Api yang sering melalap gambut memaksa masyarakat Negeri Istana bernapas dengan abu. Di permukaan air hitam, muncul isyarat ikan gabus sebagai juru selamat.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Riau pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terparah pada 2015. Ratusan ribu hektare lahan membara. Asapnya tidak hanya menyelimuti langit Riau dan provinsi tetangga, tetapi juga Malaysia dan Singapura.
Tahun itu sedang berlangsung El Nino. Fenomena El Nino mengurangi curah hujan dan memicu kemarau panjang dari pertengahan tahun sampai November 2015. Selain anomali iklim, ulah manusia yang membakar untuk penyiapan lahan perkebunan jadi faktor pemicu terbesar. Biasanya dilakukan dalam skala besar (selevel korporasi).
Titik api hampir tersebar ke seluruh kabupaten di Riau. Tidak terkecuali Siak. Dari luas daerah sekitar 8.500 kilometer persegi, 57 persen wilayahnya tertutup lahan gambut.
Karhutla saat puncak musim kering menyengsarakan lingkungan hidup. Muram. Ribuan hektare kawasan hutan dan lahan gambut terdegradasi. Berhari-hari tidak terlihat langit biru. Jarak pandang terbatas. Kualitas air memburuk. Udara begitu pekat dan mengandung partikel berbahaya.
Masyarakat juga menderita. Berbagai masalah kesehatan muncul, di antaranya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit, penyakit mata, asma, dan pneumonia. Aktivitas pendidikan, perkantoran, hingga kegiatan usaha pun terganggu.
Lelah bergelut dengan kabut asap, sekelompok anak muda di kabupaten berjuluk Negeri Istana itu kemudian membuat gebrakan segar. Alih-alih turun ke jalan mendemo pemerintah, yang dilakukan lebih elegan, terukur, dan anti mainstream.
Tidak tanggung-tanggung. Mereka mendirikan perusahaan berbasis komunitas dengan nama Alam Siak Lestari. Tujuannya merestorasi gambut, sekaligus menghasilkan produk-produk ramah gambut bernilai ekonomi tinggi. Cita-cita besar yang lahir dari eksistensi ikan gabus yang bahkan sempat terabaikan oleh habitatnya sendiri.
Ekonomi restoratif ala Alam Siak Lestari
“Resminya kami berdiri tahun 2021, tapi risetnya sudah dilakukan jauh lebih dulu,” kata Musrahmad alias Igun (39), Direktur PT Alam Siak Lestari (ASL).
Sesuai namanya, ASL berkiprah di sektor bisnis lestari. Fokusnya melakukan budidaya ikan gabus di lahan gambut dan memproduksi albumin dari ikan gabus. Pengembangan usaha tersebut dilakukan berbasis riset ilmiah.
Bisnis lestari yang diusung ASL bersumber dari keresahan Igun terhadap bencana karhutla yang melanda Siak. “Kami tidak bisa terhindar dari gambut. Kami harus mencari solusi bersama agar bisa hidup berdampingan dengan gambut,” jelas Igun.
Menurut definisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa, lahan gambut merupakan tanah hasil penumpukan bahan organik melalui produksi biomassa hutan hujan tropis. Gambut terbentuk dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk di dalam tanah.
Wetlands International mencatat Indonesia memiliki 20,6 juta hektare lahan gambut. Tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Terluas di Asia Tenggara. Namun, potensi besar gambut untuk penyimpan karbon dan sumber energi alternatif kian tergerus degradasi lahan. Seperti persis terjadi di Siak. Dari peran penyelamat iklim justru menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang besar.
Melihat kenyataan miris itu, Gun dan tim lekas bergerak. Langkah awal terpenting adalah mencari berbagai sumber pendanaan. ASL mendapatkan dana hibah—gabungan beberapa organisasi nirlaba maupun lembaga filantropi—berupa sarana fisik (laboratorium dan perangkatnya). ASL juga menyertakan modal yang dihimpun dari masyarakat maupun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang menegaskan saham perusahaan tersebut menjadi milik masyarakat.
Puncaknya pada 2021 ASL memenangkan dua nominasi penghargaan internasional dalam MIT SOLVE di Amerika Serikat, yaitu MIT Solver Team kategori Resilient Ecosystems (Ekosistem Tangguh) dan GM Prize Award dari General Motor. ASL termasuk dalam tujuh perusahaan rintisan terbaik dari 88 finalis dari 1.800 pendaftar di 128 negara.
Saat itu, sebagai satu-satunya peserta dari Indonesia, ASL mengajukan rencana solusi berjudul “HEAL (Healthy Ecosystem and Alternative Livelihood Fisheries)”, melindungi lahan gambut dengan budidaya ikan gabus dan produksi komoditas turunan ramah gambut. Hadiah uang sebesar US$ 75.000 berhak dibawa pulang.
“Itu kami hemat-hemat sampai sekarang [untuk biaya operasional],” terangnya.
Namun, ia memastikan penggawa ASL digaji layak sesuai standar upah minimum daerah setempat. Saat ini tenaga kerja yang terserap ada 17 orang staf dengan usia rata-rata di bawah 30 tahun. Igun ingin menunjukkan bahwa anak-anak muda Siak mampu untuk berkarya di tempatnya sendiri, dengan kualitas nasional dan global.
Selain operasional perusahaan, sumber pendanaan tersebut digunakan untuk penelitian, pemberdayaan masyarakat, dan produksi. Setelah melalui proses riset yang panjang, ASL menemukan solusi restoratif dari ikan gabus (Channa striata). Ikan predator air tawar yang kaya albumin (protein) dan bernilai ekonomi tinggi.
Konsepnya adalah menempatkan ikan gabus dalam kanal-kanal air di areal lahan gambut. Tujuannya sederhana, agar sumber air terjaga dan lahan gambut tetap basah. Masyarakat digandeng sebagai mitra untuk membudidayakan ikan gabus. Dampak ekonomi yang dirasakan adalah keuntungan dari penjualan ikan gabus sebagai bahan baku produk ramah gambut yang nantinya dibuat ASL.
“Tidak bisa tidak. Menyelamatkan gambut adalah usaha yang harus melibatkan masyarakat, karena mereka tinggal di sekitar lahan gambut,” Gun memperjelas skema bisnis ASL, “makanya yang melakukan budidaya [ikan gabus] di lahan gambut harus masyarakat.”
Sejauh ini terdapat tiga desa mitra ASL untuk budidaya ikan gabus berbasis masyarakat, yaitu Bunsur (Kecamatan Sungai Apit), Buantan Besar (Kecamatan Siak), dan Dayun (Kecamatan Dayun). Budidaya ikan gabus di ketiga desa tersebut masih dilakukan di kolam dekat lahan gambut. Ke depan ASL hendak mendekati dua desa mitra lagi di Siak, yang akan praktik langsung budidaya di lahan gambut.
Pengembangan budidaya bukan berarti tanpa kendala. Kendala yang terjadi biasanya kesibukan masyarakat di mata pencaharian lain, sehingga ikan gabus kadang lupa diurus secara intensif. Terkadang masyarakat juga fokus pada hal lain, yaitu pembibitan ikan gabus untuk keperluan sampingan.
Tidak ada cara lain untuk mengatasi tantangan tersebut, kecuali terus melakukan pendekatan dan pendampingan kepada masyarakat. Menjaga semangat dan meyakinkan peluang pasar terbuka lebar untuk ikan gabus dan produk turunannya, sekaligus menegaskan kontribusi positif pada restorasi gambut.
Nilai plus ikan gabus
Selain sebagai senjata andalan untuk merestorasi gambut, ikan gabus juga dijadikan ASL sebagai bahan baku pembuatan produk suplemen, karena kandungan albumin di dalamnya sarat protein tinggi. Meski belum bisa memastikan persisnya, Igun menyebut ada sekitar lebih dari 40 jenis atau subspesies ikan gabus endemik di Siak.
Pemilihan ikan gabus tidak hanya berdasarkan pertimbangan ilmiah saja. Menurut Gun, kearifan lokal suku Melayu yang ada di Siak juga menjadi inspirasi dan dasar riset ASL.
“Di budaya Melayu, ibu-ibu setelah melahirkan itu terbiasa mengonsumsi ikan gabus [yang dikukus] untuk mempercepat penyembuhan luka,” ungkap Igun. Dalam pengamatannya, ibu-ibu di Siak makan ikan gabus hasil pengukusan biasa saja, tidak dengan olahan masakan yang rasanya enak. Pun tidak dibumbui macam-macam.
Pemahaman budaya lokal tentang khasiat ikan gabus tentu mengejutkan. Tidak hanya sebagai menu makanan rumah tangga, tetapi juga penyembuh luka setelah persalinan. Warisan pengetahuan medis tradisional tersebut seolah melampaui hasil penelitian kesehatan modern.
Salah satu produk unggulan ASL adalah kapsul ekstrak ikan gabus dengan merek “Albugo”. Albugo telah lulus sertifikasi halal dan BPOM. Di lokapasar, tersedia dua varian premium dalam kemasan botol, yaitu isi 30 kapsul dan isi 60 kapsul, dengan kandungan 15—17 persen albumin per botol. Setiap 500 miligram kapsul berisi 25 mg ekstrak ikan gabus dan 460 mg tepung ikan gabus.
Formula yang sudah teruji klinis tersebut memiliki sejumlah manfaat, yaitu mempercepat proses penyembuhan luka pascapersalinan, luka bakar, luka diabetes, dan membantu terapi pasien gangguan ginjal yang mengalami hipoalbumin. Kemudian juga meningkatkan sistem imun (daya tahan tubuh). Kadar albumin dan globulin di dalamnya memproduksi lebih banyak antibodi.
Meskipun sudah tersedia secara daring, Igun mengutamakan Albugo hadir di masyarakat Siak terlebih dahulu. ASL telah memasukkan produk ini ke apotek-apotek di seluruh kecamatan di Kabupaten Siak. “Harus orang Siak sendiri yang menikmati produk berkualitas ini,” katanya.
Adapun tepung ikan, yang dihasilkan dari serpihan daging dan kulit ikan sisa proses ekstraksi albumin cair, memiliki khasiat bagus untuk memperbaiki gizi. Terutama pada bayi, anak-anak, dan ibu hamil. Tepung ikan tersebut sempat dibawa Pemkab Siak sebagai inovasi produk penanganan stunting di tingkat provinsi.
“Sekarang ini kami kerja sama dengan pemerintah [untuk] mengatasi stunting menggunakan produk tepung ikan berprotein tinggi,” kata Igun.
Untuk menghasilkan produk berkualitas secara konsisten, ASL menerapkan standar tinggi terhadap ikan gabus yang digunakan sebagai bahan baku.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menyeleksi ikan berdasarkan ukuran. Rentang bobot setiap ikan gabus yang akan diambil berkisar 400—700 gram. Dipanen dari lahan budidaya yang sudah berusia 8—10 bulan.
Selanjutnya ASL membatasi pasokan ikan gabus per bulan maksimal 250 kilogram. Meskipun beberapa nelayan mitra ASL menyebut mampu menyuplai satu ton per bulan, Igun menolak. Alasannya, “Kita enggak mau di situ terjadi overfishing.”
Pembatasan juga berlaku pada periode pengambilan stok ikan. Dalam satu tahun, ASL hanya mengambil ikan selama tujuh bulan beruntun. Sisa lima bulan kemudian digunakan untuk proses recovery ikan gabus di alam.
Dari ketentuan seketat itu saja, ASL bisa menghasilkan beragam produk turunan dari ikan gabus. Tidak ada bagian yang terbuang sia-sia.
Misalnya, sisik ikan. Ada sebuah perusahaan partner ASL yang membantu mengubah sisik menjadi kolagen. Produk kolagen yang dihasilkan bermanfaat untuk merawat sel kulit manusia. Kemudian kepala dan isi perut ikan. Dari yang tadinya hanya limbah, diolah menjadi pupuk cair dan padat untuk penyubur tanaman. Satu-satunya yang akhirnya jadi limbah pun hanya berupa air cucian ikan.
Igun mengungkapkan, sebenarnya masih banyak kandungan yang belum dieksplorasi lebih lanjut dari ikan gabus. Tim di laboratorium ASL sempat melihat sejumlah potensi, di antaranya omega-3, omega-9, lalu edible film—pengemas makanan alami seperti plastik yang bisa dimakan.
Siapa sangka, obat terbaik untuk meredam murka gambut, memperbaiki luka persalinan, mencegah gizi buruk, menyuburkan tanah, bahkan menaikkan taraf hidup masyarakat, asalnya dari hanya satu tubuh ikan gabus. Realitas ini seakan meneguhkan hukum bumi, bahwa apa pun yang diambil dari alam akan kembali ke alam.
Tantangan besar untuk tujuan besar
Visi besar Alam Siak Lestari untuk merestorasi gambut di Siak menghadapi tantangan berat. Sebagai sebuah terobosan baru, bukan perkara mudah mengubah pola pikir masyarakat. Jamak terjadi di banyak tempat. Masyarakat umumnya cenderung menunggu bukti atau hasil yang menguntungkan.
“Biasanya kalau [masyarakat] ingin makan ikan gabus tinggal pancing, tangkap, atau beli. Jadi, bukan kebiasaannya untuk melakukan budidaya,” terang Igun, “ini tantangan pertama [karena] masyarakat tidak langsung percaya atau tidak langsung mau budidaya ikan gabus di lahan gambut.”
Kondisi itu membuat Alam Siak Lestari tidak bisa serta-merta menerapkan program lestari secara langsung. Pendekatan awal yang dilakukan antara lain mengetahui terlebih dahulu kemauan masyarakat. Salah satunya meminta dibuatkan dalam bentuk kolam ikan biasa dan dibangun di dekat rumah. Tujuannya agar lebih mudah mengawasi, karena rumah mereka tidak selalu dekat dengan lahan gambut.
“Pemikirannya mereka seperti memelihara ayam saja sebagai usaha sampingan. Tidak difokuskan [restorasi],” jelas Igun, “itu proses yang terjadi sekarang dan kami ikuti.”
Pada saat bersamaan Alam Siak Lestari berkejaran dengan waktu. Tantangan terbesarnya adalah berkomunikasi dengan masyarakat, membuat produk berkualitas, melakukan program restorasi, dan menghasilkan pendapatan maksimal secara beriringan.
Igun mengakui tidak semua orang menganggap bisnis lingkungan atau bisnis lestari sebagai sorotan utama. Ada pertanyaan-pertanyaan di benak masyarakat, utamanya soal kualitas produk dan keterjangkauan harga. Penetrasi pasar untuk jenis bisnis semacam ini memang tidak segampang produk mainstream lainnya.
Di samping itu fasilitas ruangan kantor yang sedang digunakan saat ini masih berstatus sewa. Laboratorium riset dan kapasitas produksi pun masih jauh dari kata memadai.
“Tapi bisnis tetaplah sebuah bisnis,” Igun mengingatkan. Walaupun memiliki visi restorasi gambut dan tujuan lingkungan lainnya, Alam Siak Lestari harus mengejar keuntungan bisnis. Tak ada alasan yang lebih utama selain hasilnya diputar dan digunakan kembali ke restorasi gambut dan masyarakat.
Satu-satunya jalan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah melakukan riset dan inovasi terus-menerus. Tidak hanya memproduksi albumin yang sekarang beredar di pasaran, tetapi juga menghasilkan produk turunan yang potensinya sangat banyak. Di tengah keterbatasan, Igun tak mau putus harapan.
Setidaknya kiprah ASL sudah terasa nyata untuk mengubah Siak lebih baik. Indikator itu, menurut Igun, bisa dilihat dalam lima sasaran utama yang ditetapkan dalam Perbup Nomor 22 Tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau.
“Dari hasil impact reporting yang kami lakukan di 2023, ada empat dari lima sasaran Siak Hijau itu terpenuhi,” klaimnya. Keempat sasaran tersebut adalah menekan tingkat kerusakan gambut, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lestari dan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya alam yang tidak merusak fungsinya, dan keselarasan kebijakan konservasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sasaran kelima, menanggulangi kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan, pemberdayaan perekonomian pedesaan, pembangunan sektor ketenagakerjaan serta pemerataan dan pengendalian kependudukan; mengutip pernyataan Igun, harus dikolaborasikan lebih erat bersama Pemkab Siak.
“Saya ingin bisnis ini tetap berjalan sampai ratusan tahun, [dan] tujuan-tujuan lingkungannya juga tetap tercapai,” harap bapak empat anak itu.
Ia mengharapkan Alam Siak Lestari tidak hanya ada di Siak, tetapi juga di daerah lain. Bukan berarti Alam Siak Lestari membuka cabang baru, melainkan mengajak anak-anak muda membentuk perusahaan-perusahaan riset dengan semangat dan tujuan serupa.
“Alam Siak Lestari bukan bertujuan menguasai pasar dan menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Perkembangan Alam Siak Lestari tergantung pada seberapa besar usaha restorasi dan penyelamatan hutan yang kami lakukan,” tegasnya.
Bertumbuhnya bisnis Alam Siak Lestari diharapkan berkelindan dengan rencana capaian di masa mendatang. Pertumbuhan luasan lokasi restorasi gambut, peningkatan taraf hidup masyarakat, serta dampak sosial dan lingkungan lainnya.
“Mudah-mudahan makin banyak anak muda Siak yang bisa bergabung di Alam Siak Lestari. Bergerak bersama untuk kebaikan bersama,” pungkasnya. (*)
Foto sampul:
Sampel ikan gabus di dalam akuarium yang dirawat di kantor PT Alam Siak Lestari, Kabupaten Siak/Deta Widyananda
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.