Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak itu buntung.
“Tengok arah pukul tiga,” bisik Asief. Rambut ikalnya tertiup angin sepoi. Aku menuruti perintahnya. “Itu burung layang-layang batu.” Hewan mungil itu betah bertengger di sebilah bambu yang tertancap di tepi rawa. Jaraknya sekitar lima meter dari posisi kami. Ketika terbang, burung itu akan kembali hinggap di situ lagi.
“Apakah burung layang-layang sama dengan sriti dan srigunting?” Pertanyaanku dijawab “tidak”. Aku baru tahu, ketiganya berbeda.
Dari timur, seorang pria paruh baya muncul. Sepertinya ia akan turun ke ladang. Ia memanggul satu sak sesuatu.
“Mau bedil, ya?” Ia mengira kami akan menembak burung. Kami menjawabnya dengan sesimpul senyum.
Dua Penyaru di Imperium Burung-Burung
“Ayo berkamuflase,” ucap Asief sambil mengurai selembar jala saru dari kantong bekas tas helm. “Enggak kelihatan mencolok itu penting,” tambahnya. Itulah mengapa ia mengenakan kaus cokelat pudar lengan panjang, celana parasut kelabu, dan sandal gunung hitam. (Agak mengecewakan, sebenarnya. Padahal, aku sudah membayangkan ia berkostum safari seperti Nigel di serial The Wild Thornberrys dan mati heroik setelah bergulat sengit dengan seekor buaya).
Aku buru-buru melepas jaket berwarna Golkar—tapi agak tua—dan menjejalkannya ke dalam ransel. “Burung enggak buta warna. Makanya, warna bulu mereka semarak. Beda sama mamalia. Di mata kebanyakan hewan menyusui itu, dunia ini miskin warna. Kecuali primata. Penglihatan kita lebih berwarna.”
Selembar jaring berbobot ringan dibentangkan. Jala itu berwarna daun. Aku takjub. Motif dan kelirnya akan menyatukan kami dengan tekstur alam. Kami jadi seperti Harry Potter dan Ronald Weasley berkemul selubung mimikri. Sebentar lagi kami akan menyelonong ke kamar rahasia yang dihuni seekor ular naga jelmaan Lord Voldemort.
Di dalam selimut kamuflase Asief berkata, “Jaring ini harganya cuma enam puluh ribu. Atau tujuh puluh. Aku lupa,” sambil mengeset kamera. Lalu kami telungkup berjajar.
Asief menunjuk seekor tikusan di kaki-kaki lembang. Agak jauh di sisi kanan kami. Tiba-tiba seekor burung yang lain muncul dari kedalaman semak.
“Astaga, itu kareo padi. Aku belum pernah mendapatkan gambar apik burung itu.” Ia mengarahkan kamera. “Tapi itu terlalu jauh. Lensaku enggak mampu. Tolong putarkan suara pikat kareo padi.” Aku bergegas membuka Youtube dan membunyikan kicau burung itu. “Mestinya aku membawa speaker,” keluhnya.
Setelah dua burung itu lenyap, seekor kipasan dan kapasan menggantikan posisi mereka. Kedua burung yang ukurannya sebelas-dua belas itu melompat-lompat mencari makan. Jika tikusan dan kareo pada mencari mangsa di genangan air, kapasan dan kipasan berkitar di tanah agak kering.
“Sepertinya kita perlu membetulkan posisi,” tukas Asief, “kamu dapat banyak jatah selimut. Kakiku enggak ketutup penuh.”
Ke arah jam dua belas, Asief menunjuk titik jauh setelah kami berselubung kembali. “Lihat burung itu.” Aku mencari-cari titik itu. Di sana, hewan kecil berbulu biru bertengger di ranting. “Itu jenis raja udang. Kamu tahu namanya?” Aku menggeleng.
“Cekakak suci.” Puitis sekali.
“Kenapa harus suci?” tanyaku menginterogasi.
“Sebenarnya aku enggak tahu pasti. Tapi aku pernah baca, konon, masyarakat Polinesia percaya bahwa cekakak suci bisa mengendalikan badai.”
Pandanganku tidak akan sedramatis itu. Namun, hal semacam ini mestinya tidak membuatku heran. Suku-suku dari dunia lama yang masih lestari bahkan tetap mempertahankan kultus kepada binatang totem.
Asief merekam burung itu ketika sedang mengunyah mangsa. Seekor biawak melata dari arah persembunyian, berharap si burung lengah. Meski sedang asyik menikmati kudapan, cekakak suci tetap waspada. Ketika kadal itu mendekat, sang burung terbang ke dahan yang lebih tinggi. Saat situasi kembali aman, cekakak pindah ke ranting semula.
“Kenapa dia balik ke tempat itu lagi?” Pertanyaanku mengusik kawanku yang sedang sibuk merekam.
“Mereka punya teritori. Kayak burung layang-layang tadi. Kecuali burung-burung migran.”
Dua jam berselang, kami keluar dari penyamaran dan terkejut mendapati seorang pria duduk di belakang kami.
“Dapat banyak?” Ia bertanya. Kami menangkap maksud pertanyaannya.
“Kami cuma lihat-lihat saja, Pak,” jawab Asief mengulum senyum. Seperti pria sebelumnya, bapak ini mengira kami sedang berburu burung. Padahal kami tidak memegang senjata apa pun.
“Apa kita punya tampang pembunuh?” bisikku di telinga Asief ketika si bapak turun ke rawa. Kedua betisnya ditelan lumpur.
Sebenarnya aku sudah ingin menggaruk betisku sejak di dalam jaring. Sepertinya beberapa ekor semut merayap ke dalam celana. Asal bukan ular sawah, aku masih tahan. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak selemah yang Asief kira.
“Mungkin kita bisa melihat burung lebih banyak seandainya debit airnya tidak berkurang,” tukas Asief. “Agustus memang puncak kemarau dan rawa ini surut. Atau jangan-jangan kita datang kurang pagi. Jam-jam segini, burung-burung sudah kelar mencari makan dan sekarang istirahat.”
Masa Depan Burung-Burung
Ketika sedang menikmati matahari duha yang bersinar terang, di kejauhan, sayup-sayup suara kirik-kirik-kirik-kirik terdengar. Asief menyadarkanku akan kedatangan suara tersebut. Indra pendengarannya telah terasah. Bahkan, kendatipun burung-burung itu cuma berbisik, mungkin ia bisa mendengarnya.
“Aku sudah bertahun-tahun berjibaku dengan aktivitas kayak gini,” ucapnya saat aku memuji sensibilitas pendengarannya. Namun, aku heran kenapa kulitnya yang cerah tidak kunjung gosong.
Kami memandang angkasa. Seekor burung melesat di latar biru langit bersaput gumpalan awan. Warna hijau dan sedikit jingga yang menyapu bulu-bulunya tampak samar di ketinggian.
“Itu burung kirik-kirik laut,” terang Asief.
“Kirik-kirik laut,” sahutku. “Berarti ada kirik-kirik darat?
“Enggak ada. Yang ada kirik-kirik senja.” Seperti sudah bisa memahami pertanyaan yang siap kulontarkan, buru-buru Asief melanjutkan, “Mereka suka nongkrong saat senja.”
Apakah burung itu juga hobi mejeng di Capak?
Dari utara, tiga ekor burung terbang. Asief menunjuk ketiga hewan yang sedang menuju selatan tersebut. “Itu kowak malam.”
“Kenapa keliaran siang-siang begini?”
“Mungkin habis kelar ngopi.” Asief mengedipkan mata sipitnya.
Sementara dari timur laut, seekor burung jumbo terbang menuju barat daya. “Kalau itu…“ kalimatnya tersekat. “Oh, tunggu. Ya Tuhan! Itu bukan seperti yang kita lihat di Capak tadi.” Asief nanap dan aku tidak tahu mengapa ia nanap.
“Kenapa?” Aku tak sabar.
“Enggak ada merah di lehernya. Tapi aku enggak yakin. Aku belum pernah melihat dia di sini.”
Cara Asief berkata ‘dia’ untuk burung itu seperti terperangah memergoki mumi Firaun Tutankhamun bangkit dari peti mati dan bergentayangan di Madura.
Kini burung tersebut melayang-layang sebentar di atas padang lembang, mengepakkan sayap-sayapnya yang terentang hampir dua meter sebelum merasuk ke rimbun belukar itu.
“Jadi, itu apa?” desakku.
“Cangak abu.” Pandangannya menerawang ke ufuk barat bagai tertegun usai dijatuhi wahyu.
“Apa?” tanyaku sekali lagi.
“Cangak abu.”
Oke, cukup. Terlalu banyak nama burung dengan bunyi ‘k’ yang ditampung otakku hari ini. Cangak, kowak, kirik-kirik, kuntul, kipasan, kapasan, blekok, tikusan, tekukur, perkutut, cekakak, kutilang, kareo. Satu kali lagi ia menyebut burung dengan bunyi ‘k’, aku bakal semenderita membaca novel Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian, yang punya banyak sekali tokoh bernama hampir sama dan harus kuingat satu per satu.
Namun, aku senang menjadi saksi ia menerima momen eureka. Itu artinya, aku pembawa keberuntungan. Jadi, tidak ada alasan lagi baginya untuk enggan mengajakku ke perjalanan semacam ini. Membicarakan alam di alam jauh lebih menyenangkan ketimbang membincangkannya di kafe. Di sini, aku bisa belajar banyak karena Asief akan menunjuk contoh-contohnya secara langsung.
Kini, Asief tengah berusaha membidik seekor dara laut yang melayang-layang di hadapan kami. Ketika seekor anak nila mencaplok anggang-anggang yang berselancar di permukaan air, burung itu menukik dan mematuk sang ikan. Yang memangsa akan dimangsa. Sebuah gambar rantai makanan yang sempurna.
“Susah sekali memotret burung terbang.” Asief mendesah. “Sebenarnya dulu aku punya foto dara laut yang bagus, tapi diambil dosenku buat buku pelajaran.”
Waktu menerabas pukul sepuluh. Asief menginjak patok kepemilikan tanah di pematang buntung itu. Lalu ia berkata dengan masygul, “Cepat atau lambat, kawasan ini akan sepenuhnya menjadi ladang. Bahkan, kita belum tahu, kehidupan macam apa yang bersemayam di relung semak lembang itu.” Aku jadi ikut pilu. “This wetland, Dude, is the last sanctuary for those birds.”
Suaka penghabisan, ramal Asief. Entah ke mana burung-burung tersebut akan pergi. Mungkin ke mata angin akhir zaman. Kepunahan niscaya yang senantiasa mengintai keberadaan satwa-satwa liar. Aku berusaha menghalau bayangan duka yang berputar-putar dalam pikiranku.
“Makan soto Keppo kayaknya enak.” Kurasa Asief juga sedang melenyapkan gundah dengan kalimat itu.
Memang tak ada ide yang lebih baik daripada sarapan terlambat dengan semangkuk soto bertabur suwir daging ayam. Ayam pedaging yang sulit disentuh ancaman kepunahan. Namun, berkah keberlangsungan spesies harus mereka tebus dengan hidup yang begitu singkat dan menderita.
Lalu, perasaan lega mengalir saat aku sadar bahwa burung-burung di sini tidak bernasib sengsara sebagaimana ayam-ayam yang terhidang di meja makan manusia. Tak ada yang bisa menerka, ke mana takdir akan membawa burung-burung itu. Namun, setidaknya aku tahu, mereka pernah bahagia.
Foto sampul: Burung layang-layang batu bertengger di sebilah bambu (Asief Abdi)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.