terjadi Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Melalui perjanjian itu, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua: Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Dalam pembagian tersebut, Ngayogyakarta mendapatkan sembilan daerah kabupaten, masing-masing Wonosari (Madiun sekarang), Magetan, Caruban, Ngrowo (Tulungagung sekarang), Japan (Mojokerto sekarang), Rajekwesi (Bojonegoro sekarang), Ngawen, dan Grobogan. Seperti umumnya jika ada pergantian kekuasaan, pemimpin-pemimpin daerah kekuasaan raja merupakan orang yang punya loyalitas kuat pada penguasa.
Sultan Hamengku Buwono I, Raja Kesultanan Ngayogyakarta menunjuk Pangeran Martapoera, yang sebelumnya menjabat bupati Ngawen, untuk menjadi bupati Caruban. Jabatan ini menurun pada putranya, P. Mangkoedipuro, setelah beliau wafat. Kemudian menurun lagi ke Tumenggung Prawirodipuro—lahir sekitar tahun 1778—yang setelah menjabat bupati mengubah namanya menjadi P. Mangkoedipuro II.
Dengan posisi itu, Prawirodipuro bisa memintakan kedudukan bagi adik kandungnya, Raden Mangoendiwirjo, untuk menjadi Wedana Pamajekan di Wirosari. Wirosari adalah daerah dengan hak norowito (hak atas tanah turun-temurun) bagi keluarga Pangeran Martapoera yang diminta dari raja pada saat menjabat bupati di Ngawen.
Di Wirosari itu, R. Mangoendiwirjo menikah dengan putri setempat dan menurunkan delapan putra dan seorang putri, di antaranya adalah Raden Danoewikromo yang diperkirakan lahir tahun 1804. Jadi, saat Perang Diponegoro meletus, Raden Danoewikromo merupakan pemuda berumur 20 tahun yang turut berperang melawan kolonial Belanda.
Mencermati dua versi kisah di atas, menurut hemat saya, keduanya saling beririsan, memiliki banyak kesamaan, bahkan saling melengkapi. Perbedaan terletak pada data terkait garis nasab (genealogi) Raden Danoewikromo. Menurut versi Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, nama ayah Raden Danoewikromo bernama Pangeran Harya Mangkudiningrat. Adapun versi Sugeng Haryadi, ayah Raden Danoewikromo bernama R. Mangoendiwirjo I.
Namun, hasil penelusuran menyebut nama Pangeran Harya Mangkudiningrat dan R. Mangonediwirjo I merupakan sosok yang sama. Wallahu a’lam.
Kakek Bung Karno Menjadi Juru Tulis di Kalirejo
Menurut Sugeng Haryadi, setelah perang usai Raden Danoewikromo kembali ke daerahnya dan menyunting putri di Wirosari. Hasil perkawinan itu membuahkan empat putra dan seorang putri, yakni Raden Kromoatmodjo, Raden Soemadiredjo, Raden Mangoendiwirjo II, Raden Nganten Kartodiwirjo, dan si bungsu, Raden Hardjodikromo yang tak lain adalah kakek Bung Karno.
Setelah menginjak dewasa, Raden Hardjodikromo (lahir kurang lebih tahun 1840) menjadi carik (juru tulis) di Desa Kalirejo, Wirosari. Sementara kakaknya, Raden Mangoendiwirjo II menjadi lurahnya. Mereka berdua menggantikan para pamong desa sebelumnya yang telah lanjut usia. Tentu saja, jabatan pamong desa ketika itu bukan hal yang sulit diperoleh, karena kakek mereka adalah tokoh di Kawedanan Wirosari dan ayah keduanya merupakan prajurit pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dihormati.
Dalam perjalanannya, di masa tanam paksa pemerintah kolonial di tanah Jawa akibat kekalahan Diponegoro, Raden Hardjodikromo berniat melepas jabatannya sebagai juru tulis Kalirejo. Kira-kira setahun setelah kelahiran putranya, yakni Raden Soekeni Sosrodihardjo yang tak lain adalah ayah Bung Karno (lahir sekitar tahun 1873), Raden Hardjodikromo memantapkan hati melepas jabatannya sebagai carik dan berniat pindah ke kota lain.
Terkait keputusan Raden Hardjodikromo tersebut, menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, hal itu disebabkan perbedaan pendapat dengan sang kakak, Raden Mangoendiwirdjo. Utamanya dalam menghadapi pemerintah kolonial, yang membuatnya terpaksa meninggalkan Desa Kalirejo.
Masih menurut Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk, kepindahan Raden Hardjodikromo cukup beralasan. Di samping menghindari situasi sosial ekonomi yang diakibatkan oleh tanam paksa, juga karena di Wirosari sedang terjadi wabah penyakit kolera dan kelaparan. Masalah ini yang mengakibatkan pengurangan jumlah penduduk secara besar-besaran. Di satu sisi, kegagalan panen akibat perubahan musim semakin memperparah keadaan penduduk Grobogan.
Kakek Bung Karno Pindah ke Tulungagung
Tulungagung akhirnya menjadi tujuan kepindahannya. Di kota itu, tinggal adik perempuannya yang menikah dengan mantri guru bernama Raden Kartodiwirjo (versi Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dkk). Atau dalam versi Sugeng Hariyadi, tinggal kakaknya yang diperistri seorang mantri guru dan terkenal pandai, yakni Ibu Raden Kartodiwirjo.
Di Tulungagung, kehidupan Raden Hardjodikromo membaik. Ia menjadi pedagang batik, lalu membuka industri kerajinan batik di rumahnya. Kondisi ekonomi yang cukup baik membuka jalan bagi Raden Soekeni Sosrodihardjo, ayah Bung Karno, untuk menggapai cita-cita sebagai seorang guru. Saat itu guru merupakan profesi yang dihormati, baik oleh masyarakat maupun pemerintah kolonial.
Oleh karena itu, selepas masa sekolah rendah tahun 1885, Raden Soekeni memasuki Kweekschool (sekolah guru) di Probolinggo. Pada 1889, Raden Soekeni lulus dari Kweekschool dengan memuaskan lalu diangkat menjadi guru di kota Kraksaan, Kabupaten Lumajang, Karesidenan Besuki, Jawa Timur.
Dua tahun kemudian, Raden Soekeni menerima tawaran untuk mengajar pada sekolah rakyat di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata itulah Raden Soekeni menyemai cinta dan menemukan pendamping hidup, seorang gadis Bali bernama Idayu atau Ni Nyoman Rai Sarimben (Srimben). Kelak kita mengenalnya sebagai ibunda tercinta dari Proklamator Republik Indonesia, Bung Karno.
Penuturan R. Suparwoto, Trah Raden Danoewikromo di Desa Kalirejo
Hasil penelusuran pustaka itu kemudian saya padukan dengan menemui R. Suparwoto, trah Raden Danoewikromo yang tinggal di Dusun Beru, Desa Kalirejo. Kepada saya, R. Suparwoto menyampaikan di silsilah keluarga yang ia miliki, Raden Danoewikromo (setidaknya) memiliki tiga putra, yaitu Raden Mangoendiwirjo II yang pernah menjabat sebagai lurah di Kalirejo, Raden Kartodiwirjo yang kemudian tinggal di Tulungagung (Jawa Timur), dan Raden Hardjodiwirjo (atau Raden Hardjodikromo) yang pernah menjabat carik atau juru tulis Kalirejo.
Karena sejumlah alasan, Raden Hardjodikromo—kakek Bung Karno—kemudian melepas jabatannya sebagai carik Kalirejo dan mengikuti jejak kakaknya, Raden Kartodiwirjo, yang tinggal di Tulungagung hingga wafatnya. Jasad Raden Hardjodikromo dimakamkan di kompleks makam Kepatihan, Tulungagung.
Ayah Bung Karno sendiri, menurut R. Suparwoto, sesuai data yang dimilikinya bernama R. Soekemi (bukan Soekeni) Sosrodiharjo. R. Soekemi lahir di Desa Kalirejo, Wirosari sekitar tahun 1872. Setahun setelah kelahiran ayah Bung Karno itu, Raden Hardjodikromo memutuskan pindah ke Tulungagung membawa serta keluarganya.
Dalam perjalanannya, R. Soekemi menjadi seorang guru di Normaalschool Blitar. Kemudian ketika bertugas di Buleleng (Bali), R. Soekemi bertemu dengan Ida Ayu atau Nyoman Rai Srimben yang (saling) jatuh cinta dan kemudian menjadi suami istri. Dari pasangan inilah kemudian lahir Bung Karno, Sang Proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia.
Referensi
Haryadi, Sugeng. (1998). Menyingkap Asal-usul Bung Karno. Grobogan: Mega Berlian.
Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk. (2002). Ayah Bunda Bung Karno: R. Soekeni Sosrodihardjo dan Nyoman Rai Srimben. Jakarta: Penerbit Republika dan Yayasan Pustaka Biografi Indonesia.
Wawancara dengan R. Suparwoto, trah Raden Danoewikromo di Dusun Beru, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, pada awal Maret 2022 dan 11 April 2024.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
sangat membuat penasaran untuk lebih tahu lagi