Selama ratusan tahun, norma adat menjadi acuan hidup turun-temurun masyarakat Tanjung Beringin. Pelestarian tradisi di masa depan jadi tantangan.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Sebagai salah satu desa di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling, topografi kampung Tanjung Beringin cukup unik. Posisinya berada di sudut siku belokan ke arah hulu aliran Sungai Subayang. Di muka gapura desa, terhampar pulau penuh batu yang saat surut terlihat jelas. Menjadikan jalur piyau menyempit hampir sepertiganya.
Perkampungan Tanjung Beringin terbagi menjadi dua lokasi. Kawasan paling padat terletak di sisi barat sungai. Masjid besar dan gedung sekolah dasar ada di sini. Sementara kantor kepala desa, lapangan sepak bola, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berada di timur sungai. Saat ini sudah tersambung dengan jembatan gantung sepanjang 100 meter, bantuan dari Pemerintah Kabupaten Kampar.
Rata-rata penduduk Tanjung Beringin berprofesi sebagai petani sayur, karet, dan tanaman nonkayu lainnya, seperti petai. Sisanya menjadi wiraswasta, nelayan, pegawai pemerintah, tenaga pendidik, dan pedagang. Sebagian di antara mereka tidak bekerja di desanya sendiri, tetapi di pusat kecamatan maupun Bangkinang, ibu kota Kabupaten Kampar.
Tanjung Beringin merupakan bagian dari Kerajaan Gunung Sahilan, yang diperkirakan berdiri sekitar abad ke-17. Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan pun tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung, yang dahulu eksis di bagian tengah Sumatra. Sekarang wilayahnya menjadi Sumatra Barat, sebagian Riau, dan sisanya pesisir barat Sumatra Utara.
Salah satu jejak tersisa Kerajaan Gunung Sahilan saat ini adalah bangunan Istana Darussalam dengan arsitektur serba kayu dan semi panggung yang terletak di Dusun Koto Dalam, Desa Sahilan Darussalam, Kecamatan Kampar Kiri. Kini bekas tempat tinggal raja dan keluarganya itu berfungsi sebagai tempat musyawarah adat atau pesta rakyat.
Di tengah keterbatasan, masyarakat Tanjung Beringin terbilang masih kuat memegang adat. Beberapa ritual atau tradisi pokoknya masih dilakukan sampai sekarang, bahkan menjadi salah satu daya tarik wisata.
Kenagarian Malako Kociak
Desa atau wilayah kenagarian Tanjung Beringin dipimpin oleh dua ninik mamak (pemimpin atau pemangku adat), yaitu Datuk Pucuk yang berkuasa dan mengurus wilayah darat dan Datuk Sinaro yang berkuasa dan mengurus wilayah sungai atau perairan. Di bawah Datuk Pucuk dan Datuk Sinaro, masih ada lima ninik mamak dari lima suku, yang terhitung masih keponakan dengan keduanya. Selain mengawal adat, Datuk Pucuk dan Datuk Sinaro akan membantu penyelesaian masalah masyarakat atau lingkungan, jika tidak ditemukan solusi dari kelima ninik mamak tadi.
Meski memiliki nama asli Kenagarian Malako Kociak, dahulu Tanjung Beringin sempat sempat lama menyandang nama Kenagarian Miring. Menurut ingatan Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Datuk Pucuk Tanjung Beringin, yang diserap dari cerita warisan leluhurnya, makna miring berarti tidak sempurna dan tidak sehat lagi.
Sebabnya dahulu masyarakat pernah menolak dan tidak menghormati kedatangan Raja Gunung Sahilan. Sang raja pun murka dan bersumpah, yang berakibat pada musibah berupa wabah penyakit dan menewaskan banyak warga. Kemudian di kunjungan berikutnya, raja melihat masyarakat tidak mampu lagi menyelamatkan diri sehingga ia memaafkan perlakuan rakyatnya di masa lampau. Meskipun begitu, nama Kenagarian Miring tetap bertahan selama beberapa dekade.
Pada tahun 2017, Tengku Muhammad Nizar, dinobatkan oleh Raja Adat Gunung Sahilan sebagai raja ke-12 pewaris Kerajaan Gunung Sahilan di Istana Darussalam. Dia adalah putra langsung dari Tengku H. Ghazali, raja ke-11 yang sudah meninggal sejak 1975. Sudah 42 tahun takhta mengalami kevakuman. Tengku Muhammad Nizar selanjutnya menyetujui usulan para ninik mamak Tanjung Beringin. Ia mencabut nama Miring dan mengubahnya ke nama asalnya, yakni Kenagarian Malako Kociak.
Tidak hanya Tanjung Beringin, tetapi juga desa-desa di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling berada di bawah administrasi adat Kekhalifahan Batu Songgan. Desa Batu Songgan dan Tanjung Beringin bertetangga, dipisah oleh jalur sungai sejauh 4,8 kilometer atau hampir satu jam naik piyau (sejenis sampan). Di luar Batu Songgan, terdapat empat kekhalifahan lainnya adalah Kuntu, Ludai, Ujung Bukit, dan Kampar Kiri.
Meskipun sudah melebur ke dalam administrasi pemerintahan dan hukum sipil, para ninik mamak (pemimpin adat) masing-masing desa tetap melakukan pertemuan adat secara berkala selama satu kali dalam enam bulan. Khusus di kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, segala persoalan tentang hutan, sungai, maupun keluhan masyarakat dibahas dalam pertemuan bersama yang dipimpin oleh ninik mamak di Batu Songgan.
Lubuk larangan, sema rantau, dan hutan larangan
Menurut Datuk Pucuk—gelar sapaan Ajis Manto—pemberlakuan adat di setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat semata agar merawat harmonisasi dengan alam yang menjadi sumber penghidupan. “Kita pesan kepada masyarakat supaya menjaga hutan dan kemudian menjaga sungai,” ujarnya.
Sebagai upaya melestarikan tradisi dan alam, para ninik mamak dan penduduk setempat menetapkan sejumlah aturan adat. Salah satunya lubuk larangan.
Ditilik dari etimologinya, lubuk berarti bagian air dalam atau palung sedalam 3—5 meter di sungai, yang umum jadi tempat ikan bertelur dan berkembang biak. Kawasan lubuk tersebut hanya dibatasi dengan tali melingkar dan warga dilarang keras mengambil ikan selama masa lubuk larangan atau sebelum waktu panen yang ditentukan. Seperti menguji kejujuran warganya sendiri. Mereka tidak berani mencuri kesempatan karena takut terkena karma.
Pembukaan lubuk larangan dilakukan selama satu kali dalam satu tahun. Tergantung kondisi cuaca. Lazimnya digelar pada musim kemarau tatkala air sungai sedang surut. “Tapi kalau seandainya cuaca kurang mengizinkan, kita tunggu sampai airnya dangkal,” katanya, dan harus berdasarkan kesepakatan ninik mamak dengan masyarakat.
Lubuk larangan adalah panen raya ikan dan pesta rakyat terbesar masyarakat di kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling. Acara lubuk larangan biasanya diselenggarakan bergilir setiap desa dan dihadiri oleh pemerintah setempat. Para wisatawan juga dipersilakan bergabung untuk menangkap ikan atau disebut mancokau.
Alat yang diizinkan untuk menangkap ikan adalah peralatan tradisional, seperti jala, pancing, atau bahkan dengan tangan kosong. Ikan yang boleh ditangkap hanya yang berukuran besar, jika dapat yang kecil harus dikembalikan ke sungai. Beberapa jenis ikan lokal yang sering didapat dari lubuk larangan merupakan menu konsumsi utama, antara lain baung, selimang, salai, kapiek, dan ikan sungai air tawar lainnya. Ikan-ikan inilah yang kemudian dilelang dan dibeli oleh seluruh lapisan masyarakat. Terutama yang berasal dari luar kawasan, seperti turis, perangkat pemerintahan, pengusaha, dan lain sebagainya.
Datuk Pucuk mengakui, konsep festival wisata untuk prosesi pembukaan lubuk larangan menunjukkan kepada orang-orang bahwa tradisi tersebut masih ada, sekaligus sangat membantu menambah pendapatan desanya. “Boleh jadi tujuan dan maksud lubuk larangan itu terutama sekali kita manfaatkan hasilnya untuk pembangunan prasarana ibadah dan kegiatan pemuda di bidang olahraga,” jelasnya.
Lubuk larangan sekaligus menjadi momen berkumpulnya keluarga. Khususnya yang tinggal di luar desa atau perantauan di luar pulau. Mereka pulang ke kampung halaman, bersilaturahmi dan makan hasil tangkapan ikan bersama-sama.
Datuk Pucuk menambahkan, lubuk larangan dilaksanakan bersamaan dengan momen Sema Rantau Sema Nagari. Sema Rantau Sema Nagari merupakan tradisi warisan nenek moyang yang mengakar kuat dan tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Tanjung Beringin.
“Jadi, setiap tahunnya kita adakan pemotongan kerbau dan ziarah kubur,” ungkap Datuk Pucuk, “kita antarkan kepala kerbau itu kita antarkan dan kita masukkan ke dalam sungai [sambil didoakan], sampai di perbatasan Tanjung Beringin dengan kenagarian tetangga kita, yaitu Gajah Bertalut.” Jaraknya sekitar tujuh kilometer ke arah hulu dengan waktu tempuh satu jam naik piyau.
Tujuan ritual Sema Rantau Sema Nagari, mengutip pernyataan Datuk Pucuk, tak lain untuk menolak bala dan mencegah musibah. Memohon kepada Allah Swt. agar kampung aman dari gangguan. Pun ketakutan-ketakutan masyarakat tatkala masuk ke sungai dan hutan, yang jadi sumber penghidupan masyarakat. Di dalamnya memuat pula pesan supaya masyarakat tidak melanggar pantangan-pantangan adat yang ada, sekalipun dilakukan sembunyi-sembunyi.
Adapun ziarah kubur yang dituju adalah makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih. Sepanjang pengetahuan Datuk Pucuk, Datuk Darah Putih-lah yang diyakini tokoh pembuka kampung Tanjung Beringin. Sementara Datuk Pagar hidup di era setelahnya, yang tugasnya mengawal dubalang (penjaga hutan) alam, yaitu Datuk Belang. Kuburannya berada di utara kampung, terletak di lereng bukit menuju puncak Bukit Sakti.
Satu lagi aturan adat dan potensi Tanjung Beringin yang sedang digagas adalah hutan larangan. Meskipun sedang terkendala vakumnya aktivitas kelompok sadar wisata (pokdarwis), Datuk Pucuk menegaskan pasti akan ada penetapan hutan larangan dan sudah menentukan lokasinya.
“Kalau rencana kami, [lokasi] itu berdampingan dengan Bukit Sakti. [Tujuannya] untuk penjagaannya [hutan] lebih dekat, supaya masyarakat kita tidak berani lagi mengolah kayu di sana,” jelas Datuk Pucuk.
Menurutnya, jika ada kegiatan menebang dan mengolah kayu dengan senso akan terdengar oleh warga di kampung sehingga mudah ditangani. Sedangkan Bukit Sakit adalah lokasi potensial untuk rencana pengembangan ekowisata terbatas, baik itu trekking maupun camping, sehingga diharapkan bisa mengangkat perekonomian masyarakat.
Memperluas jangkauan budaya Tanjung Beringin
Sampai saat ini, belum pernah terdengar konflik satwa harimau sumatra dengan manusia di Tanjung Beringin maupun desa-desa lain. Ini diperkuat oleh pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.
Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau, Ujang Holisudin (46), menyatakan nihilnya kasus serangan harimau sumatra ke manusia bisa diartikan masih terjaganya tutupan hutan dan sumber makanan primernya. Masyarakat juga sudah bisa hidup berdampingan dengan satwa liar yang menghuni hutan maupun sungai.
Dalam pandangan Datuk Pucuk, “Kalau masalah hubungan manusia dengan hewan dan hutan, karena sebetulnya binatang-binatang itu juga adil sama manusia. Kalau seandainya masyarakat kita tidak ada yang melanggar hukum adat, pasti binatang [harimau] itu datang pun tidak akan merencanakan untuk membinasakan manusia.”
Terlepas dari perbuatan ilegal sekelompok orang di dalam kawasan, yang sebenarnya memiliki konsekuensi hukum adatnya sendiri, Datuk Pucuk menilai peraturan adat bisa menjadi rambu-rambu keseharian masyarakat. Baik saat bekerja maupun beribadah.
Adat adalah warisan nenek moyang yang harus terus dijaga dan dilestarikan. “Kalau seandainya hutan kita rusak, sungai kita ganggu, dampaknya nanti kepada cucu dan keponakan kita turun-temurun,” ujarnya.
Di sisi lain, meskipun adat masih melekat kuat, Datuk Pucuk mengaku menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk melestarikan tradisi khas Tanjung Beringin di masa depan. Ia merasa perlu untuk melebarkan jangkauan informasi potensi seni dan budaya Tanjung Beringin.
Terutama penyelenggaraan Sema Rantau Sema Nagari. Ia memandang pentingnya pembentukan panitia atau lembaga khusus yang mengurus tradisi dan kekhasan Tanjung Beringin.
“Kita kan ingin, istilahnya, menunjukkan [kepada masyarakat luas] bahwa kita itu punya budaya, punya seni,” ujar Datuk Pucuk. Ia ingin saat Sema Rantau Sema Nagari ada rangkaian acara kebudayaan dan kesenian, misal pertunjukan batimang atau permainan calempong, sehingga masyarakat tidak hanya datang saja untuk melihat ritual wajib semata—mencakup potong kerbau dan ziarah kubur.
Tak hanya itu saja. Khazanah obat-obatan tradisional Tanjung Beringin juga perlu mendapat sorotan lebih, karena bagian tak terpisahkan dari adat. Ada ninik mamak yang memiliki keahlian sebagai dukun obat, sehingga masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai pencegahan dan pengobatan.
Desa ini memiliki sebaran tanaman herbal liar yang bisa digunakan mengobati penyakit-penyakit tertentu. Daun kunyit hutan untuk panas dalam. Daun karuk (dalam bahasa Melayu kaduk) untuk keseleo, asma, sakit perut. Daun sambung nyawa untuk asam lambung—beberapa literatur menyebut bisa meredakan kanker, diabetes, dan hipertensi. Lalu ada juga peredam demam, flu, dan batuk dari daun capo, sidingin, atau kumpai; khusus untuk bayi bisa menggunakan daun bunga sepatu.
Secara implisit, keinginan Datuk Pucuk tersebut menunjukkan potensi ekonomi alternatif yang bisa menyadarkan sejumlah oknum masyarakat pembalak atau perambah. Ada jalan yang lebih baik tanpa harus melanggar peraturan adat maupun kawasan konservasi.
Foto sampul:
Foto udara permukiman Desa Tanjung Beringin di pinggiran Sungai Subayang. Desa ini termasuk dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan masih memiliki tradisi maupun aturan-aturan adat yang cukup kental/Deta Widyananda
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.