Sebagai sebuah legenda, tak ada yang aneh dalam kisah Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Karena lazimnya legenda memang acap diliputi oleh fragmen-fragmen yang irasional. Kisah ini sama seperti legenda yang berkembang di daerah lainnya, seperti kisah Malin Kundang yang berubah menjadi batu setelah dikutuk oleh ibunya, hingga Sangkuriang yang menendang perahu sampai berubah menjadi gunung yang kini bernama Tangkuban Perahu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Meski berkaitan dengan peristiwa sejarah, tetapi karena pola transmisinya yang umumnya tidak tertulis, diceritakan dari mulut ke mulut dan tidak diketahui sumbernya (anonim), menjadikan banyak legenda yang mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan kisah aslinya.
Itulah yang menjadikan kisah dalam legenda umumnya berbaur antara mitos dan fakta historis. Sebagaimana dinyatakan oleh Hasanuddin WS seperti dikutip dalam sebuah artikel di Liputan6.com, legenda adalah cerita rakyat yang berisikan tentang tokoh, peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dengan mitos.
Oleh karena itu, legenda sering disebut semihistoris alias tidak merupakan rangkaian cerita yang murni berisi fakta historis. Bahkan tak sedikit legenda yang murni fiksi. Maka, jika legenda hendak dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah, legenda harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya dari yang mengandung sifat-sifat folklornya.
Mempertanyakan Pernikahan Jaka Tarub dengan Bidadari
Sebagai sebuah legenda, kisah Jaka Tarub—atau setelah dewasa populer dengan nama Ki Ageng Tarub—seolah tidak menyimpan problem. Problematik muncul ketika di kehidupan nyata, sosok Ki Ageng Tarub diyakini oleh sebagian umat (Islam) sebagai seorang aulia, yang makamnya didatangi oleh para peziarah dari berbagai daerah, bahkan dijadikan sebagai destinasi wisata religi atau spiritual dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Tidak sedikit peziarah yang meyakini Ki Ageng Tarub merupakan sosok waliyullah dan penyebar agama Islam sebagaimana para wali dalam majelis dakwah Wali Songo.
Di sisi lain, publikasi diri dan kisah hidupnya sejauh ini tidak jelas karena tak lebih dari kisah legenda yang lebih banyak diliputi mitos ketimbang fakta historis. Sejumlah pertanyaan, seperti benarkah Jaka Tarub mencuri selendang atau Jaka Tarub menikah dengan bidadari, sampai sekarang tak kunjung menemukan jawabannya.
Ketika saya berkesempatan wawancara dengan juru kunci makam Ki Ageng Tarub, KRAT Hastono Adinagoro via YouTube pribadi saya pada 2021 lalu, saya mendapatkan keterangan bahwa Jaka Tarub tidak mencuri selendang salah satu bidadari. Alasannya, karena kata “mencuri” memiliki konotasi negatif. Sayangnya, saya tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari juru kunci, seperti bagaimana alur cerita Jaka Tarub bisa menikah dengan bidadari bila ia tidak mengambil selendangnya—sebagaimana terdapat dalam cerita legenda.
Ketika fragmen “mencuri selendang” dihilangkan dari kontruksi cerita sebagaimana dalam legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari yang sudah sangat masyhur, maka alur baru harus direkonstruksi agar ceritanya menjadi runtut dan tidak melompat. Karena saat saya tanyakan terkait kebenaran Jaka Tarub menikah dengan bidadari, juru kunci menjawab dengan tegas: “benar”—sembari menyebutkan hal itu sebagai karomah yang dikaruniakan kepada Ki Ageng Tarub oleh sebab kemuliaannya.
Padahal menurut saya, apabila kita kritis, dalam tinjauan syariat Islam manusia menikah dengan bidadari di kehidupan dunia merupakan sesuatu yang tidak akan pernah ada. Menurut Islam, bidadari hanya ada di surga kelak di kehidupan akhirat. Di dalam Alquran, kata “bidadari” sering digunakan untuk menunjukkan seorang wanita berparas jelita yang dipersiapkan oleh Allah untuk penghuni surga.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah menjelaskan jika bidadari turun ke bumi, ia akan menyinari seluruh langit dan bumi serta memenuhinya dengan aroma yang harum semerbak. “Sekiranya salah seorang bidadari surga datang ke dunia, pasti ia akan menyinari langit dan bumi dan memenuhi antara langit dan bumi dengan aroma yang harum semerbak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis sahih ini menyiratkan kemustahilan penduduk bumi menikah dengan bidadari. Sepanjang sejarah para nabi dan rasul serta para sahabat—yang mereka semua berkedudukan lebih mulia—tak pernah ada yang mendapatkan anugerah menikah dengan bidadari, kecuali jaminan masuk surga kelak di akhirat.
Kenapa makna bidadari harus diletakkan dalam konteks syariat Islam? Karena pada kehidupan nyata, sosok Jaka Tarub disebut-sebut sebagai seorang aulia dan penyebar agama Islam, sehingga makna “bidadari” dalam kisah kehidupannya juga haruslah diletakkan dalam tinjauan syariat Islam.
Tanpa tinjauan syariat Islam pun, dalam sejarah peradaban modern manusia menikah dengan bidadari dari kahyangan merupakan sesuatu yang absurd dan sulit diterima nalar. Kisah Jaka Tarub terjadi di era Kerajaan Majapahit, yang ketika itu peradaban sudah sangat maju. Sehingga peristiwa manusia menikah dengan bidadari dari kahyangan seperti itu tidak bisa diterima nalar, dan menurut saya ahistoris—kecuali diterima sekadar cerita mitologis atau sebuah cerita yang bersifat simbolis.
Menggali Silsilah Ki Ageng Tarub
Selain soal “menikah dengan bidadari”, ada satu persoalan yang menurut saya mendasar dan masih krusial, yaitu terkait silsilah Ki Ageng Tarub. Siapa ayah dan ibunya?
Bila merujuk pada cerita legenda, di antaranya yang ditulis di Babad Tanah Jawi, bayi Jaka Tarub dipungut oleh seorang janda dan dipelihara. Setelah berumur tujuh tahun, kelihatan tampan. Teman sepermainannya sangat sayang kepadanya. Kegemarannya nulup—istilah untuk menyebut berburu burung dengan tulup atau sumpit—ke hutan.
Dalam buku-buku babad tidak disebutkan siapa nama orang tua Jaka Tarub. Namun, dalam kajian historis saya mencatat setidaknya dua versi silsilah Jaka Tarub.
Pertama adalah silsilah Ki Ageng Tarub menurut versi yang paling umum, sekaligus versi yang dipegang oleh KRAT Hastono Adinagoro. Menurut versi ini, Ki Ageng Tarub adalah putra dari Syekh Maulana Maghribi dengan Dewi Rasa Wulan, putri Tumenggung Wilwatikta dan adik kandung Raden Mas Syahid alias Sunan Kalijaga.
Lalu versi kedua adalah silsilah Ki Ageng Tarub yang dikemukakan oleh Damar Shashangka dalam novel sejarah karyanya yang berjudul Sabda Palon, Kisah Nusantara yang Disembunyikan (2011). Di dalam buku tersebut, Damar Shashangka menyebutkan Ki Ageng Tarub yang bernama kecil Kidang Telangkas adalah putra dari Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah.
Kedua versi itu saling beririsan karena keduanya menyebutkan ayah kandung Ki Ageng Tarub adalah Syekh Maulana Maghribi. Bedanya terletak pada nama ibu kandungnya. Baik itu versi KRAT Hastono Adinagoro maupun Damar Shashangka, keduanya menyebutkan bahwa pertemuan dengan Syekh Maulana Maghribi terjadi saat Dewi Rasa Wulan atau Dewi Retna Dumilah sedang melakukan tapa ngidang. Namun, dari sisi konstruksi cerita, Damar Shashangka lebih detail dalam mengulas cerita silsilah Ki Ageng Tarub sehingga alur historisnya lebih jelas.
Menurut Damar Shashangka, Dewi Retna Dumilah adalah putri bungsu Adipati Tuban, Arya Adikara. Dia adalah adik dari Raden Ayu Teja. Dewi Retna Dumilah sendiri bertemu dengan Syekh Maulana Maghribi di sebuah hutan saat dirinya sedang menuruti perintah ayahnya melakukan tapa ngidang, yaitu bertapa mengikuti cara hidup seekor kijang (dalam bahasa Jawa disebut kidang); makan hanya dedaunan muda, minum langsung dari sumber air, selama tujuh bulan.
Di hutan itulah Dewi Retna Dumilah bertemu Syekh Maulana Maghribi. Keduanya berkomunikasi dan berinteraksi, hingga saling jatuh cinta. Apalagi setelah tahu bahwa mereka satu agama, karena ayah Dewi Retna Dumilah juga sudah lama memeluk Islam.
Damar Shashangka menyebutkan, keislaman Dewi Retna Dumilah bermula dari kakaknya, Raden Ayu Teja, yang dinikahi oleh seorang Cina muslim, bangsawan dari Dinasti Ming bernama Haji Gan Eng Chu. Nama Islamnya adalah Haji Abdulrahman.
Haji Gan Eng Chu ditempatkan di Tuban oleh Raja Kauthara, Bong Tak Keng, untuk memimpin para Cina muslim di sana. Sebelumnya, Haji Gan Eng Chu bertugas di Manila. Semenjak perkawinan antara Haji Gan Eng Chu dengan Raden Ayu Teja inilah, mertuanya, Adipati Arya Adikara, tertarik untuk memeluk Islam.
Tak jauh dari lokasi pertemuan antara Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah, hidup seorang bekas murid Syekh Jumadil Kubro yang kemudian membantu menikahkan keduanya. Resmilah Syekh Maulana Maghribi dan Dewi Retna Dumilah menjadi pasangan suami istri.
Keduanya tinggal di gubug sederhana, hingga Dewi Retna Dumilah hamil. Akan tetapi, karena ketakutan sebab secara tidak langsung telah melanggar perintah ayahnya untuk bertapa ngidang, beberapa waktu kemudian ia pun memutuskan pulang ke Tuban. Hingga kemudian Dewi Retna Dumilah kembali datang menyerahkan bayinya kepada Syekh Maulana Maghribi, lalu Dewi Retna Dumilah balik ke Tuban.
Karena merasa tidak bisa mengurus bayi itu, maka Syekh Maulana Maghribi menaruh bayi mungil yang diberinya nama Kidang Telangkas ke dalam peti emas berukir indah pemberian Dewi Retna Dumilah. Ditaruhlah peti berisi bayi itu di tempat seorang janda pemimpin dukuh itu biasa datang di pusara suaminya yang telah lama meninggal.
Bayi itu pun kemudian ditemukan oleh sang janda, Nyi Ageng Kasihan, dan kemudian merawatnya dengan penuh kasih sayang layaknya anak kandungnya sendiri. Di dalam peti itu, Syekh Maulana Maghribi menulis pesan di selembar daun lontar agar bayi tersebut diberi nama “Kidang Telangkas”.
Yang menarik dari silsilah Ki Ageng Tarub, sebagaimana diungkap Damar Shashangka, ternyata Ki Ageng Kasihan, suami dari Nyi Ageng Kasihan yang menemukan dan merawat bayi Kidang Telangkas, merupakan kakek buyut Jaka Tarub.
Menurut Damar Shashangka, nama asli Ki Ageng Kasihan adalah Ki Arya Penanggungan, seorang bangsawan dari Kerajaan Pajajaran. Saat terjadi konflik antarsaudara, Ki Arya Penanggungan memilih hijrah dari Pajajaran ke Majapahit melalui jalur laut dan mendarat di Tuban. Saat itu, Ki Arya Penanggungan membawa seorang anak yang dititipkan kepada pembesar Tuban.
Ki Arya Penanggungan sendiri memilih menyembunyikan jati dirinya. Ia masuk ke pedalaman Jawa dan menetap di wilayah ini. Ia menikahi Nyi Ageng Kasihan yang kemudian menjadi ibu angkat Ki Ageng Tarub. Dari pernikahan ini, Ki Arya Penanggungan atau Ki Ageng Kasihan tidak memiliki anak hingga wafat.
Adapun anaknya yang ditinggalkan di Tuban mengabdi sebagai pejabat di sana dan berhasil menikahi keturunan Adipati Ranggalawe, bahkan kemudian berhasil menduduki takhta Kadipaten Tuban. Putra Ki Ageng Kasihan terkenal dengan gelar Adipati Arya Adikara, yang tak lain adalah ayah kandung Dewi Retna Dumilah, dan tentu juga kakek Kidang Telangkas alias Jaka Tarub alias Ki Ageng Tarub. Bila merujuk pada silsilah ini, Ki Ageng Tarub yang kelak dikenal sebagai penurun raja-raja Mataram Islam, memiliki darah Sunda dari kakek buyutnya itu.
Yang menarik lagi adalah hubungan antara Dewi Rasa Wulan dengan Dewi Retna Dumilah yang ternyata memiki hubungan ibu-anak. Sejumlah literatur menyebutkan, Sunan Kalijaga adalah putra seorang adipati Tuban dan ibu bernama Dewi Retna Dumilah.
Yudi Hadinata, misalnya, dalam buku Sunan Kalijaga: Biografi, Sejarah, Kearifan, Peninggalan, dan Pengaruh-pengaruhnya (2015) menyatakan bahwa Sunan Kalijaga diperkirakan lahir sekitar tahun 1430-an karena menikah dengan putri Sunan Ampel pada usia 20-an tahun, sementara Sunan Ampel saat itu berusia 50-an tahun. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga lahir pada 1450 atau 1455. Ia mempunyai ayah bernama Tumenggung Wilwatikta dan ibu bernama Dewi Retna Dumilah.
Menurut Damar Shashangka, setelah menyerahkan bayi Kidang Telangkas kepada Syekh Maulana Maghribi, Dewi Retna Dumilah menikah lagi dengan Adipati Tuban yang terkenal dengan gelar Adipati Wilwatikta. Sehingga dari silsilah versi Damar Shashangka ini, antara Ki Ageng Tarub dengan Sunan Kalijaga dan Dewi Rasa Wulan masih ada hubungan saudara tiri. Seibu lain ayah.
Dari ulasan ini, manakah yang lebih valid (sahih) dari dua versi silsilah Ki Ageng Tarub tersebut? Wallahu a’lam. Perlu kajian dan riset lebih mendalam lagi.
(Bersambung)
Referensi
Abdi, Husnul. (2022, April 25). Legenda adalah Cerita Rakyat yang Berhubungan dengan Sejarah, Kenali Jenis-jenisnya. Liputan6. https://www.liputan6.com/hot/read/4947886/legenda-adalah-cerita-rakyat-yang-berhubungan-dengan-sejarah-kenali-jenis-jenisnya?page=3.
Hadinata, Yudi. (2015). Sunan Kalijaga: Biografi, Sejarah, Kearifan, Peninggalan, dan Pengaruh-pengaruhnya. Yogyakarta: Dipta.
Shashangka, Damar. (2011). Sabda Palon, Kisah Nusantara yang Disembunyikan. Jakarta: Dolphin.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia