Kami menghabiskan banyak waktu menunggu kedatangan kapal di Tanjung Perak, Surabaya. Sejak tiba pukul tujuh malam, pihak pelabuhan mengabari bahwa perkiraan kapal akan sandar pukul 22.00. Namun, hingga tepat tengah malam kami masih belum beranjak dari ruang tunggu.

Sampai akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. “Yuk, teman-teman, kapalnya sudah datang,” seru Kak Izul seraya mengumpulkan kami menuju lokasi pengecekan tiket dan barang bawaan. 

Untuk pelayaran sekali jalan dari Tanjung Perak menuju Lembar kala itu aku mengeluarkan biaya 160 ribu rupiah. Rinciannya yaitu tiket Kapal DLN Batu Layar seharga Rp130.000 dengan fasilitas tempat tidur (bunk bed), toilet, musala, dan listrik gratis selama di kapal. Sisanya membayar dua kupon makan seharga Rp15.000 per kupon. Meski pembelian kupon juga dilayani setelah kapal berlayar, tetapi penumpang akan dikenai harga lebih mahal, yaitu Rp20.000/kupon. Sebelum hari keberangkatan, Kak Izul telah membantu kami mengurus pemesanan tiket dan kupon makan secara daring melalui website. Informasi jadwal dan pemesanan tiket kapal DLN Batu Layar juga tersedia di kanal resmi Instagram @damai_lautan_nusantara

Pukul dua dini hari, tepat tanggal 6 Oktober 2022 kami akhirnya meninggalkan Surabaya. Aku tidak sendiri, melainkan ditemani keluarga baruku: Lampak Mengabdi. Setelah beberapa kali bercakap via Google Meet, akhirnya kami memulai perjalanan panjang menuju Gumantar, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak hal yang menjadi serba pertama bagiku dalam perjalanan ini.

Setelah bergelut dengan rasa kantuk dan gatal akibat serangga di kursi ruang tunggu pelabuhan, rombongan kami menemukan kasur untuk istirahat selama 22 jam ke depan. Aku segera menelan obat alergi dan berganti kostum yang lebih santai untuk tidur. Tidak banyak yang aku lihat kala itu. Hanya takjub, ternyata toilet di kapal yang kami tumpangi lebih bersih daripada toilet di ruang tunggu tadi malam. 

Beradaptasi dengan Ombak dan Angin

Baru sempat memejamkan mata, aku kembali bangun untuk salat Subuh. Karena tidak tahu letak musala, aku pilih kembali ke kasur dan beribadah sambil duduk. Paginya setelah berjalan keluar dan mengeksplorasi beberapa bagian DLN Batu Layar, akhirnya aku menemukan musala di bagian paling atas kapal. Aku jadi membayangkan jika tadi salat di sana, maka aku harus melintasi tangga kecil dengan angin laut yang berhembus kencang kala matahari masih terlelap. Cukup seram juga untuk badanku yang kerempeng ini.

Pukul sembilan pagi kulihat aplikasi peta di gawai. Kami masih berada di sisi utara pulau Madura. Kapal terus melaju ke arah timur membelah air laut yang tenang. Ombak yang berdebur di sekelilingnya tidak terlalu besar dan angin bertiup hangat. Pagi itu aku masih berkabar dengan keluarga tentang situasi kapal. Bahkan aku sempat membalas pesan dari dosen pembimbing untuk mengurus jadwal seminar proposal. Namun, selang beberapa jam ketika armada telah memasuki Laut Bali, sinyal ponsel sudah tidak lagi muncul. Pun ombak yang tadinya tenang berubah menjadi besar dan angin berembus cukup kencang.

Setelah selesai briefing untuk kegiatan kami di lokasi pengabdian esok hari, seluruh rombongan kembali beristirahat. Saat keluar dari ruang tengah tempat rombonganku berkumpul, aku cukup kaget karena ombak laut menggoyangkan tubuhku begitu hebat. Badanku menjadi tidak stabil dan harus menggenggam dinding kapal untuk tetap berjalan pindah ke ruang istirahat. Tak sengaja ketika itu aku menoleh ke arah lautan lepas dengan ombak naik turun sangat tinggi. Seketika perutku terasa mual dan aku pun menyadari, oh, jadi begini rasanya mabuk laut. Langkahku menjadi cepat, aku kembali ke kasur dan segera meneguk air teh untuk meredam mualku. 

Sore harinya sebelum matahari terbenam aku ingat belum melaksanakan salat. Karena situasi di luar sudah cukup terkendali, aku menuju ke atas kapal untuk sholat di musala. Sekaligus berniat menghabiskan waktu di kantin bersama kawan-kawan yang lain. Sayangnya ketika tiba di musala dan hendak salat, kapal terasa berguncang kembali hingga tubuhku tidak bisa berdiri tegak. Posisi duduk pun bisa menggeser tubuhku dengan sendirinya. Dengan terpaksa akhirnya aku kembali ke bawah dan memutuskan salat di kasur lagi. Walau harus menanggung risiko naik turun tangga, tetapi rasanya lebih khusyuk jika salat di atas kasur. Daripada berguncang di musala dengan lantai dari karpet yang licin.

Selesai salat kawanku mengajak kembali ke kantin yang letaknya satu lantai dengan musala. Ya, memang harus naik lagi. Untung saja anginnya sudah tidak sekencang tadi siang. Memang ombaknya saja yang belum bersahabat.

Di sana kami berbincang cukup intens dengan kawan-kawan volunteer lainnya sambil menyantap mi instan dan bakso. Topik ringan hingga berat menjadi obrolan panjang kami sore itu. Kawan yang sudah berkali-kali melakukan perjalanan panjang mengabdi di luar pulau membagikan pengalaman dan pengetahuannya kepada kami yang masih anak baru.

Memaknai Perjalanan Panjang

“Lampak sendiri berasal dari bahasa Sasak yang artinya jalan, dan sederhananya Lampak Mengabdi punya makna jalan mengabdi,” kata Kak Toni, sang pendiri Lampak Mengabdi. Kegiatan Lampak Mengabdi batch keempat atau disingkat LMB4 adalah program yang berada di bawah naungan Yayasan Aksi Sahabat Nusantara. Fokus utamanya ingin mengembangkan potensi sumber daya alam dan UMKM lokal di lokasi pengabdian berlangsung.

LMB kali ini akan dilaksanakan di Desa Gumantar, Kabupaten Lombok Utara selama kurang lebih 10 hari. Menurut Kak Toni, daya tarik program LMB adalah kegiatan pengabdiannya selalu tersaji bersamaan dengan kegiatan adat desa setempat, seperti meriahnya rangkaian maulid adat yang bertepatan dengan LMB 1, 2, dan 4. Serta event spesial seperti MotoGP di Mandalika yang bertepatan dengan pelaksanaan LMB 3.

22 Jam Berlayar Menuju Lembar
Kantin di dek atas kapal/Anggardha Paramita

Berbagai dorongan dan motivasi datang untuk melakukan perjalanan ini. Kalau kata Kak Dhimas, si anak sastra yang memimpin divisi ekonomi kreatif, perjalanan ini bermakna ibadah baginya. Seluruh ilmu dan pengalaman hidupnya ingin ia implementasikan dalam pembangunan pariwisata di daerah pengabdian yang dituju. Seingatku perjalanan ini adalah kali ketiganya ambil peran di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).

Beda lagi dengan Sherita, anak bisnis yang nyangkut ke divisi kesehatan. Pengabdian ini jadi tugas besar baginya karena pihak kampus tempat ia menuntut ilmu mewajibkan mahasiswanya ambil peran dalam pengabdian masyarakat. Meski demikian aku ingat betul ia menjalankan program divisi dengan maksimal, mengimbangi kami yang punya latar belakang pendidikan kesehatan.

Lalu bagaimana denganku? Aku jadi menanyakan makna perjalanan ini kepada diri sendiri. Sejak pertama pengumuman lolos volunteer ini kuterima, tujuanku masih sebatas ingin berbagi ilmu dan traveling ke daerah yang jauh atau mustahil untuk kudatangi sendiri tanpa pendampingan orang dewasa.

Namun, setelah beberapa waktu kegiatan berjalan perspektif baru mulai muncul. Ternyata dibanding memberi, di sana aku justru lebih banyak menerima. Bagiku perjalanan ini memang tempatku melihat makna hidup yang lain. Jawaban atas pertanyaan yang muncul di malam hari sewaktu mau tidur atau ketika adu nasib dengan teman di tongkrongan.

22 Jam Berlayar Menuju Lembar
Pemandangan sore di tengah lautan/Anggardha Paramita

Lembar, Pemungkas Perjalanan

Pemandangan sewaktu Magrib dari atas kapal membuat mulutku menganga seraya berucap, wow! Di sisi selatan kami bisa melihat Pulau Bali dan Gunung Agung yang indah. Langit mulai membiru dan matahari perlahan berganti posisi dengan bulan. Saat itu ombak mulai tenang seperti awal kapal mulai berlayar dari Surabaya.

Lagi-lagi ini adalah pengalamanku pertama kali. Menyaksikan matahari terbenam di laut lepas dengan suasana sunyi dan tenteram jauh dari keramaian kota.

Selepas salat seluruh rombongan berpisah. Kami para wanita turun ke ruang istirahat. Menghabiskan waktu dengan bermain Uno, ngemil, dan diselingi pembahasan program kerja untuk keesokan harinya. Adapun para pria juga menyibukkan diri, mulai dari sibuk menyeduh kopi hingga ngobrol entah berapa lama di dek atas.

Kapal DLN Batu Layar yang kami tumpangi tiba di Lembar sekitar pukul 01.30 WITA. Perjalanan laut kami pun berakhir hari itu. Sepasang kaki sibuk menuruni tangga berjalan keluar kapal. Tangan dan pundak kembali menopang tas carrier dan membawa muatan untuk serangkaian program kerja esok hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

4 komentar

Masbhay 30 Agustus 2023 - 07:31

Selamat datang di lembar mbak. Selamat datang di Gumi selaparang.semoga memberikan pelajaran dan pengalaman yang berkesan. Selamat menikmati aneka kuliner Sasak dan aneka masakan pulau kangkung .jika nusatenggara cukup mempesona bagi anda mungkin sampean tak hendak untuk meninggalkannya entah pada kunjungan selanjutnya atau tetap tinggal seperti saya dan membangun istana kecil dan berkeluaga

Reply
Anton_jc444 30 Agustus 2023 - 17:20

Jgn lupa naik dln batu layar lg yah…

Reply
Danu 30 Agustus 2023 - 22:45

Keren …. semoga pengalaman yang akan mengkayakan jiwa.

Reply
Ery Widyonarko 6 September 2023 - 15:16

Gumantar adalah desa yang indah.terletak di Kecamatan Kayangan.. Penduduknya adalah campuran antara Suku Asli Sasak yang beragama Islam dan
pendatang dari Bali yang beragama Hindu…
Di Gumantar masih terdapat Desa Adat Sasak dengan bentuk bangunan yang asli serta Mesjid Kuno..

Reply

Tinggalkan Komentar