Sebagai sebuah kota multietnis, Bandung—yang di masa silam sempat beken dengan julukan Parijs van Java alias Paris-nya Jawa—dihuni oleh beragam penduduk dengan latar belakang yang berbeda-beda. Termasuk Tionghoa.
Dalam karyanya Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown Bandung, Rizaldi dkk (2018) menyebut sejarah kedatangan orang Tionghoa di Bandung berawal dari keputusan pemerintah kolonial Belanda. Saat itu dikeluarkan kebijakan yang akhirnya menjadikan Bandung sebagai kota terakhir di Nusantara yang diizinkan untuk dimasuki dan dihuni oleh etnis Tionghoa. Mereka yang datang ke Kota Bandung adalah orang-orang yang direlokasi dari kota lain di Indonesia. Sehingga etnis Tionghoa yang berada di Bandung bukanlah etnis yang bermigrasi dari Tiongkok.
Kusteja (2012) menyebut komunitas Tionghoa cenderung bermukim di sekitar pusat simpul transportasi perhubungan, seperti jalan raya, jalan kereta api, stasiun kereta api, dan pasar sebagai pusat perdagangan. Sebab kegiatan utamanya bergerak dalam bidang perdagangan. Oleh sebab itu, tak heran jika kawasan Pecinan pertama di Bandung adalah Pasar Baru. Pasar yang terletak tak jauh dari Stasiun Kereta Api Bandung itu kini menjadi salah satu pusat ekonomi Kota Kembang.
Namun, seiring dengan pertumbuhan jumlah etnis Tionghoa, kawasan Pecinan di Bandung lantas meluas. Etnis Tionghoa bukan hanya mendominasi kawasan Pasar Baru, melainkan juga Sudirman, Gardu Jati, Cibadak, Belakang Pasar, Suniaraja, Pasar Andir, dan Kosambi.
Hingga sekarang, jejak sejarah Pecinan masa lalu di Kota Bandung masih bisa dilihat dengan jelas. Ambil contoh di seberang Pasar Baru, ada sebuah kawasan bernama Pecinan Lama. Sejumlah bangunan toko berarsitektur Tionghoa masih terlihat berdiri kukuh di kawasan ini. Begitu juga di kawasan-kawasan Pecinan lainnya.
Kelenteng dan Vihara
Selain bangunan toko maupun rumah berarsitektur Tionghoa, salah satu bukti lain terkait peninggalan sejarah Pecinan masa silam di Bandung adalah adanya kelenteng dan vihara. Salah satu contoh Kelenteng Satya Budhi, yang awalnya bernama Kuil Xietian Gong. Lokasinya berada di antara dua kawasan Pecinan, yaitu Sudirman dan Pasar Andir.
Awalnya, kelenteng tersebut merupakan tempat tinggal seorang kapitan Tionghoa bernama Tan Yun Liong. Kemudian pada 16 Juni 1885, bangunan tempat tinggal itu berubah fungsi dan menjadi sebuah kelenteng (Wardhani dkk, 2023).
Kendati sempat dipugar pada 1958 dan 1985, lalu mengalami kebakaran hebat pada 2019, hingga sekarang arsitektur asli kelenteng ini masih tetap utuh. Kelenteng Satya Budhi masuk dalam kategori cagar budaya dengan status A.
Bergeser sedikit ke arah selatan dari kelenteng, terdapat Vihara Dharma Ramsi. Vihara ini didirikan tahun 1954 oleh biksu Amingse Samo Amoyse yang berasal dari Tiongkok (Nurani, 2017).
Tatkala digelar perayaan Cap Go Meh di Kota Bandung, jalanan di depan Vihara Dharma Ramsi biasanya menjadi titik awal pemberangkatan peserta pawai rangkaian Tahun Baru Imlek tersebut. Dari depan vihara ini, peserta pawai bergerak ke utara melewati Kelenteng Satya Budhi, kemudian beralih arah ke Jalan Kebon Jati. Setelah itu masuk ke kawasan Pasar Baru, selanjutnya belok ke Cibadak hingga kembali lagi ke Vihara Dharma Ramsi.
Dua Masjid
Tak cuma kelenteng dan vihara, masjid juga bisa menjadi bukti autentik sejarah ihwal keberadaan etnis dan budaya Tionghoa yang turut mewarnai Kota Bandung. Dua di antaranya adalah Masjid Al-Imtizaj dan Masjid Lautze.
Masjid Al-Imtizaj terletak di sebelah timur Pasar Baru. Tak jauh dari persimpangan Jalan ABC dan Jalan Banceuy. Salah satu tujuan pendirian masjid ini adalah untuk menyatukan komunitas-komunitas muslim Tionghoa yang ada di Kota Bandung (Putra, 2022).
Al-Imtizaj sendiri secara harfiah berarti “pembauran”. Warna merah dan kuning mencolok mendominasi tampilan masjid yang diresmikan pada 2010 itu. Sebuah gapura yang biasa ditemui di bangunan kelenteng kian menegaskan masjid ini bernuansa Tionghoa.
Berbeda dengan Al-Imtizaj, Masjid Lautze yang berlokasi di Jalan Tamblong tidak memiliki gapura. Kendati demikian, nuansa Tionghoa masih tetap kentara. Berdasarkan penelitian Nurjaman dan Gumilar (2021), Masjid Lautze didirikan pada 1997 sekaligus menjadi masjid tertua yang dibangun komunitas muslim Tionghoa yang bermukim di Kota Bandung.
Seperti halnya Al-Imtizaj, warna merah dan kuning juga mendominasi arsitektur Masjid Lautze. Saat saya menyambanginya, sejumlah lampion terlihat menggelantung di bagian depan masjid ini. Keberadaan Masjid Al-Imtizaj dan Masjid Lautze juga menunjukkan etnis dan budaya Tionghoa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan Kota Bandung.
Zaman akan terus berubah. Penduduk Bandung juga semakin bertambah—kini hampir 3 juta jiwa. Meski begitu jejak dan bukti sejarah, termasuk ingatan orang-orang tentang Bandung, perlu terus dirawat agar bisa menjadi jembatan penghubung perjalanan kota di masa silam hingga berkembang seperti sekarang.
Referensi
Kusteja, S. (2012). Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi. Vol. 11, No. 26 (2012), pp. 105–115. https://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/article/view/1095/701.
Nurani, H. (2017). Nilai-Nilai Kerukunan Vihara Dharma Ramsi di Jawa Barat. Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol 1, No. 2 (Maret 2017), pp. 147–153. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v1i2.1357.
Nurjaman, I. M., & Gumilar, S. (2021). Kontribusi Aktivis Mesjid Lautze 2 Bandung dalam Merangkul Mualaf Tionghoa Tahun 2016–2021. Jurnal Iman dan Spiritualitas. Vol 1, No 4, 2021, pp. 429-436. https://doi.org/10.15575/jis.v1i4.13193.
Putra, M. Y. (2022, 6 April). Menilik Masjid Gaya Arsitektur Tionghoa di Jalan ABC Kota Bandung. Diakses pada Februari 2024, dari https://www.ayobandung.com/bandung-raya/pr-793153609/topik-khusus.html.
Rizaldi, D., Abdulkarim, A., & Malik, Y. (2018). Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown Bandung. International Journal Pedagogy of Social Studies. Vol. 3, No. 2, 2018, pp. 133–141. https://doi.org/10.17509/ijposs.v3i2.
Wardhani, M. K., Praseta, A. K., Ramadhan, S., Cahyowati, T. S., & Achsanta, D. N. (2023). STUDY OF LAYOUT, CIRCULATION, AND ORNAMENTS IN TEMPLE BUILDING (Case Study: Satya Budhi Temple, Bandung). Jurnal Arsitektur TERRACOTTA. Vol. 4, No. 2 (2023, pp. 145–155. https://doi.org/10.26760/terracotta.v4i2.8694.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.