Pasar Klithikan juga terkenal dengan sebutan Pasar Pakuncen. Nama tersebut berasal dari lokasinya yang berada di Pakuncen, Yogyakarta. Pasar ini merupakan tempat yang dahulu sering menjadi rujukan bagi siapa pun, khususnya yang hendak mencari barang bekas maupun barang antik lainnya.
Sebagaimana menurut Raden Valentinus Biaggi Wisnumurti, dalam artikelnya “Bukan Tindakan Kriminal, Ternyata Begini Arti Klitih dalam Bahasa Jawa” di suaramerdeka.com (10/03/2023)1, kata klitih biasanya merujuk pada aktivitas atau kegiatan untuk mencari angin ke luar rumah. Maka dari itu, tak heran bila kata ini kerap digunakan oleh seorang anak yang hendak meminta izin kepada orang tuanya untuk bermain bersama teman-temannya.
Akan tetapi, dewasa ini orang tua malah resah bila anaknya hendak melakukan klitih. Lantaran kata tersebut kerap memiliki asosiasi yang buruk, yaitu tindakan kriminal yang dapat membahayakan nyawa seseorang di jalan.
Sejalan dengan itu, klithikan juga merujuk pada aktivitas mencari barang bekas, seperti baju, celana, maupun barang lainnya yang masih layak pakai. Karena Pasar Pakuncen menyediakan pengalaman tersebut, maka banyak masyarakat yang menyebut tempat ini sebagai Pasar Klithikan.
Meskipun demikian, tradisi klithikan yang kerap berlangsung di Pasar Pakuncen nyatanya sudah tak lagi saya temukan. Hal tersebut karena mayoritas barang yang dijajakan para pedagang di pasar ini sudah banyak tergantikan oleh barang-barang model baru, serta menurunnya jumlah pengunjung tiap tahunnya.
Memori Mencari Barang Klithikan
Sewaktu masih bersekolah sekitar tahun 2014-an, kawan-kawan sering mengajak saya mencari barang-barang bekas di Pasar Pakuncen. Pada saat itu barang-barang bekas dengan ukuran besar alias gombrang, sedang tren bagi anak muda Jogja. Alhasil, saya yang tak ingin ketinggalan tren, memilih mencari baju flanel motif kotak-kotak dengan celana kain berukuran besar. Tentu saya memperolehnya dengan harga murah lantaran merupakan barang bekas; serta memudahkan saya yang tidak memiliki kelebihan uang dan hanya ingin terlihat keren.
Mencari barang bekas di Pakuncen ternyata juga dapat menyelamatkan bumi. Ia memanfaatkan barang yang sudah kadung diproduksi dan tidak lagi terpakai oleh pemiliknya. Terlebih dalam konteks baju bekas, industri tekstil hari ini rupanya telah menyumbang dampak buruk bagi keberlanjutan lingkungan. Saya pikir tren semacam ini merupakan cara paling baik untuk menyelamatkan bumi dari banyaknya produksi tekstil. Alih-alih membeli barang baru dengan harga mahal dan tentunya akan menghasilkan produk tekstil yang lebih banyak.
Namun, setelah sekian tahun tren itu kabur dari cara hidup anak-anak muda Jogja, saya pun jadi jarang menyempatkan diri mampir ke Pasar Pakuncen. Akan tetapi, memori saya dengan Pasar Pakuncen seketika hadir kembali. Beberapa minggu yang lalu saya pun memutuskan untuk mampir ke pasar tersebut. Hitung-hitung bernostalgia memungut kenangan yang masih saya simpan sedari masa sekolah.
Ketika saya berkunjung ke Pasar Pakuncen, saya menghadapi kondisi pasar yang sudah berubah. Saat ini saya malah jadi sulit mencari barang-barang bekas yang dahulu mudah saya temukan, bahkan di halaman utama sekalipun. Para pedagang yang kerap kami datangi untuk mencari baju dan celana bekas, sekarang sudah tidak lagi berada di pasar tersebut. Entah, saya pun tak tahu bagaimana nasib pedagang itu sekarang.
Setelah saya menelusuri pasar hingga sisi paling luar, saya malah mendapati banyaknya para pedagang baru yang menjajakan barang-barang branded dengan kualitas anyar. Meskipun begitu, harga yang mereka tawarkan cenderung murah. Hal tersebut karena mereka menjual barang-barang dengan kualitas menyerupai barang-barang bermerek, yang banyak menjamur di toko-toko besar.
Barang Baru di Pasar Pakuncen
Menjamurnya para pedagang baru di Pasar Pakuncen sejatinya bukanlah suatu tindakan yang tercela. Terlebih pasar yang berdiri sejak 2007 tersebut merupakan ruang relokasi yang pemerintah daerah sediakan untuk pedagang. Tujuannya memudahkan para pedagang membuka lapak tanpa biaya sewa yang tinggi.
Akan tetapi, menurut Pendi, salah satu pedagang yang masih menjual sepatu bekas di Pasar Pakuncen, menurunnya para pedagang barang bekas di pasar tersebut turut menurunkan minat masyarakat. Pendi menambahkan, sejak masifnya medium transaksi digital ditambah efek pandemi Covid-19, banyak kawannya yang memutuskan tidak lagi membuka lapak di Pasar Pakuncen.
Sebagian dari pedagang tersebut lebih memilih untuk menyewakan lapaknya kepada orang lain dengan harga yang jauh lebih tinggi. Tradisi klithikan, yang dahulu kerap merujuk pada tempat ini, kini pun mulai hilang dan tak lagi diminati masyarakat Jogja. Banyak dari mereka, baik pembeli maupun penjual, beralih ke Pasar Senthir yang menawarkan pengalaman serupa.
Selain itu, meningkatnya barang-barang baru di Pasar Pakuncen justru berdampak pada masalah lingkungan yang serius. Di luar masalah hak cipta merek, maraknya barang baru akan meningkatkan produksi tekstil. Terlebih harganya yang murah membuat barang-barang tiruan tersebut menjadi andalan bagi sebagian masyarakat di Kota Jogja.
Referensi:
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.