Sebagai seorang mahasiswa ilmu purbakala, museum sudah menjadi tempat wisata wajib untuk dikunjungi. Selain menjadi tujuan melepas penat, tak jarang banyak tugas kuliah yang juga mewajibkan kami, para mahasiswa untuk mengambil data di museum. Salah satu museum yang jadi langganan tentu saja Museum Nasional—atau banyak yang mengenalnya sebagai Museum Gajah.
Mungkin bagi sebagian orang aneh rasanya harus datang ke museum yang sama berkali-kali. Apalagi bisa dibilang koleksi di museum tersebut hampir tak pernah berubah. Dan dengan pede-nya saya selalu bilang ini bukti cinta, atau mungkin sebenarnya semacam kegilaan. Namun, kalaupun harus dianggap gila, saya tak akan menyangkal karena memang museum yang satu ini punya daya tarik sendiri secara personal.
Salah satu sumber kegilaan itu adalah koleksi arca di Museum Nasional. Meskipun terkesan diletakkan dan ditata ala kadarnya di sepanjang lorong, tetapi selalu membuat saya betah berlama-lama di dalamnya. Dan kegilaan ini makin menjadi ketika berada di selasar bagian barat; ada beberapa arca dari era Klasik Muda tersimpan di sana. Saya rasa wajar jika saya bisa menghabiskan waktu beberapa menit untuk memandang sebuah arca. Apalagi kondisinya yang relatif baik, berukuran besar, dan detail pengerjaannya tidak main-main.
Saya ingat selalu bercerita ada sebuah arca, Harihara namanya, yang sebenarnya sering dijumpai karena menjadi logo universitas ternama di Kota Malang. Arca tersebut sering dianggap wujud dari Raja Brawijaya. Padahal berdasarkan penelitian, Harihara adalah penggambaran sosok Raja Kertarajasa Jayawardana alias Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit yang telah mangkat.
Namun, bagi saya pribadi, arca Harihara bukanlah bagian terbaik untuk dikagumi. Masih di selasar yang sama, ada mahakarya yang selalu membuat saya betah memandangnya lama sambil berujar, “Andai bisa kembali ke masa lalu, arca inilah yang paling ingin aku lihat dalam kondisi utuh.”
Sayang memang, kondisi arca ini sudah rusak. Akan tetapi, dengan segala ketidaksempurnaannya, keindahan arca tersebut berada pada level yang berbeda.
Arca Durga dari Singosari
Durga Mahisasuramardini. Bisa dibilang arca yang cukup mainstream, karena dia adalah salah satu pantheon utama dalam ajaran Shaiva (kultus terhadap Dewa Syiwa)—dahulu memang jadi kultus yang banyak dipeluk oleh raja-raja Jawa. Bahkan sosok patung Roro Jonggrang yang terkenal dari percandian Prambanan, sejatinya adalah arca Durga yang disalahtafsirkan sebagai wanita yang dikutuk menjadi batu. Sebab arca Roro Jonggrang ini memiliki detail yang luar biasa. Namun, kemolekan Roro Jonggrang pun bagi saya pribadi masih kalah dengan arca Durga yang ada di Museum Nasional ini.
Sosok Durga satu ini punya pose yang lebih garang dengan posisi kaki mengangkang. Berbeda dengan kebanyakan arca Durga, termasuk arca Roro Jonggrang, yang digambarkan berdiri anggun di atas iblis lembu yang ia kalahkan.
Seperti halnya arca Durga lain, ia digambarkan memiliki empat pasang tangan. Sepasang digunakan untuk memegang ekor lembu raksasa dan menarik iblis yang merasukinya, dan tiga pasang lainnya ia gunakan untuk memegang enam senjata berbeda: pedang, gada, trisula, cakra, perisai, dan kulit kerang.
Sayang, hanya perisai yang ia pegang di salah satu tangan kirinya yang masih bertahan. Lima senjata lainnya sudah tidak ada, dan bahkan beberapa tangannya pun dalam kondisi rusak. Namun, perisai ini jugalah yang membuat saya begitu mengagumi keindahannya. Perisai tersebut dibuat dalam ukuran besar dengan bentuk lonjong dan penuh detail di bagian muka perisainya. Kebanyakan arca Durga biasanya menampilkan bentuk perisai bulat dengan ukuran kecil tanpa ada detail yang terlihat menonjol.
“Jika perisainya saja dibuat dengan detail seindah ini, bagaimana jika lima senjata lainnya masih ada?” batin saya. Anda pasti sepakat dengan pikiran saya bukan?
Hal lain yang menarik juga dari arca Durga tersebut adalah cerita di baliknya. Ia jadi bukti adanya sebuah kultus unik yang dianut oleh raja-raja di Jawa Timur saat itu—khususnya di era Singosari—bernama Bhairava. Berbeda dari ajaran Shaiva secara umum, di ajaran ini pemeluknya akan melakukan beberapa ritual yang cenderung dianggap tabu, seperti minum minuman keras, berhubungan badan, dan memakan berbagai daging, termasuk daging manusia.Di India sendiri saat ini ada sebuah sekte Bhairava bernama Aghora yang masih melakukan ritus-ritus ala ajaran Bhairava, termasuk kanibalisme.
Namun, di luar ritual keagamaannya yang mengerikan, raja Singosari pemeluk Bhairava tampaknya punya selera seni yang begitu tinggi. Dan ini tidak hanya tergambar di arca Durga saja, tetapi hampir semua arca di masa Singosari. Di samping arca Durga tadi misalnya, ada arca Ganesha yang juga punya detail yang sangat indah. Baik arca Durga maupun Ganesha ini sama-sama punya ciri khas, yaitu ornamen tengkorak dan bulan sabit sebagai simbol aliran Shiva Bhairava yang hanya ditemukan di arca-arca era Singosari.
Harapan yang Terwujud
Sepertinya ada satu hal yang lupa saya ceritakan di awal. Koleksi yang dimiliki Museum Nasional sebelumnya adalah replika! Artefak aslinya sudah dibawa oleh seorang pejabat Belanda sekaligus kolektor barang antik sejak awal abad ke-19. Arca-arca ini dicungkil dan diambil paksa dari Candi Singhasari dan mengakibatkan kerusakan permanen di badan candi.
Namun yang menggembirakan, tahun ini pemerintah berhasil melakukan repatriasi—pengembalian koleksi sejarah ke Indonesia. Dari sekian koleksi yang berhasil dipulangkan, di antaranya adalah arca-arca Singosari, termasuk arca Durga. Berita yang berembus membuat saya sangat bersemangat untuk bisa melihat arca-arca asli, yang selama ini saya kagumi lewat replika-replikanya secara langsung.
Harapan saya sempat putus ketika Museum Nasional mengalami kebakaran hebat beberapa waktu lalu. Meskipun dipastikan koleksi hasil repatriasi dalam kondisi aman, tetapi insiden itu jelas membuat hegemoni keberhasilan pemulangan koleksi berharga kita jadi tertunda.
Saya sendiri awalnya tidak berharap bisa melihat arca-arca itu dalam waktu cepat. Mungkin setidaknya sampai tahun depan. Ternyata perkiraan saya meleset. Koleksi hasil repatriasi akhirnya dipamerkan awal Desember kemarin. Meskipun tidak dilaksanakan di Museum Nasional—yang tentu saja masih berbenah—melihat arca-arca Singosari asli secara langsung ternyata bisa memantik sedikit rasa haru. Saya sendiri sampai memesan dua kali kunjungan demi bisa lebih puas melihat arca-arca ini; dan koleksi lainnya tentu saja.
Mari kita berharap proses pembenahan Museum Nasional bisa segera selesai, agar koleksi-koleksi berharga tersebut bisa dinikmati kembali oleh publik.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.