TelusuRI mengisi hari pertama Ramadan tahun ini dengan cara tak biasa. Di pinggiran Yogyakarta, kami melihat langsung antusiasme dua sejoli yang hidup di jalan pangan lokal dan seni dengan semangat literasi.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Mauren Fitri, dan Amai Hendrawan
Selepas salat Asar berjamaah, Febri Indra Laksmana (31) dan Rofida Noor Amalia (34) bergegas menuju dapur sembari memakai celemek berwarna gelap. Sesaat lagi pasangan suami istri itu akan memulai salah satu prosesi sakral di Tepikota, yaitu memasak. Satu per satu bahan mentah dan pelbagai bumbu disiapkan.
Sedari siang (12/03/2024), TelusuRI berkunjung ke bangunan bertipe joglo nan sejuk tersebut untuk melihat proses memasak, lalu dipungkasi berbuka puasa menu-menu andalan Tepikota. Menu Ramadan berbeda dengan menu di hari-hari biasa.
Dari katalog menu Ramadan yang dibagikan oleh Tepikota melalui percakapan WhatsApp, kami memesan sejumlah menu berikut: sup tomat daging sapi, sup ikan banyar, kintuk ayam dan pencok ayam (Banten), sayur usik (Rembang), sate udang (Manado), tahu goreng gurih pedas, barongko (Makassar), sumping waluh (Bali), pokak saripu hangat (Madura), teh lemon hangat, es kombucha, es timun, sambal bawang, dan dilengkapi nasi putih.
Sebagian menu tersebut, terutama makanan berat dan camilan, diambil khusus dari buku Mustika Rasa. Sebuah “kitab suci” yang mengumpulkan resep-resep masakan dari berbagai daerah di Indonesia. Edisi pertamanya diluncurkan pada 1967 oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia, atas ide dan instruksi Presiden Sukarno. Komunitas Bambu kemudian merilis cetakan kedua pada 2020 dengan penyusun dan pengantar oleh JJ Rizal, sejarawan Indonesia.
Di tengah harum dan kepulan asap yang menyeruak, sesekali Febri dan Rofida membuka buku yang diletakkan di bawah meja dekat kompor itu. Memastikan takaran bumbunya tepat. Karena sedang berpuasa, tentu mereka tidak bisa mencicipinya. Semuanya mengandalkan feeling.
Kepala saya berkecamuk. Bertanya-tanya, bagaimana bisa dua orang ini melanjutkan hidup dan meyakini renjana masing-masing dalam jenama Tepikota, serta berpedoman pada sebuah buku setebal 1.200-an halaman itu?
Sekilas tentang Tepikota
Tampaknya, kemunculan idealisme dan implementasinya nyaris selalu berawal dari keprihatinan atau keresahan. Begitu pun yang dirasakan Febri dan Rosida.
“Kalau teman-teman jalan jalan saja ke Pasar Sekaten, [coba] makanannya lihat. Pasti takoyaki, terus makanan-makanan Korea itu, semua stan makanannya sama,” ungkap Febri. “Itu sangat mengkhawatirkan bagi kami. Ketika lahir dia sudah terpapar makanan Korea. Itu kan bisa terputus tuh dia akar-akar palet rasanya [dari pangan lokal].”
Tepikota hadir untuk menjawab problem itu. Seolah lahir dari upaya menjaga tujuan hidup tetap lurus dan waras, sekalipun berliku. “Bekerja bersama hati…”, begitu kata Fourtwnty dalam lagu Zona Nyaman. Perjalanannya terbilang tidak instan, tetapi juga tidak terlalu lama untuk bertumbuh. Toh, faktanya hasil yang mereka dapat lebih dari cukup untuk menabung dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Febri dan Rofida berasal dari latar belakang pendidikan maupun profesi yang berbeda. Febri mengenyam studi sarjana ilmu pendidikan seni rupa di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Sementara Rofida, lulus sebagai arsitek dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS).
Garis takdir Tuhan mempertemukan Febri dan Rofida di Rumah Intaran, sebuah studio arsitektur yang didirikan Gede Krisna di Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng. Rofida merupakan pegawai tetap di sana selama tiga tahun, sementara posisi Febri lebih sebagai freelancer. Keduanya kerap terlibat dalam proyek-proyek buku yang diinisiasi Gede Krisna. Rofida ikut menulis, sementara Febri sebagai ilustrator. Beberapa karya yang pernah diterbitkan Rumah Intaran (non-komersial) antara lain: Pengalaman Rasa di Rumah Intaran (2015), Revolusi dari Dapur (2017), Sirap Bambu (2017), Pengalaman Rasa di Pulau Buton (2018), dan Pengalaman Rasa di Tubaba (2020).
Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia menjadi titik balik kehidupan penduduk negeri ini, termasuk Febri dan Rofida. Pada 2020 mereka menikah dan memutuskan untuk tinggal di Jogja, tanah kelahiran Rofida. Lahirlah Tepikota, lalu tak disangka-sangka berkembang dan mulai dikenal banyak orang. Bekas dapur keluarga di sebelah barat rumah orang tua Rofida pun disulap menjadi rumah joglo yang meneduhkan.
Sesuai namanya, tempatnya memang benar-benar di pinggiran kota. Dari titik nol Yogyakarta perlu 17,5 kilometer atau sekitar 40—45 menit perjalanan dengan mobil. Jika naik motor, mungkin bisa 5—10 menit lebih cepat. Letaknya di Dukuh Bejen, Kalurahan Caturharjo, Kapanewon (kecamatan) Sleman. Diapit persawahan hijau, diiringi kecipak aliran kali kecil di dekatnya.
Konsep inti Tepikota adalah tamu melakukan reservasi kuota dan menu sebelum datang, lalu keduanya memasak sesuai pesanan. Mereka membatasi hanya 10 orang per hari. Selain ruang dan meja yang terbatas, tujuannya tak lebih agar tercipta interaksi yang hangat tanpa sekat antara tuan rumah dengan pengunjung.
Sebagai orang yang memang suka ngobrol dan ketemu orang baru, tentu Febri dan Rofida tak canggung dengan konsep seperti ini. Bertukar cerita dan pikiran. Bahkan tak tertutup kemungkinan terjadi kerja sama atau kolaborasi karena yang datang berasal dari latar belakang bermacam-macam. Mulai dari turis, komunitas, hingga akademisi.
“Sampai detik ini pun kami belum tahu definisi Tepikota. Meskipun kami memberikan tagline ‘pangan, seni, dan literasi’ itu pun sebenarnya kami belum bisa menjelaskan secara singkat apa itu Tepikota,” jelas Febri.
“Tapi, setiap orang yang bertanya apa itu Tepikota, ya, silakan datang saja dan rasakan apa yang [bisa] kamu definisikan tentang Tepikota,” Febri berpromosi.
Memadukan cita dan karsa dengan Mustikarasa
Mulanya Tepikota mengulik dan menawarkan masakan khas Jawa Timur-an, terutama Situbondo—kampung halaman Febri—serta Madura, khususnya Sumenep. Masakannya antara lain berupa sayur sambal kacang dan olahan ikan laut santan pedas nan gurih. Sampai akhirnya di kemudian hari Febri dan Rofida terkagum-kagum melihat buku Mustika Rasa berbobot 1,5 kilogram itu.
Pada masanya, inisiatif Sukarno untuk mengabadikan resep masakan dari Aceh sampai Papua memang patut diacungi jempol. Banyak menu yang masih relevan dan bahan-bahannya relatif mudah didapatkan di masa sekarang. Belum lagi jika bicara soal akulturasi budaya yang berbaur dalam satu masakan, mulai dari pengaruh Belanda, Cina, dan Nusantara sendiri.
“Menurut saya [buku] ini harus diapresiasi dan harus dikenalkan ulang,” kata Febri. Bersama sang istri, keduanya pun mencoba mempraktikkan resep-resep tempo dulu agar generasi saat ini bisa mengerti rasa-rasanya.
Bahkan tidak berhenti hanya dengan memasak, keduanya juga memvisualkannya. Febri berusaha “melestarikan” warisan resep itu dengan cara melukis masakan-masakan yang sudah tersaji di atas piring atau mangkuk. Goresan-goresannya begitu detail, seakan-akan nyata seperti dipotret kamera pada umumnya. Hasil karyanya dibantu sang istri dengan bercerita di akun Instagram resmi Tepikota. Sebagai bahan literasi sekaligus promosi.
Dari total sekitar 1.300 resep di Mustika Rasa, Febri dan Rofida baru memasak sekitar 100 di antaranya. Sejauh ini, pasar lokal dan area kebun pribadi menjadi sumber terbesar penyuplai bahan-bahan masakan Tepikota. Meskipun demikian, mereka tidak mau memaksakan diri jika memang mengalami kendala dalam mendapatkan bahan-bahan tersebut.
“Kalau misal bahan-bahannya itu susah, kami skip dulu. Karena memang bahan-bahan yang ada di sekitar kami pun, masih banyak yang belum tereksplorasi,” ujar Rofida.
Bagi Rofida, susah bukan berarti karena daerah penghasilnya yang terbatas. Di era masifnya lokapasar, ia pun bisa membeli bahan-bahan itu secara daring. Namun, itu tidak berarti ia bisa mengolah bahan-bahan tersebut sekenanya karena keterbatasan tutur atau informasi.
Rofida mencontohkan saat memetik jantung pisang mas di kebunnya sendiri. Ibunya berkomentar, “Itu tidak bisa dimasak.” Di saat inilah ia dan Febri menyadari bahwa tidak semua jenis pisang bisa diolah menjadi makanan.
“Yang bisa dimasak itu hanya pisang kepok dan pisang batu,” jelas Rofida. “Dari situ saja kami sudah kayak [merasa] terputus pengetahuannya. Itu baru tipikal [bahan] mana yang bisa dimasak, belum lagi memasaknya.”
Sejumlah suka duka yang dialami kian menambah semangat Febri dan Rofida untuk terus belajar dan mengasah kemampuan diri. Sebagai pelecut itu semua, mengutip pernyataan Febri, betapa jiwa sangat penting untuk dihadirkan dalam masakan. Di Tepikota, kami melihat cita, karsa, dan bahkan selera bisa menyatu bak harmoni alam. Mustika Rasa menjadi jalan keduanya untuk “mendakwahkan” literasi lewat kekayaan pangan lokal dan berbalut seni.
Makan bersama sembari bercengkerama
Tim TelusuRI cukup beruntung datang pada hari pertama puasa. Tidak ada pengunjung selain kami. Rasanya seperti mendapat paket makan malam privat. Kami bisa berinteraksi lebih dekat dengan Febri dan Rofida; mendengar cerita, idealisme, dan gagasan-gagasan yang mereka sampaikan sedari kami dipersilakan duduk dan memulai sesi wawancara.
Beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang, satu per satu hidangan pesanan kami tersaji. Diawali dengan minuman dan kurma untuk membatalkan puasa, lalu disusul menu-menu berat dan camilan lainnya. Hanya ada sebuah meja kayu besar sekitar tiga meter persegi untuk makan dan pengunjung duduk lesehan melingkarinya.
Jenis makanan yang kami pesan, baik itu sayur maupun sup berkuah, cenderung bersantan. Namun, ajaibnya tidak seperti santan yang biasa. Racikan Febri dan Rofida justru membuat cita rasa santan yang kami santap lebih lembut, aman di tenggorokan dan lambung, dan tentu mengenyangkan. Ini adalah hasil terbaik berdasarkan feeling, insting, dan konsep “secukupnya” dalam bahan dan bumbu-bumbu yang dimasukkan.
Sesi buka puasa menjadi gong penutup malam yang cerah. Barangkali salah satu pengalaman berbuka terbaik sejauh ini. Kami tidak hanya kenyang secara fisik, tetapi juga batin yang sarat pengalaman, pelajaran, dan makna hidup dari perjalanan Tepikota; lewat tutur kata maupun visi sepasang suami istri yang bersahaja.
Tepikota
Informasi dan Reservasi: Febri/Rofida (082216335206)
Tim liputan TelusuRI:
Mauren Fitri (Editor in Chief)
Amai Hendrawan (Program Officer)
Rifqy Faiza Rahman (Content Strategist)
Deta Widyananda (Videografer)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.